Tingginya Golput Pilkada 2024
JAKARTA - Angka golput alias warga yang tidak mencoblos di Pilkada serentak 2024 diprediksi cukup tinggi. KPU belum mengeluarkan data resminya. Namun di sejumlah TPS dirasakan menurunnya partisipasi masyarakat yang nyoblos. Disinyalir, warga jenuh dengan politik.
Data resmi jumlah warga yang golput belum final. Karena KPU masih melakukan proses rekapitulasi suara. Namun, gambaran jumlah warga yang golput sudah terlihat berdasarkan hasil quick count atau hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga. Salah satunya, yang dirilis Litbang Kompas.
Dalam quick count Litbang Kompas, terlihat angka golput di Pilkada Jakarta menjadi paling tinggi. Jumlahnya mencapai 42,07 persen. Yang menggunakan hak suaranya sebanyak 57,93 persen, dengan rincian suara sah 53,33 persen dan suara tidak sah 4,6 persen.
Di Pilkada Jawa Barat, angka golput juga terbilang tinggi, mencapai 33,66 persen. Artinya, yang menggunakan hak pilih hanya sebanyak 66,34 persen. Rinciannya: suara sah 63,59 persen, dan suara tidak sah 2,75 persen.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan data hampir sama. Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan menyebut, untuk Pilkada Jakarta, angka partisipasi pemilih hanya 57 persen. Artinya, sekitar 43 persennya golput.
Djayadi menduga, banyaknya golput ini disebabkan dua faktor. Pertama, sebagai bentuk protes masyarakat yang merasa tidak ada calon yang cocok dengan aspirasinya. Kedua, mungkin juga karena lelah dengan Pemilu yang bertumpuk yang dilakukan dalam tahun yang sama, dalam jarak yang relatif dekat.
Ketua KPU DKI Jakarta, Wahyu Dinata, membenarkan tingkat partisipasi warga di Pilkada Jakarta 2024 memang sedikit. Padahal, saat Pilpres, tingkat partisipasi warga sangat tinggi. Secara nasional, tingkat partisipasi warga saat Pilpres mencapai 81,78 persen. Artinya, yang golput hanya 18,22 persen.
Berdasarkan data miliknya, alur pemilih yang datang ke TPS saat Pilpres 2024 jauh lebih sedikit dibanding saat Pilpres 2024. “Untuk Pilkada memang cenderung biasanya lebih rendah dari Pilpres,” ujar Wahyu, dalam konferensi pers, di Kantor KPU DKI Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Wahyu belum mengetahui angka pasti jumlah golput di Jakarta, karena proses perhitungan masih berlangsung. Sebagai perbandingan, dia mengungkapkan, pada Pilkada DKI Jakarta 2007 dan 2012, angka partisipasi warga sebanyak 65 persen. Sedangkan di Pilkada DKI Jakarta 2017, meningkat menjadi 78 persen.
Dia menambahkan, jika ditemukan penurunan partisipasi pemilih, KPU Jakarta bakal melakukan evaluasi. “Apakah memang disebabkan karena program-program kami yang kurang baik di masyarakat, atau memang ada kondisi tertentu,” imbuhnya.
Anggota KPU Jakarta Astri Megatari menambahkan, pihaknya telah melakukan sosialisasi ke tengah masyarakat untuk berbondong-bondong mendatangi TPS. Lebih dari 100 titik dikunjungi untuk melakukan sosialisasi. Namun, bila terjadi penurunan partisipasi, hal tersebut akan dilakukan pengkajian yang mendalam.
“Hasil tersebut nanti akan kami kaji dan evaluasi lebih lanjut untuk perbaikan kedepannya,” ucapnya.
Banyaknya angka golput ini juga disoroti Calon Gubernur Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung. Mantan Sekjen PDIP ini berpandangan, tingginya angka golput merupakan reaksi psikologis masyarakat yang merasa bosan dengan kontestasi politik secara beruntun.
"Realitas bahwa masyarakat sebenarnya sudah ingin berbagai Pemilu berakhir. Sebelumnya sudah ada Pileg, Pilpres, kemudian Pilkada dalam waktu yang berdekatan. Itu sangat melelahkan publik,” jelas Pramono.
Karenanya, Cagub usungan PDIP itu optimis bisa menangani Pilkada Jakarta hanya dengan satu putaran. “Saya termasuk yang berpandangan, untuk Pilkada Jakarta ini, satu putaran. Supaya kita segera berkonsentrasi untuk bekerja normal kembali,” ujarnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyebut, ada tiga faktor yang menyebabkan jumlah golput pada Pilkada 2024 sangat tinggi.
Pertama, menurunnya kepercayaan publik pada penyelenggara. Kedua, banyak pemilih yang mengharapkan serangan fajar. Saat tak dapat serangan fajar, mereka malas datang ke TPS.
"Ketiga, tidak adanya tokoh yang cukup kuat. “Sehingga publik tidak merasa perlu memperjuangkan kandidat yang ada," ucap Dedi.
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 17 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 18 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu