Kejagung Lakukan Pencekalan Raja Minyak MRC Sejak 10 Juli 2025

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mencekal tersangka MRC sejak 10 Juli 2025. Kini, Kejagung sedang menyusun langkah selanjutnya, yaitu memanggil MRC. Namun, Kejagung belum memastikan kapan surat pemanggilan itu dilayangkan ke si “Raja Minyak”.
MRC merupakan salah satu tersangka mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan PT Pertamina tahun 2018– 2023. Penetapan status tersangka dilakukan Kejagung pada Kamis (10/7/2025), disusul permintaan pencekalan ke Ditjen Imigrasi.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyebut, pemanggilan MRC dalam kapasitas sebagai tersangka akan segera dilakukan. “Statusnya sudah tersangka, maka harus segera dipanggil untuk diperiksa,” ujar Harli, Senin (14/7).
Namun, Kejagung belum memastikan tanggal pemanggilan. Harli bilang, semuanya harus disiapkan dengan rapi. “Ini sedang direncanakan. Penyidik harus mengusulkan jadwalnya,” katanya.
Terkait kemungkinan MRC tidak kooperatif, Kejagung sudah menyiapkan skenario lanjutan. Kata dia, jika MRC tiga kali tak datang, maka penyidik bakal menempuh upaya paksa.
“Jadi tidak bisa serta-merta misalnya dinyatakan DPO atau melakukan permintaan ekstradisi,” tegas Harli.
Dia memastikan, proses hukum harus dijalankan sesuai prosedur. Pertama, melakukan pemanggilan dengan patut, baru penetapan buron jika mangkir, dan menempuh langkah hukum internasional seperti penerbitan red notice atau ekstradisi.
Untuk mengunci ruang gerang MRC, Kejagung juga sudah mengeluarkan permintaan cekak ke Ditjen Imigrasi. Dengan status cekal, lanjut dia, harusnya MRC secara hukum tidak bisa ke luar negeri selama 6 bulan ke depan. Sayangnya, MRC diduga sudah keburu kabur ke luar negeri sebelum pencekalan diterbitkan.
Pihak Kejaksaan sendiri belum memastikan keberadaan terakhir MRC. Beberapa sumber menyebut dia berada di Singapura, tapi belum ada konfirmasi resmi.
Meski begitu, penyidik telah memperluas koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Ditjen Imigrasi dan para atase hukum di luar negeri, khususnya di Singapura.
“Karena yang bersangkutan sudah dicegah masuk dalam daftar cekal, kita berkoordinasi dengan instansi terkait,” jelas Harli, beberapa waktu lalu.
Dalam kasus ini, Kejagung tak cuma menetapkan MRC sebagai tersangka. Anaknya, MKAR, telah lebih dulu dijadikan tersangka dan ditahan. Penyidik menyebut, keduanya memiliki peran masing-masing dalam kasus ini.
MRC merupakan beneficial owner dari PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal Merak yang mengintervensi Pertamina. Sementara sang anak, diduga memperoleh keuntungan dari pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang.
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, MRC melakukan intervensi kebijakan dengan menyepakati kerjasama penyewaan Terminal BBM Tangki Merak. Padahal, saat itu PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan stok BBM.
Kerja sama itu disepakati MRC bersama sejumlah pejabat Pertamina kala itu yang turut dijadikan tersangka, di antaranya Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina 2014 Hanung Budya, VP Supply dan Distribusi Pertamina 2011–2015 Alfian Nasution, serta Gading Ramadhan Joedo yang menjabat sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Kemudian menghilangkan skema kepemilikan aset Terminal BBM Merak dalam kontrak kerjasama serta menetapkan harga kontrak yang tinggi,” ujar Qohar dalam konferensi pers, Kamis (10/7/2025) malam.
Seiring pendalaman penyidikan, nilai kerugian negara dalam kasus ini pun membengkak. Dari semula Rp 193,7 triliun, kini ditaksir melonjakjadi Rp 285 triliun.
“Jumlah ini dari dua komponen, kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara,” kata Qohar.
Tak hanya kerugian yang membesar, jumlah tersangka juga bertambah. Sudah ada 18 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dan hanya MRC yang belum ditahan.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti meyakini Kejagung bisa menuntaskan kasus ini. Sehingga, publik tak perlu khawatir kasusnya mandek di tengah jalan.
“Sudah tetapkan MRC sebagai tersangka, maka Kejaksaan tidak bisa mundur lagi. Mereka akan melanjutkan proses hukum ini, apalagi deliknya adalah kasus korupsi,” ujar Ray, Senin (14/7/2025).
Meski begitu, Ray melihat ada kemungkinan MRC tidak bakal pulang ke Indonesia untuk menyerahkan diri. Sehingga, Kejagung diminta bersikap proaktif mengejarnya.
“Di manapun dia berada, sudah semestinya MRC diperlakukan sama dengan tersangka yang lain. Kalau tersangka lain sudah ditahan, Kejagung tidak ada alasan untuk tidak menahannya,” tandasnya.
Pos Banten | 4 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Galeri | 23 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu