TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Hasil Survei Lembaga Kredibel, Ekonomi Pulih Belum Merata

Oleh: SIS/AY
Senin, 25 Juli 2022 | 08:43 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Ist)
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Ist)

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani berkali-kali bilang, ekonomi Indonesia sangat baik. Bank Dunia hingga Dana Moneter Internasional (IMF) juga ikut mengaminkan pernyataan Sri Mul dan memuji ekonomi Indonesia. Apakah ekonomi saat ini sudah pulih total, ternyata survei membuktikan, membaiknya ekonomi saat ini belum merata. Sebagian masyarakat menganggap ekonomi masih buruk.

Dalam berbagai kesempatan, baik di forum nasional maupun internasional, Sri Mul selalu membangga-banggakan kondisi perekonomian Indonesia. Sri Mul bahkan menggaransi, krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka dan bikin dunia ketar-ketir, tidak akan menular ke Indonesia. 

Terkait ancaman resesi, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga tidak khawatir. Kalau pun terkena resesi, sesuai prediksi banyak pihak, tidak lebih dari 3 persen.

“APBN kita masih mampu menahan goncangan yang akan datang,” kata Sri Mul, dalam pertemuan menteri keuangan G20 di Bali, beberapa waktu lalu.

Tak hanya Sri Mul, IMF juga optimis Indonesia aman dari ancaman resesi yang kini sedang melanda banyak negara. Keyakinan itu disampaikan langsung Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva saat bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, pekan lalu.

Lantas bagaimana kondisi ekonomi Indonesia di mata rakyat? Untuk mengetahui ini, bisa dilihat dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis, kemarin. Survei LSI ini digelar pada 27 Juni hingga 5 Juli 2022. Metodologi survei ini menggunakan kontak telepon kepada responden secara acak atau random digit dialing (RDD).

Target populasi survei ini adalah WNI berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon, sekitar 83 persen dari total populasi nasional. Kemudian, sampel dikumpulkan adalah 1.206 orang yang dipilih acak. Margin of error survei ini diperkirakan +/- 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Apa hasilnya? Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan mengatakan, mayoritas responden menilai ekonomi Indonesia masih buruk atau negatif. Dari seluruh responden yang menilai sangat baik dan baik, totalnya 25,4 persen. Sedangkan yang buruk dan sangat buruk ternyata lebih besar, yakni mencapai 35,1 persen.

Menurut Djayadi, tren persepsi publik terhadap ekonomi Indonesia yang dianggap buruk ternyata tidak berubah dibanding survei sebelumnya. Pada survei LSI di Mei, gambaran penilaian publik terhadap ekonomi tanah air cenderung sama, masih buruk.

"Masih stagnan. Lebih banyak yang menilai negatif daripada positif," kata Djayadi dalam konferensi pers yang digelar secara daring, kemarin.

Dengan kondisi ekonomi yang masih buruk, kata Djayadi, mayoritas responden juga menolak kenaikan harga BBM. Meskipun saat ini harga minyak mentah dunia alami kenaikan, publik berharap pemerintah tetap melakukan subsidi dan tidak menaikkan harga.

“Ada 48,1 persen responden yang meminta pemerintah berupaya menjaga agar harga BBM di dalam negeri tidak naik. Sedangkan 32,7 persen yang memahami kalau akhirnya pemerintah naikkan harga BBM,” jelas Djayadi.

Selanjutnya Meski ekonomi dianggap buruk, ternyata penilaian masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi masih relatif tinggi, di angka 64 persen. Rinciannya, 13,5 persen responden merasa sangat puas, dan 50,5 persen responden merasa cukup puas. Sedangkan 27,2 persen mengaku kurang puas, 5,9 persen tidak puas sama sekali, dan 2,9 persen tidak tahu atau tidak menjawab.

“Tapi kalau kita bandingkan dengan survei serupa pada Mei sebelumnya, hasil survei kali ini cenderung stagnan atau sedikit menurun dari 67 persen ke 64 persen,” Djayadi menutup.

Direktur Celios, Bhima Yudhistira membenarkan hasil survei yang dilakukan LSI itu. Selama ini, kata dia, Sri Mul asal ngeklaim saja soal kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Dari data saja bisa dilihat. Misalnya, kemiskinan menurun ke 9,54 persen per Maret 2022, tapi ketimpangannya naik dari September ke Maret menjadi 0,384.

"Ini menunjukkan kecepatan pemulihan kelompok paling bawah dan paling atas semakin tidak berimbang. Orang kaya punya tabungan, tinggal belanja meski harga naik tidak masalah. Sementara kelas bawah jangankan tabungan, untuk bertahan hidup saja sulit," bebernya.

Indikator lain, kesempatan kerja masih belum kembali ke pra pandemi. Kata Bhima, situasi sebenarnya semakin tidak pasti. Ada stagflasi dan resesi ekonomi global. Ini berlaku di sektor komoditas seperti sawit yang banyak mengeluh harga turun tajam beberapa pekan terakhir. 

Namun, Peneliti Indef, Sugiyono Madelan membenarkan, bila kondisi ekonomi Indonesia masih cukup baik ketimbang negara lain. Yang akan menjadi persoalan adalah kemampuan bayar bunga utang APBN setelah suku bunga acuan Amerika Serikat naik, dan rupiah melemah.

"Jadi, bukan pada kondisi eksisting saat ini. Melainkan pada triwulan ketiga, keempat, dan tahun 2023. Ketika burden sharing dihentikan dan perang Rusia-Ukraina berlanjut dengan pemberlakuan embargo ekonomi, keuangan, dan persenjataan," terang Sugiyono.

Menurutnya, Pemerintah perlu meningkatkan anggaran subsidi energi dan nonenergi, menaikkan bantuan sosial untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Reformasi energi dan pangan perlu dilakukan, juga memperbaiki pengendalian laju inflasi, nilai tukar, dan suku bunga, serta menjaga volatilitas ekstrim pada pasar komoditas.

Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menganggap ekonomi kita cukup baik, tapi belum maksimal. Catatannya, indikator stabilitas makro cukup baik. Sehingga yang perlu dilakukan Pemerintah adalah optimis dan berhati-hati.

"Masih harus terus waspada. Tantangan terbesar adalah ancaman inflasi dan efektivitas subsidi," pungkasnya. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo