TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Kekuasaan Dan Kebahagiaan Hidup

Oleh: Muakhor Zakaria
Sabtu, 23 Desember 2023 | 07:45 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

“Indoktrinasi yang disusupkan rezim militerisme, yang berdampak pada pola pikir bangsa selama beberapa dekade lalu, membuat banyak orang masih tergagap untuk menerima kenyataan, bahwa sosok presiden maupun wakil rakyat (DPR) hanyalah pejabat-pejabat publik yang digaji dari pajak rakyat.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia).

Sewajarnya manusia berdoa pada Tuhannya agar diberi kesuksesan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Tapi, perlukah kita berdoa agar digagalkan dan dikalahkan, misalnya dalam ajang kontestasi pemilu 2024 nanti? Adakah kandidat presiden, wakit rakyat dan segenap calon kepala daerah, yang berani secara jujur berdoa: “Ya Allah, jika kepemimpinan kami membawa keburukan dan kerusakan moral (kemudlaratan), maka gagalkanlah kami sebagai pemimpin masa depan bangsa dan negeri ini.”

Dalam opini kiai NU Banten, K.H. Chudori Sukra di harian Republika, “Ketika Peta Politik Berubah”  (12 Januari 2018) yang kemudian diadaptasi secara cerdas oleh Alim Witjaksono dalam judul, “Fulan Menolak Jabatan Gubernur” (radarntt.co), nampak tergambar sejarah hidup Said bin Amir yang pernah menolak jabatan Gubernur Damaskus dari mandat yang diberikan Khalifah Umar bin Khattab. Penolakan itu membuat sang khalifah merasa kesal dan terus mendesaknya, sampai kemudian Said bin Amir terpaksa mengemban mandat kepemimpinan itu.

Melalui radarntt.co, penokohan Said bin Amir yang dikenal tawadlu dan zuhud itu, telah diubah sebagai tokoh “Fulan” yang kemudian menerima jabatan gubernur, setelah Presiden Jokowi memberikan mandatnya selaku gubernur ibukota baru Nusantara di Kalimantan Timur. Selang beberapa tahun kemudian, Presiden Jokowi mengadakan inspeksi ke seluruh wilayah pemerintahannya.

Ketika berkunjung ke Ibukota Nusantara, ia mendengar sebagian penduduk sangat menyukai gaya kepemimpinan Gubernur Fulan. Namun, sebagian lain mempersoalkan serta memberikan kritik tajam. Presiden menampung semua aspirasi masyarakat, termasuk tokoh-tokoh ulama, intelektual, LSM hingga kalangan pers. Ia pun mencatat beberapa hal yang akan dikemukakan perihal kinerja Gubernur Fulan selama beberapa tahun ini. Presiden juga memahami ketidaksempurnaan manusia, hingga mengharap-harap “kepuasan” dari semua pihak yang bakal dialami pemimpin, hanyalah mimpi dan mitos belaka.

Seorang staf berani memberikan kesaksian, konon selama beberapa minggu Gubernur pernah datang ke kantor agak telat dan kesiangan. Yang lainnya menyatakan, bahwa Gubernur pernah membolos selama dua hari, dan stafnya tidak menemukan di rumahnya pada saat mereka membutuhkan tandatangan. Di sisi lain, ada seorang ajudannya memberikan kesaksian terbuka, bahwa Gubernur pernah kedapatan menangis setelah mengunjungi para petani di pedalaman Nusantara yang paling terpencil.

Setelah membayangkan sosok Gubernur atas keluhan dan kritikan staf-stafnya, Jokowi justru tersenyum lembut. Karena pada prinsipnya, ia memahami tipikal kepemimpinan Fulan, serta membayangkan gambaran dirinya yang tak jauh beda dengan karakter sahabatnya itu.

Jokowi sudah menebak apa yang menjadi jawaban Fulan ketika dikonfrontasikan di hadapan staf-stafnya, guna mempertanggungjawabkan apa-apa yang dipersoalkan oleh mereka. Dan beginilah jawaban Gubernur Nusantara:

“Sebenarnya saya enggan menjawab persoalan ini, dan saya merasa malu untuk menyampaikannya. Tetapi, karena yang bertanya Pak Presiden langsung, disaksikan oleh staf-staf gubernur, untuk itu saya pun harus mempertanggungjawabkannya. Semoga Pak Presiden bisa maklum, dan semoga Tuhan juga memaafkan kekurangan dan kekhilafan saya…”

Mengenai ia melakukan tugasnya agak kesiangan, karena keluarganya tidak mempekerjakan seorang pelayan atau pembantu, pada saat mereka cuti dan mudik ke kampung halamannya. Gubernur menemani istri dan anak-anaknya untuk menyelesaikan urusan-urusan rumah-tangga. Mereka menyapu dan membersihkan halaman, menyiram taman, mencuci peralatan rumah-tangga, pakaian, kendaraan dan lain-lain. Kadang juga Gubernur membantu istrinya di dapur untuk menyediakan makan bagi keluarganya.

Selanjutnya, mengenai ia pernah membolos selama dua hari. Karena ia harus tinggal di pedalaman selama dua hari, menemani para dokter dan tim medis untuk melayani masyarakat suku pedalaman Kalimantan yang terserang wabah penyakit beberapa bulan lalu.

Lalu, mengenai ia pernah kedapatan menangis di kantornya, mereka yang hadir seketika terdiam. Suasana hening dan sendu. Presiden agak gusar dengan pertanyaan yang polos dan lugu dari ajudannya tersebut. Tetapi, Gubernur Fulan akhirnya mengangkat kepalanya, dan menjawab tenang:

“Suatu hari di akhir tahun 1965, ketika saya masih bocah seusia tujuh tahun, saya pernah menyaksikan serombongan tentara menurunkan lima orang petani yang dituduh sebagai anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Padahal, mereka hanya petani kampung pedalaman yang tak mengerti kekisruhan politik di ibukota Jakarta, bahkan mereka pun tidak mengerti BTI itu apa. Satu orang dari mereka adalah anak kiai NU, tetapi bapaknya yang kiai itu pun tak bisa berbuat apa-apa, karena kelima petani itu sudah tertulis dalam catatan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Mereka diseret di kebun karet, dan tangan mereka diikat di belakang kepala, kemudian dieksekusi di sungai Kalitimbang yang terletak di belakang sekolah saya. Untuk itu, mohon maaf Pak Presiden… apakah saya perlu melanjutkan?”

“Ya, silakan diteruskan,” kata Presiden dengan penuh empati.

Gubernur Fulan menyeka air matanya dengan tisu, dan lanjutnya kemudian, “Kadang-kadang, sepulang mengadakan inspeksi di pedalaman, dan melihat nasib para petani kecil, saya tak dapat menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang.”

Gubernur menegaskan lagi, bahwa kala itu ia masih berumur tujuh tahun, dan merasa menyesal tak bisa berbuat apa-apa melihat kesewenangan dan ketidakadilan yang terhampar di depan mata. Seketika air mata menetes dan membasahi wajahnya. Presiden Jokowi tak kuasa menahan diri, lalu segera merangkul dan memeluk Gubernur Fulan sambil berseru dengan gembira, “Alhamdulillah, rupanya benar firasat saya. Berkat karunia dan pertolongan Tuhan, selama ini saya tidak salah untuk memilih Anda sebagai Gubernur Nusantara.”

 

Doa yang tertolak

 

Mungkin ada ratusan bahkan ribuan yang mengharap dan berdoa agar dirinya diangkat selaku gubernur Nusantara, namun toh pada akhirnya Tuhan hanya memilih satu orang saja, yakni Fulan. Lalu, apakah ribuan orang yang punya rencana dan agenda, bahkan berdoa dan berikhtiar seoptimal mungkin, pada akhirnya gagal dan tertolak doa-doa mereka?

Sama halnya, bahwa ribuan orang yang bermimpi dan bercita-cita selaku presiden dan pemimpin RI, harus menerima kenyataan jika Tuhan pada akhirnya hanya mngabulkan satu orang saja, dari doa-doa yang berhamburan, ditambah ribuan doa-doa saudara-kerabat, handai-taulan, para tim sukses, berikut petuah ulama, kiai, maupun “orang pintar”yang mendukungnya.

Terkait dengan ini, Hafis Azhari penulis novel Pikiran Orang Indonesia (kelahiran Banten) seringkali menyatakan, bahwa Islam tidak terlampau mempersoalkan perihal siapa yang menang dan siapa kalah, tetapi mengajarkan bagaimana manusia sanggup menyikapi kemenangan dan kekalahan secara beradab dan diridhoi Allah.

Untuk itu, yang perlu ditakuti bukanlah kegagalan dan kekalahan, akan tetapi justru kemenangan yang tidak diridhoi Allah. Sama halnya dengan kaya dan sukses yang tidak diridhoi Allah, yang dengan kesuksesan dan kekayaannya itu kelak akan menggelincirkannya dalam kubang kenistaan dan kehinaan. Bolehlah Anda menang dan tinggi kedudukan sebagai pejabat negara selama lima atau sepuluh tahun, lalu apalah artinya waktu sepuluh tahun, jika kemudian Anda terjengkang dan terpuruk sebagai manusia hina yang terbongkar segala aib dan kenistaannya?

Abdullah Gymnastiar selaku ulama dan penceramah, seringkali memberi fatwa bahwa hina di mata manusia tetapi mulia di mata Tuhan, jauh lebih baik ketimbang mulia di mata manusia namun hina dalam pandangan Tuhan. Sebab, sang waktu akan menjawab semuanya, bahwa pada akhirnya, orang yang mulia dalam pandangan Tuhan senantiasa akan mulia dalam pandangan umat manusia. Jadi, hal itu hanya perkara waktu saja. Dan dalam perhitungan sejarah, sesungguhnya kekuasaan dan kesuksesan duniawi hanyalah sekejap mata, jika pun kekuasaan itu digenggam selama 32 tahun, maupun berabad-abad lamanya.

Ilmu yang bermanfaat

Dari buku-buku dan ceramah, hingga ratusan artikel dan karya sastranya, bapak bangsa Soekarno masih terus mengalirkan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi proses pencerdasan dan kedewasaan masyarakat kita hingga hari ini. Dengan ilmunya yang mengandung nilai “jariyah”, maka peninggalan gedung dan infrastruktur yang pernah dibangun oleh Presiden Soekarno niscaya membawa berkah dan kemaslahatan juga.

Bangunan infrastruktur mungkin akan bertahan dalam hitungan beberapa dekade atau beberapa abad saja, akan tetapi ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir sepanjang zaman. Ia akan terus diadaptasi, dikutip dan dijadikan rujukan sebagai warisan sejarah yang abadi. Jika ilmu sudah dialirkan dan membawa kemanfaatan, maka penilaian negatif oleh pihak tertentu, hanyalah soal waktu saja. Kelak di kemudian hari, akan muncul emansipasi kesadaran yang membuat banyak pihak menjadi insaf dan paham.

Bukankah ilmu yang bermanfaat itu (dalam Alquran) bagaikan pohon yang kuat dan kokoh, yang akarnya menancap di kedalaman bumi serta cabang-cabangnya menjulang ke langit? Pohon itu akan terus memberi manfaat dengan buah-buahnya yang ranum dan matang, yang senantiasa memberi berkah pada tiap-tiap musimnya.

Soekarno, Hatta maupun Sjahrir, bukan semata-mata pejabat publik yang narsis dan gila kekuasaan, lalu mengultuskan diri sebagai “bapak pembangunan”. Meskipun pada prinsipnya, pembangunan infrastruktur juga akan bernilai “jariyah” dan memiliki kemuliaan di mata Tuhan, jika diniatkan dengan hati tulus untuk memprioritaskan kepentingan umat, atas dasar cinta dan kemanusiaan kepada rakyat yang dipimpinnya.

Jika meneladani sosok para pemimpin zuhud, selayaknya membuat hati kita miris, betapa tidak sepantasnya para pejabat publik yang membangun bahkan digaji dari uang rakyat itu, merasa telah memenangkan pertempuran, lalu bersikap angkuh dan sombong lantaran kekuasaan yang dimilikinya. Betapa tidak sepantasnya mereka memperkaya diri, serta menggunakan waktu dan energinya untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan, hingga tak ayal di antara mereka berceloteh di layar teve: “Saya sudah bosan dan capek hidup dalam kemiskinan. Untuk itu, saat ini saya bertekad bahwa saya harus kaya!”

Pantaskah kata-kata semacam itu dilontarkan dari mulut seorang pejabat publik kita, di negeri yang dikenal beragama dan Pancasilais ini? Bukankah hal itu mnenandakan bahwa ia belum selesai dengan dirinya, hingga ketika jabatan itu dalam genggamannya, lalu ia memiliki cita-cita baru yang bersifat duniawi, bahwa ia harus menjadi kaya dan memiliki banyak uang.

Kalau pengabdian pada rakyat diartikan dengan “kerja” dan memeras keringat demi meraih uang yang banyak, bukankah uang itu hanya perkara angka-angka? Sedangkan, angka-angka nominal tak pernah memiliki kata akhir. Jika kesejahteraan dan kebahagiaan hidupmu dan anak-anakmu, diukur dengan angka dan nilai uang, maka pencarianmu untuk hidup bahagia tak pernah berakhir sampai kapan pun….

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Inisial B
Jumat, 03 Mei 2024
Dahlan Iskan
Spesialis Trisula
Kamis, 02 Mei 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo