TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Candi Borobudur, Masyarakat, dan Pancasila

Oleh: Patrick Cardillo Kwok
Jumat, 10 Juni 2022 | 16:07 WIB
Candi Borobudur
Candi Borobudur

Penulis: Patrick Cardillo Kwok
Mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta

CANDI BOROBUDUR merupakan satu di antara tujuh keajaiban dunia yang terletak di Indonesia. Rasanya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia jika mendengar nama candi yang juga sudah dikenal hingga mancanegara ini. Candi Borobudur sendiri terletak di Magelang, Jawa Tengah. Kepopuleran Candi Borobudur dapat dibuktikan dengan penghargaan yang diberikan oleh UNESCO pada tahun 1991 sebagai warisan dunia. Pada awalnya, candi yang diperkirakan sudah ada pada tahun 1200-an ini digunakan oleh umat agama Buddha untuk beribadah, namun dengan seiringnya perkembangan zaman, Candi Borobudur juga dibuka untuk umum sebagai tempat wisata dan sejarah bagi masyarakat luas. 

Isu Kenaikan Harga

Bagi para turis yang hendak berkunjung ke Candi Borobudur harus membeli tiket masuk terlebih dahulu yang dibanderol dengan harga Rp50.000,00/orang. Harga ini sudah termasuk akses dari pelataran Candi Borobudur hingga ke stupa yang berada pada puncak candi. Harga tiket masuk yang ekonomis ini tentu menjadi faktor mengapa banyak pengunjung domestik maupun mancanegara yang ingin melihat satu dari tujuh keajaiban dunia itu. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengunjung Candi Borobudur pada tahun 2020 mencapai 965.699 pengunjung domestik dan 31.551 pengunjung internasional. 

Pada Sabtu, 4 Juni 2022 melalui akun Instagram Luhut Binsar Pandjaitan yang merupakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia (Menko Marves) mengunggah beberapa foto dengan keterangan yang mengacu pada wacana naiknya tarif untuk naik ke Candi Borobudur menjadi Rp750.000,00 bagi turis lokal, US$100 untuk turis mancanegara, dan Rp5.000,00 bagi pelajar.

Dalam unggahannya tersebut, beliau mengatakan kenaikan harga ini guna untuk menjaga kelestarian budaya Indonesia. 

“Langkah ini kami lakukan semata-mata demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya nusantara. Semua turis juga nantinya harus menggunakan tour guide dari warga lokal sekitar kawasan Borobudur, ini kami lakukan demi menyerap lapangan kerja baru sekaligus menumbuhkan sense of belonging terhadap kawasan ini sehingga rasa tanggung jawab untuk merawat dan melestarikan salah satu situs sejarah nusantara ini bisa terus tumbuh dalam sanubari generasi muda di masa mendatang.” 

Dalam upaya menjalankan wacana tersebut, Luhut juga memiliki wacana untuk memberikan kuota jumlah pengunjung harian sebanyak 1.200 orang per hari bagi turis yang ingin naik ke Candi Borobudur. 

“Kami juga sepakat dan berencana untuk membatasi kuota turis yang ingin naik ke Candi Borobudur sebanyak 1200 orang per hari…” Jelas Luhut pada unggahannya di akun Instagram miliknya.    

Harga yang Kurang Pantas

Dikaji melalui Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Kabupaten/Provinsi (UMK/UMP) masyarakat di daerah Yogyakarta pada tahun 2022 adalah sebesar Rp 2.153.970,00, sedangkan DI Yogyakarta sebesar Rp 1.840.916,00. Melalui parameter UMK/UMP masyarakat lokal yang berdekatan dengan daerah Magelang, Jawa Tengah, UMK/UMP tersebut rasanya tidak cukup jika harus disisihkan untuk masyarkat lokal mengunjungi Candi Borobudur. 

Hal ini diperkuat lagi pada kolom komentar pada unggahan Luhut terkait isu tersebut, banyak akun yang berkomentar bahwa harga tersebut kemahalan bagi mereka dan harga tiket mencapai setengah dari gaji yang mereka terima per bulan.

“Mahal bgt pak utk wisatawan domistik segitu . Bapak tau kan UMR berapa ? mikir2 lah kami kalau ngajak keluarga ke Borobudur.” tulis seorang pengguna Instagram di kolom unggahan Luhut.

Jikalau memang bagi masyarakat yang bekerja dengan standar UMK/UMP masih keberatan, bagaimana dengan para umat Buddha yang masih tergolong masyarakat kecil tanpa penghasilan? Apakah ibadah mereka akan dibiayai oleh negara? Walaupun iya, hal itu tentu akan menimbulkan konflik baru bagaimana sebuah kalangan masyarakat diistimewakan, rasanya serba salah jika pemerintah harus mengambil keputusan dalam isu ini.

Alih-alih menjaga dan melestarikan peninggalan budaya, ide ini dapat menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah sendiri, tidak pantasnya harga yang dipatok dapat menjadi alasan bagi masyarakat Indonesia sendiri untuk tidak mengunjungi Candi Borobudur dan memilih tempat wisata yang lain.

Ancaman Bagi Umat

Wacana yang dipublikasikan melalui laman Instagram Menko Marves itu menjadi polemik di masyarakat dan tentu menjadi topik yang hangat di media Indonesia. Banyak tokoh-tokoh masyarakat yang ikut memberikan opini mereka pada wacana ini. Salah satunya adalah Kepala Sangha Theravada Indonesia, Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera yang dalam sebuah artikel media nasional juga sempat memberikan tanggapan terkait isu tersebut. Beliau merasa cukup khawatir terhadap umat Buddha di daerah Jawa Tengah yang merupakan rakyat kecil. Jika isu tersebut dilaksanakan, hal tersebut akan berdampak besar bagi para umat Buddha yang selama ini menjalani ibadah mereka di Candi Borobudur. Namun setelah mendengar pendapat yang diberikan oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, Luhut akhirnya memberikan respon juga, beliau telah menunda wacana tersebut dan akan dikaji lebih lanjut.

Melalui pendapat yang diberikan oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, dapat juga kita beranggapan bahwasannya wacana yang dirancang oleh pemerintah masih belum matang dan melalui musyawarah mufakat. Walaupun Luhut sempat mengatakan pada awak media pada Rapat Kerja Bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI pada Kamis (9/6) bahwa kenaikan harga tiket sudah dikaji melalui studi, ternyata masih ada beberapa aspek sosial dan agama yang belum diperhatikan oleh pemerintah dalam merancang wacana tersebut, salah satunya adalah nasib umat Buddha yang menjalani ibadah di Candi Borobudur.

Sebagai umat Buddha, saya juga cukup khawatir apabila isu tersebut benar-benar diterapkan, saya pribadi merasa tidak adil bagaimana umat Buddha harus tetap dikenakan tarif setiap beribadah dan hanya orang-orang “mampu” saja yang dapat naik ke Candi Borobudur.

Penerapan Makna Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara tentu harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setiap masyarakat Indonesia. Pemaknaan Pancasila sangat kontekstual, tergantung apa pokok pembahasannya. Pada konteks kali ini adalah bagaimana penerapan Pancasila pada isu kenaikan harga tiket Candi Borobudur. Rencana kenaikan harga tiket ini bukan semata-mata hal yang enteng diputuskan oleh pemerintah, banyak aspek yang harus diperhatikan dan dikaji dengan kritis. Dalam memaknai butir keempat dari Pancasila; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, pemerintah seharusnya lebih mengkaji secara mendalam terlebih dahulu sebelum melontarkan wacana tersebut kepada publik.

Pada hal ini salah satu fokusnya adalah umat Buddha khususnya di Jawa Tengah. Ada baiknya jika pemerintah melakukan Forum Group Discussion terlebih dahulu bersama beberapa kalangan masyarakat yang terpilih untuk berdiskusi terkait wacana tersebut sebelum dilempar langsung kepada publik. Hal ini tentu dapat meminimalisir adanya polemik yang terjadi pada masyarakat. 
Sila berikutnya yang seharusnya diterapkan adalah sila kelima dari Pancasila; Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Arti keadilan sosial sendiri menurut (Suseno, 1987, hal. 423) adalah kewajiban yang keras. Tidak mengusahakan keadilan sosial bukan sekadar bersikap kurang sosial, melainkan sama dengan membiarkan ketidakadilan merajalela. Dalam konteks wacana kenaikan harga tiket ini, banyak sekali ketidakadilan sosial yang dapat terjadi.

Contohnya adalah ketidakadilan bagi para umat Buddha, masyarakat lokal yang UMK/UMP yang tergolong kecil harus berpikir dua kali untuk menyisihkan pemasukannya untuk pergi ke Candi Borobudur, adanya stigma masyarakat yang beranggapan hanya orang-orang kaya yang dapat membeli tiket naik ke Candi Borobudur yang juga dapat berdampak pada munculnya kecemburuan sosial pada masyarakat kelas atas dan kelas bawah, dan ketidakadilan lainnya.

Jika tujuan utama pemerintah adalah untuk menjaga kelestarian peninggalan budaya dan membatasi pengunjung yang datang, penerapan kuota pengunjung per hari dan reservasi sistem daring sudah benar, namun harga yang ditetapkan seharusnya tidak setinggi itu.

Walaupun jika berkaca dari tempat-tempat rekreasi yang religius di luar negeri seperti Angkor Wat juga dikenakan biaya masuk yang lumayan tinggi, namun hal tersebut tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia, beda rumput maka beda juga ilalangnya. Banyak sektor yang harus dikaji oleh pemerintah Indonesia dalam mengambil keputusan ini, mulai dari sosial, budaya, agama, dan politik. Jikalau harga tiket harus naik, menurut saya pribadi harga yang ditetapkan kelak harus tetap terjangkau oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia untuk menjunjung keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.(*)

Komentar:
Berita Lainnya
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo