TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Harga Naik Sebelum Payung Hukumnya Jelas

Mobil Mewah Minum BBM Subsidi, APBN Bisa Jebol

Laporan: AY
Rabu, 07 September 2022 | 08:39 WIB
(Foto : Istimewa)
(Foto : Istimewa)

JAKARTA - Kebijakan Pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar dinilai terburu-buru. Pasalnya, kenaikan itu belum memiliki payung hukum jelas.

Belum lagi, kenaikan harga BBM ini tidak diikuti pem­batasan jenis kendaraan yang berhak atas BBM bersubsidi.

Kebijakan kenaikan harga tersebut juga diyakini tidak mampu meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Be­lanja Negara (APBN) yang jebol karena menanggung beban subsidi yang sangat besar.

“Terlalu buru-buru. Sebelum menaikkan harga BBM bersub­sidi, harusnya dibuat dulu payung hukumnya. Minimal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Ta­hun 2014 yang mengatur Penye­diaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak,” kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah kepada Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group) kemarin.

Menurut Trubus, Pemerintah seperti tergesa-gesa menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum se­mua persiapan matang. Akhirnya, tujuan menaikkan harga BBM yang tadinya untuk meringankan beban APBN, tidak bisa direalisasikan.

Dia mencontohkan, harga BBM bersubsidi naik tapi Pe­merintah belum membatasi kendaraan yang berhak mendap­atkan BBM murah tersebut.

Akhirnya, saat ini mobil-mobil mewah yang sebelumnya minum BBM non-subsidi, banyak yang beralih ke BBM bersubsidi. Karena tidak ada larangan dan harga lebih murah.

“Harusnya kan dibatasi dulu. Penerima BBM bersubsidi hanya untuk mobil dengan kapasitas 1.500 cc ke bawah, dan motor 150 cc ke bawah. Di luar itu, harus minum BBM non-subsidi,” jelas Trubus.

Jika kondisi ini terus berlanjut, kata dia, dalam waktu dekat kuota BBM bersubsidi pasti akan jebol dan beban APBN meningkat. Karena pembelian BBM bersub­sidi juga meningkat drastis.

Tidak hanya soal aturan dan pembatasan kendaraan, Trubus menilai, kenaikan harga BBM bersubsidi terlalu cepat. Bantalan sosial yang disiapkan Pemerintah belum tersalurkan ke seluruh masyarakat yang berhak.

Kondisi tersebut sangat mem­bebani masyarakat miskin dan kelas menengah ke bawah, yang pendapatannya hanya akan habis untuk membeli BBM.

Dampak kenaikan harga BBM juga akan menambah jumlah masyarakat miskin. Bahkan akan muncul orang miskin baru.

Belum lagi keakuratan data penerima bantuan sosial masih sangat diragukan. Menurut Trubus, masih banyak masyarakat miskin yang tidak terdata sebagai peneri­ma bansos. Sedangkan masyarakat mampu justru kebagian bansos.

Apalagi validasi data penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) hanya mengacu pada data BPJS Ketenagakerjaan. Tidak semua pekerja terdata di BPJS Ketenagakerjaan. Itu yang harus dipahami Pemerintah,” katanya.

Trubus mengatakan, untuk men­gendalikan dampak kenaikan har­ga BBM, Pemerintah harus tetap menjaga agar tidak terjadi inflasi pangan. Kalau terjadi inflasi, maka akan menyengsarakan rakyat.

Praktisi Hukum Kepailitan dari Kantor Frans & Setiawan Law Office, Hendra Setiawan Boen juga mempertanyakan be­lum adanya pembatasan pembe­lian BBM subsidi, meski harga sudah naik.

“Akibatnya, BBM subsidi jus­tru semakin banyak dikonsumsi mobil mewah dan orang kaya,” kata Hendra.

Selain itu, dia juga memper­tanyakan kebijakan Pemerintah yang kembali membuka wacana besaran kapasitas mobil yang boleh menggunakan BBM ber­subsidi menjadi 1.400 cc, dari sebelumnya 1.500 cc.

“Hanya karena orang punya mobil 1.500 cc bukan berarti dia orang kaya. Karena driver Grab dan Gocar rata-rata memakai mobil tersebut,” kata Hendra.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, keputusan mengalihkan subsidi BBM ke bantuan sosial (bansos) tambahan, sudah tepat.

Dia juga mengingatkan, proses pemberian bansos harus diikuti dengan data benar, agar tepat sasaran.

“Ketepatan data nomor satu. Saya nggak tahu sekarang apakah sudah ada data baru, karena data nggak boleh salah. Kalau salah, orang tidak berhak akan dapat,” kata Agus.

Kendati demikian, Agus mengaku sudah diinformasikan oleh Kementerian Sosial (Kemensos), saat ini Kemensos sudah memi­liki aplikasi terkait verifikasi data penerima bansos.

“Nantinya, aplikasi ini bisa digunakan masyarakat yang mau menyanggah apakah data penerima subsidi di lingkungannya sudah tepat,” ujar Agus.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo