TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Perempuan Dalam Karya Hafis Azhari

Oleh: Alim Witjaksono
Jumat, 29 Maret 2024 | 10:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Dalam dunia sastra, seringkali sosok perempuan dijadikan media yang unik. Misalnya, dalam novel Perasaan Orang Banten, tokoh Jamilah sebagai kekasih Yosef diibaratkan sebagai jiwa atau komitmen tersendiri. Jika hubungan sang kekasih menjadi baik, maka cedera fisik maupun luka imajinatif menjadi tersembuhkan.

Ada beberapa tipikal perempuan yang ditampilkan, salah satunya dalam novel Pikiran Orang Indonesia melalui tokoh Ida Farida. Dia membayangi tokoh protagonis yang ingin memiliki hubungan fundamental dengannya. Dalam beberapa waktu ia menghilang, sehingga menghantui memori kekasihnya. Ida Farida adalah jenis perempuan yang cenderung blak-blakan, intelek, terpelajar, serta jujur secara seksual. Sedangkan, tokoh Jamilah dalam Perasaan Orang Banten, adalah tipikal perempuan kampung yang introvert, dibesarkan oleh orang tua yang konservatif hingga membutuhkan lelaki pujaan hatinya yang bisa melindungi, baik secara fisik maupun mental.

Haris sebagai kekasih Ida seakan terjebak di antara dunia spiritual dan dunia nyata. Dalam dunia spiritual, laki-laki mendambakan perempuan yang lembut, cerdas, salehah dan sederhana. Sedangkan dalam dunia realistis, kebanyakan laki-laki menginginkan sosok perempuan yang aktif, lucu, dan cepat tanggap. Di novel Perasaan Orang Banten, ada tipikal beberapa wanita kampung, selain Jamilah yang udik dan norak, yang mendambakan suami kantoran, ada juga tipikal gadis tenar penyanyi dangdut (Poppy Ratnasari) hingga janda kaya raya (Nyi Hindun), yang juga turut berpetualang untuk mendapatkan pujaan hatinya.

Sebagai perempuan kampung yang rendah tingkat pendidikannya, sulit ditemukan adanya perempuan enerjik dan humoris pada karya-karya Hafis Azhari. Termasuk Ida Farida selaku perempuan jurnalis terpelajar, juga kurang memiliki rasa humor, karena sepanjang hidupnya dibeliti oleh perlakuan rezim yang berlaku sewenang-wenang.

Kalaupun ada tokoh perempuan lucu seperti Bi Siti atau Bi Marfuah (dalam Perasaan Orang Banten), hal tersebut karena proses narasi bentukan penulisnya mengenai kelakuan dan watak sang tokoh yang pantas ditertawakan pembaca. Bukan dari karakter si tokoh itu sendiri yang memiliki selera humor yang memadai.

Hubungan cinta Haris dan Ida dalam Pikiran Orang Indonesia juga tampak serius tanpa selera humor tinggi. Mereka lebih bersenda-gurau perihal kelucuan kaum politikus dan penguasa yang cenderung satir, bahkan terasa hambar. Tokoh Haris pada akhirnya menjatuhkan pilihan untuk hidup bersama Ida Farida selaku jurnalis. Karena ia menyadari, betapa kebanyakan lelaki dalam iklim dan lingkungan yang diciptakan rezim militerisme, tentu tak lepas dari penyakit dalam jiwa dan pikiran mereka. Ruang itu adalah bagian dari Haris sendiri yang pernah mengalami delusi paranoid hingga skizofrenia.

Haris seakan menyadari, bahwa lelaki Indonesia, yang dibesarkan dalam iklim ketakutan dan kesenyapan, mesti memiliki bagian waras dan sableng dalam pikirannya. Novel Pikiran Orang Indonesia seakan menawarkan negosiasi antara keduanya. Keberadaan sosok Ida Farida seakan menjanjikan kewarasan dalam perjalanan hidup Haris. Di situ letak keunikan dari karya Hafis, seakan ia mampu melihat bagian yang tidak waras dalam pikiran manusia Indonesia, yang kemudian sang tokoh menjadi waras pada saat mampu menuliskannya. Itulah pula yang membuat Dokter Andy menyarankan Haris agar menulis puisi maupun cerpen di sepanjang perawatan oleh psikiater yang mendiagnosanya.

Ini membuktikan, bahwa sang penulis yang dibesarkan dalam iklim politik pasca 1965, seakan pernah mengalami masa-masa yang “tidak waras” dalam fase hidupnya, lalu dia dapat menemukan bagian-bagian yang sakit itu manakala mampu menggoreskannya lewat karya sastra.

Hal ini pun mengingatkan kita pada karya Etgar Allan Poe (Amerika Serikat) yang seringkali menampilkan topeng-topeng Yunani dalam novelnya. Di sisi kanan ia tampak sebagai karakter yang tragis dan absurd, namun di sebelah kiri menampilkan tokoh-tokoh kocak dan lucu.

Tampaknya Hafis lebih senang menulis dialog dalam novel maupun cerpen-cerpennya. Karakter yang lucu terus-menerus juga dirasa membosankan. Tentu saja novel Pikiran Orang Indonesia tak mungkin digarap dengan gaya humoris. Meskipun Hafis menyadari suasana humor akan menempatkan kita dalam situasi yang stabil. Dalam rautmuka yang serius dan nelangsa, tampaknya orang Indonesia akan mudah dinilai kurang waras atau terganggu secara kejiwaan. Hafis bahkan menyebut tokoh pelawak Betawi dalam novelnya, seperti Komeng, Omas dan Malih. Tetapi, untuk menggarap Pikiran Orang Indonesia yang sarat gugatan terhadap kesewenangan dan ketidakadilan sistem, tampaknya ia tak bisa melawan pertempuran dengan tersenyum.

Dalam Jenderal Tua dan Kucing Belang, sang protagonis nampaknya menggapai-gapai cara untuk menemukan sesuatu yang pernah hilang dalam dirinya. Seperti halnya tokoh Odysseus, ia telah mengalami banyak hal-hal aneh di masa lalunya, dan terus-menerus dibayang-bayangi, serta disibukkan pikirannya untuk menggapai jawaban atas sesuatu yang hilang tersebut.

Dalam Pikiran Orang Indonesia, sang tokoh mampu bertahan hidup dari pengalaman getir masa lalunya, hingga pada akhirnya ia dapat meraih apa-apa yang ia cari. Barangkali itulah motif utamanya, hingga tak jarang penulis milenial menjuluki karya Hafis sebagai sastra monoteisme. Ada kekuatan spiritual yang mendorongnya, sebagaimana Adam yang diturunkan dari surga, lalu kehilangan sosok Hawa. Tapi, ia tak pernah merasa putus asa untuk mencari dan mencari, sampai akhirnya berhasil menemukannya.

Yang tak kalah menarik, novel tersebut mengisyaratkan adanya penguasa zalim yang berhadapan dengsn sosok pejuang kebenaran yang pantang menyerah. Ia mengindikasikan pesan moral berdasarkan logika monoteisme dari agama-agama Samawi, baik Islam maupun Kristen. Meskipun Tuhan sudah mencatat dalam buku-Nya perihal adanya kezaliman dan kesewenangan, manusia tidak lantas berpangku-tangan dan menyerah pada keputusan takdir itu.

Karya Hafis tak mau terjebak ke dalam logika monisme Kejawen, seakan-akan percuma saja berjuang menegakkan kebenaran, karena toh kezaliman manusia sudah ada dalam catatan di garis tangan-Nya. Tapi, justru ia menegaskan, “Tak ada bisikan yang lebih baik, kecuali bersumber dari seseorang yang menjadikan kebenaran sebagai pegangannya, serta keadilan sebagai tujuannya,” demikian keyakinan sang tokoh setelah berjumpa dengan jurnalis Ida Farida selaku kekasihnya.

Tentu banyak kekecewaan dan kegagalan yang dialami sang tokoh di sepanjang perjalanan hidupnya. Tapi, Hafis berusaha mengemas rangkaian kekecewaan itu sebagai perjalanan ritual, sampai kemudian sang protagonis mencapai kesadaran baru untuk mensyukurinya.

Jadi, para prinsipnya, yang diutamakan bukanlah pada sosok pujaan hati yang ditemukannya, melainkan bagaimana perjalanan itu dapat mengubah dirinya, dari manusia fisik dan jasmani, menjadi manusia rohani.(*)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo