TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pola Pikir Keliru Bermedia Sosial

Oleh: Faqih Thariqu Billah
Minggu, 07 Mei 2023 | 07:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

DINAMIKA sosial selalu mengalami perubahan setiap waktunya, akulturasi budaya melalui sentuhan intens dengan media sosial menjadi salah satu faktor utamanya. Setiap person mempunyai hak dan legalitas mutlak mengakses informasi melalui gawai miliknya. Mendapatkan beragam informasi suatu kejadian atau fenomena, entah nyata adanya atau sekedar berita burung belaka, fakta atau pun hoax.

Kebebasan setiap person dalam menyampaikan ide, ulasan, gagasan bahkan hujatan, kerapkali menjadi biang kerok dalam konstruksi pemikiran masyarakat. Konten yang tiap waktunya selalu terbaharui dengan heterogen makna di dalamnya.

Ambil contoh sederhana fenomena silam yang viral ke seluruh penjuru Indonesia. Tulisan secarik kertas bertuliskan “Om Telolet Om”, dengan menunggu di pinggir jalan tanpa menghiraukan panas terik matahari, berpanas-panasan berharap bis atau truk yang melintas membunyikan klakson variasi tersebut. Saat klakson dibunyikan sorakan tanda kegirangan pun terpancarkan.
Tak ada filosofi mendalam yang membuat kata tersebut menjadi istimewa, hanya saja media sosial yang berpengaruh dalam booming-nya. Sebab berbicara terkait viralnya fenomena, pastinya tidak akan terlepas dari peran media sosial. Sehingga kemudian berdampak kepada masyarakat penggunanya.

Senada dengan ungkapan Najwa Shihab -presenter sekaligus jurnalis, Media menggenggam publik luar biasa, kata dan sabdanya serupa mantra. Ungkapan ini memang betul nyatanya, seolah konten yang di-upload menyulap penggunanya. Entah sadar atau tidak, dewasa atau pun anak-anak berperilaku mengikuti tren yang berada di media sosial.
Bukan suatu masalah sebetulnya untuk mengikuti arus media sosial. Hanya saja, jika ditelaah lebih mendalam media sosial lebih banyak menyajikan konten negatif yang kurang edukatif dan kurang bermanfaat. Konten positif banyak kalah tenar dibanding konten negatif, sehingga cerapan edukasi menjadi sangat minim terhadap pengguna, lebih-lebih kalangan anak-anak yang belum dapat memilah dan memilih konten yang layak dikonsumsi.

Ambil contoh kongkrit fenomena baru-baru ini, dimana siswa kelas 2 SD -Nono panggilan akrabnya, sabet juara 1 matematika di Abacus Brain Gym (ABG) International Mathematics Competition dengan mengalahkan 7.000 anak lainnya dari berbagai penjuru dunia. Namun beritanya kalah tenar dibanding dengan anak yang sedang patah hati -fajar sadboy, kerab kali diundang ke berbagai acara televisi atau pun berbagai podcast. Kalah viral juga dibanding dengan pemuda yang membuat konten orang tua renta untuk mandi di lumpur. Bermodalkan air kolam kecil sebagai wadah untuk mengguyurkan air lumpur ke dirinya. Saking lamanya berkubang di dalam lumpur, tak ayal jika nenek tampak menggigil saat di live TikTok.   
Secara kualitas jelas juara matematika tingkat nasional mempunyai nilai positif dan edukatif dibanding persoalan patah hatinya anak-anak atau fenomena ngemis online dengan mandi lumpur yang merupakan tindakan kurang manusiawi dan mengeksploitasi kemiskinan.

Naik 2 fenomena yang kurang edukatif ini tentu tidak lepas dari peran media sosial. Media memandang bahwa 2 fenomena tersebut mempunyai daya tarik dan berpeluang untuk menjadi trending konsumsi publik. Media berperan sebagai komodifikasi yang menjadikannya sebagai komoditas yang memiliki nilai tawar trending. Jika pun tidak segera disiarkan, boleh jadi beritanya menjadi basi dan tidak akan menjadi trending. Suatu fenomena temporal merupakan kesempatan yang tidak akan pernah disia-siakan.

Senada dengan pendapat Adjie Santosoputro, dimana konten media sosial selalu memprioritaskan ekspres dan viral. Walaupun, prioritas tersebut terkadang perlu melegalkan berbagai cara. Titik tekannya lebih mengarah hanya kepada bilangan penontonnya, jumlah viewers-nya. Tidak terfokus kepada kualitas konten namun kepada kuantitas penikmat kontennya.
Karenanya perkembangan masif konten yang kurang edukatif perlu dicegah, dengan mengawalinya dari kita -penikmat konten media sosial. Setidaknya dengan melakukan beberapa kiat-kiat sederhana yang penulis canangkan. Pertama, memperluas wawasan diri sendiri. Intensi dari dalamnya pikiran untuk dapat membedakan mana konten positif dan negatif, yang bersifat edukatif atau sekedar hiburan belaka. Sehingga tidak mudah mengamini setiap konten yang fyp (For You Page).

Kedua, tidak memberikan dukungan kepada konten negatif, melalui tidak menontonnya, tidak memberinya like, tidak menge-share-nya, meng-unfollow-nya dan upaya apapun agar kontennya tetap stagnan, (namun dengan tanda kutip tidak menghina dan mencacinya). Sehingga Perilaku konsumtif kita lebih diarahkan kepada konten positif. 
Ketiga, membuat konten edukatif guna meminimalisir konten positif yang tergolong minim. Kuantitas konten negatif yang berkembang secara makro dan masif boleh jadi sulit untuk dicegah. Karenanya perlu memberikan konten tandingan untuk menyiasatinya, Lebih-lebih nantinya konten negatif dapat tersaingi.
Semoga kedepannya anak bangsa Indonesia menjadi lebih cerdas sekaligus cermat dalam memilah dan memilih konten yang berguna serta bermanfaat untuk perkembangan dirinya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo