TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Manusia Sebagai Hewan Yang Diretas

Oleh: Indah Noviariesta
Minggu, 17 Maret 2024 | 11:23 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Jika kita menelusuri lebih dalam, dari satu bab ke bab lain dalam novel Pikiran Orang Indonesia (selanjunya ditulis POI), di situ nampak bahwa kehendak bebas manusia pada akhirnya akan membahayakan. Kehendak bebas itu kentara pada perlakuan elit politik yang mengendalikan bawahannya, dan diinisiasi oleh pemerintah dan militer sebagai pihak bersenjata dan berteknologi. Bayangkan, jika pihak pemerintah dan korporasi berhasil dalam meretas manusia menjadi binatang yang bisa ditundukkan dan boleh melakukan apa saja atas perintahnya, maka manusia yang berkehendak bebas (tanpa ideologi), akan tega melakukan kejahatan masif atas nama kewibawaan penguasa dan stabilitas negeri.

Saat ini, untuk memuluskan jalan dan kehendak penguasa dalam program “peretasan manusia”, mereka hanya perlu membayar orang-orang yang ahli di bidang komputer dan biologi. Di tahun 1998, ketika istilah peretasan belum populer, rezim militer Orde Baru sebenarnya telah melakukannya secara misterius, meskipun perangkatnya belum secanggih teknologi digital saat ini.

Terkait dengan itu, novel POI telah menggambarkan secara lugas perihal kiprah Angkatan Bersenjata (ABRI) dalam memelintir dan menakhodai pikiran dan perasaan manusia Indonesia, sejak program Tri Upaya Cakti hingga program “manusia seutuhnya” yang dicanangkan Soeharto dan Orde Baru.

Untuk itu, dinyatakan secara eksplisit dalam POI, bahwa tidak dibutuhkan bagi bangsa ini untuk mengejar titel kesarjanaan berderet-deret. Tetapi, yang diperlukan hanyalah skill dan kemampuan dasar tentang psikologi dan kepribadian manusia, yang dalam istilah biologi dikenal dengan “neurosains”. Pihak penguasa berikut perangkat teknologi yang dipakainya, akan dapat dengan serta-merta mengenal dan mengetahui perasaan kita, kebutuhan-kebutuhan kita, bahkan hasrat dan keinginan yang lebih prinsipil dari manusia Indonesia.

Mereka bahkan lebih mengetahui tentang siapakah diri Anda ketimbang penilaian diri Anda tentang dirimu sendiri. Sebab, dengan iklim liberalisme yang diamankan rezim militer sejak era Orde Baru, Anda memang telah dicetak agar tidak menyadari siapakah diri Anda yang sebenarnya. Bahkan, sebagian besar cendekiawan dan sastrawan sekalipun, seakan hanya dapat berfungsi jika mereka mau berkiprah selaku abdi-abdi lokal yang nunut-manut pada kehendak dan ambisi rezim semata.

Tokoh Arif

Propaganda dan manipulasi bukanlah hal baru di dunia militerisme. Di zaman Hitler, propaganda NAZI disusupkan secara massif ke dalam otak manusia, sebagaimana kekuatan Orde Baru yang mengendalikan, bahkan mengambil-alih fungsi TVRI maupun RRI sebagai perangkat teknologi mutakhir saat itu. Selain itu, Orde Baru juga membuka lahan-lahan baru bagi iklim liberalisme melalui surat-surat kabar bentukan mereka, sambil membredel koran-koran yang dinilai pro-Soekarno.

Saat ini, penguasa dan korporasi akan gencar melakukan hal yang sama, melalui algoritma yang dapat memberitahu bahwa otak Anda memiliki bias dan kecenderungan dalam hal apa saja. Dalam tahun-tahun terakhir, beberapa gelintir orang tercerdas di dunia telah bekerja dalam meretas otak manusia Indonesia (dan dunia) dengan maksud agar membuat Anda mengklik iklan dan menjual sesuatu pada Anda. Nah, fakta yang terjadi akhir-akhir ini, bahwa metode yang sama, telah dipakai pula secara masif, justru untuk menjual politisi dan ideologi kepada Anda.

Sebagaimana tokoh Aris dalam novel POI yang hidupnya terus-menerus dibayangi para mentor (mursyid) yang mengandalikan jalan pikirannya, kini program peretasan lebih canggih lagi mengandalkan analisis sinyal mengenai tempat yang dikunjungi, produk-produk yang dikonsumsi, hingga kata dan simbol-simbol yang Anda sukai. Bahkan, seperti yang tergambar dalam film Snowden (2016) yang disutradarai Oliver Stone, sensor-sensor biometrik dapat memberi peretas akses langsung kepada dunia privat manusia. Mereka mengamati suasana hati kita, bukan hanya secara faktual melainkan secara metaforis melalui gerakan otot yang mengatur tekanan darah, fungsi dan aktivitas otak dan seterusnya.

Kita bisa memahami, ketika ada beberapa seniman yang memprovokasi agar memboikot novel Pikiran Orang Indonesia yang cenderung anti kekuasaan gaya Orde Baru, sambil berteriak lantang:  “Tidak mungkin! Kami ini seniman-seniman yang berpihak pada kebebasan ekspresi! Kami punya kehendak bebas, dan punya pilihan tersendiri! Novel manapun yang menganggap bahwa kami adalah abdi-abdi yang setia dari pemerintah Orde Baru, ia telah memberikan penialaian secara politis, sedangkan seniman tidak berpolitik!”

Sosok-sosok seniman yang berkoar-koar, bahwa dirinya anti-politik, serta terungkap secara jelas melalui berbagai jaringan medsos, sebenarnya mereka juga sedang memainkan iklim politiknya tersendiri. Seakan mereka tidak menyadari bahwa dirinya telah dikendalikan oleh alam bawah sadar, dan situasi itu sangat mudah untuk “diretas” oleh pihak penguasa, sebagaimana karakter Arif yang digambarkan dalam novel tersebut.

Mengenal diri

Jelas akan sulit disangkal, bahwa novel POI terang-terangan mengajak kita untuk mengenal diri, bahkan ke dalam hal yang sangat prinsipil sekalipun. Novel tersebut seakan mengungkap fakta empiris akhir-akhir ini, bahwa rata-rata IQ manusia Indonesia hanya 78,4 saja. Itu akan sulit bagi mayoritas masyarakat kita untuk berpikir ilmiah. “Untuk memahami sastra yang berkualitas, diperlukan ilmu biologi, sedangkan biologi hanya bisa dipahami oleh orang yang mengerti ilmu kimia. Kimia juga bisa dipahami dari fisika, dan itu diperlukan IQ di atas 100,” ujar Ryu Hasan, pakar neurosains dari keluarga besar NU di Jombang, yang kini tinggal di Tokyo, Jepang.

Penokohan dalam novel POI menunjukkan bahwa semua yang diperbuat manusia berpangkal dari otak. Hal-hal yang menyangkut emosi algoritma, termasuk perasaan dan imajinasi manusia, kini sudah bisa diketahui dengan mudah. Menurut Ryu Hasan, saat ini bahkan sudah bisa dibedakan antara bahagia dan gembira. “Kita punya mobil akan gembira, karena banyak orang lain yang tak terbeli mobil. Rasa gembira seringkali muncul karena adanya pihak lain yang terkalahkan, atau bahkan menderita. Lalu, mengapa tingkat kebahagiaan orang Finlandia lebih tinggi? Hal itu dikarenakan bangsa yang bahagia adalah bangsa yang jiwanya merdeka. Bukan karena adanya pihak lain yang susah dan terkalahkan,” tegas Ryu Hasan.

Karena itu, demi untuk menyelematkan diri di era milenial ini, kita perlu meninggalkan pandangan naif terhadap manusia sebagai individu yang seakan-akan bebas. Padahal sejatinya, bila kita berkaca pada novel POI, kita semakin mengetahui identitas diri kita, bahwa pada hakikatnya manusia bukan saja makhluk yang bisa berbicara, tetapi juga hewan yang mudah diretas dan dikendalikan oleh pihak lain.

Jika pemerintah kita mendiamkan (atau diam-diam berpihak) pada segelintir seniman yang menyatakan “boikot” atas novel POI, maka sudah jelas bahwa dugaan itu bisa berkembang menjadi tuduhan, bahwa mereka sengaja memanfaatkan ketololan dan kedunguan sebagian masyarakat, untuk dijadikan komoditas politik semata.

Untuk itu, tugas pemerintah dan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seakan menjadi “ancaman” yang dapat membangkitkan emansipasi kesadaran atas sistem penjajahan yang hendak mereka lestarikan.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo