Israel-Iran Saling Serang, Getah Perang Mulai Terasa ke Ekonomi

JAKARTA - Perang Iran-Israel yang baru saja meletus sudah terasa dampaknya. Selain korban jiwa dan infrastruktur yang rusak, sektor ekonomi juga terkena getah perang. Mulai dari harga minyak dunia yang meroket, anjloknya bursa saham, hingga ancaman kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi.
Sejak perang Iran-Israel meletus pada Jumat (14/6/2025), harga minyak dunia langsung meroket. Saat ini, kenaikan harga minyak dunia tembus 7 persen, dibanding penjualan sebelum perang Iran-Israel.
Detailnya, harga minyak Brent berjangka dibanderol 74,23 dolar AS per barel, naik 4,87 dolar AS. Begitu juga dengan West Texas Intermediate AS naik 4,94 dolar AS menjadi 72,98 dolar AS per barel.
Tak hanya menyebabkan harga minyak melonjak, perang Iran-Israel juga mengancam pasokan minyak ke banyak negara. Pasalnya, Selat Hormuz yang berada di perbatasan Iran dan Oman, terancam akan ditutup sementara.
Padahal, Selat Hormuz merupakan pintu gerbang pengiriman minyak terpenting di dunia. Seperlima dari total konsumsi minyak dunia atau sekitar 20 juta barel minyak, kondensat, dan bahan minyak mentah, melewati selat ini setiap hari.
Jika Selat Hormuz terlibat dalam konflik dan mengalami penutupan, maka distribusi minyak dunia akan terganggu. Akibatnya, harga minyak naik tajam. Kenaikan ini akan memperburuk inflasi global, terutama di Amerika Serikat, karena biaya hidup akan ikut naik.
Jika pengiriman melalui selat kritis tersebut dihentikan, Badan Energi Internasional (IEA) siap melepas cadangan darurat. Namun, hal itu membawa risiko kelangkaan. Ada 1,2 miliar barel dalam cadangan strategisnya.
Dunia menggunakan sekitar 100 juta barel minyak per hari.
Jika situasi meningkat hingga penutupan Selat Hormuz, itu akan menjadi krisis minyak terbesar sepanjang sejarah,” kata Matt Gertken, Kepala Strategis Geopolitik dan Wakil Presiden Senior di BCA Research, sebuah firma riset makroekonomi, dikutip dari Aljazeera.
Para ahli telah memperingatkan, penutupan selat tersebut dapat membatasi perdagangan dan berdampak pada harga minyak global. Kekhawatiran selanjutnya, kenaikan ini akan menular pada alur logistik maupun pasokan barang dan jasa di berbagai negara.
Perang Iran-Israel juga membuat bursa saham di dalam dan luar negeri melemah. Dimulai dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada perdagangan Jumat (13/6/2025), IHSG dibuka pada level 7.191,12. Konsisten bergerak di zona merah sepanjang hari, akhirnya IHSG ditutup melemah 38,31 poin atau 0,53 persen ke posisi 7.166,07.
Hal yang sama juga terjadi pada indeks acuan Jepang, Nikkei 225. Pada perdagangan Jumat (15/6/2025), terjadi penurunan 0,89 persen pada level 37.834,25. Sedangkan indeks Topix turun 0,95 persen menjadi 2.756,47.
Di Korea Selatan, indeks Kospi turun 0,87 persen dan ditutup pada level 2.894,62. Sementara indeks Kosdaq yang berkapitalisasi kecil turun 2,61 persen menjadi 768,86.
Berlanjut ke Hong Kong, Indeks Hang Seng turun 0,59 persen menjadi 23.892,56. Sementara CSI 300 China berakhir 0,72 persen lebih rendah pada 3.864,18.
Selain di Asia, bursa saham Amerika Serikat saat pembukaan perdagangan Jumat (13/6/2025) berada di zona merah. Melansir Reuters, Dow Jones Industrial Average (.DJI), turun 388,1 poin, atau 0,90 persen pada pembukaan menjadi 42.579,48. S&P 500 (.SPX), turun 44,7 poin, atau 0,74 persen, pada pembukaan menjadi 6.000,56.
Merespons hal ini, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung bakal mengerek produksi minyak dalam negeri untuk menjaga ketahanan energi nasional. "Kita mengusahakan ada peningkatan produksi migas dalam negeri," katanya.
Yuliot mengatakan, saat ini lifting minyak nasional mencapai 600-610 ribu barel per hari, dari sebelumnya sekitar 560-570 ribu barel per hari. Selain itu, pihaknya juga mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, Indonesia tidak terkena getah peperangan secara langsung. Mengingat, volume perdagangan terhadap Israel dan Iran sangat minim.
"Tapi, karena dia mempengaruhi perekonomian global, ya kena ke kita juga," ulas Shinta kepada wartawan di Menara Kadin Jakarta, Minggu (15/6/2025).
Menurutnya, getah perang ini akan berdampak pada ekonomi global, seperti kenaikan minyak dunia dan biaya logistik. "Jadi perang mempengaruhi ekonomi global, kemudian mempengaruhi Indonesia," kata Shinta.
Hanya saja, dia belum bisa memastikan seberapa besar dampak perang tersebut terhadap iklim usaha dalam negeri. Selain perang ini baru saja terjadi, Apindo masih harus mengamati perkembangan kondisi perekonomian global terlebih dahulu.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Bakrie mengatakan, ketegangan di Timur Tengah (Timteng) menjadi tantangan terhadap iklim usaha di Indonesia.
Salah satunya, pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke wilayah Timteng. Sebab para penyalur tenaga kerja ini harus lebih memperhatikan keamanan para pekerja migran di kawasan tersebut.
"Kadin tuh selalu melihat semua tantangan, harus diperhatikan dengan baik, tapi juga satu peluang. Tantangannya ialah tentu kita mesti hati-hati mengirim pelanggan kerja kita ke Timur Tengah," kata Anin.
Ekonom dari Universitas Andalas Prof Syafruddin Karimi mengatakan, perang terbuka antara Israel dengan Iran telah mengubah wajah Timteng. Kalau semula hanya ketegangan diplomatik, ke depan menjadi krisis berskala penuh yang mengancam stabilitas ekonomi regional dan global.
Kondisi ini membuat harga minyak naik, gangguan rantai pasok, anjloknya pasar saham, dan tekanan terhadap nilai tukar. Investor pun mulai wait and see. "Selat Hormuz sebagai nadi perdagangan energi global kini berada dalam bahaya, dan investor mulai meninggalkan kawasan yang dinilai tidak lagi aman," ulas Syafruddin.
Dia berpendapat, dunia tidak bisa lagi memandang konflik ini semata sebagai urusan dua negara. Pasalnya, ketika misil diluncurkan dan fasilitas vital dihancurkan, yang ikut terancam ekonomi dunia.
Syafruddin memandang, jika komunitas internasional gagal menahan laju eskalasi ini, maka dunia akan membayar mahal. Bukan hanya dalam bentuk krisis energi, tetapi juga dalam bentuk inflasi, pengangguran, dan krisis sosial yang merembet lintas benua.
"Inilah waktunya bagi dunia untuk menjadikan diplomasi sebagai prioritas, bukan hanya untuk mencegah perang lebih besar, tapi juga untuk menyelamatkan ekonomi global dari jurang ketidakpastian," pungkasnya.
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 10 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Internasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 23 jam yang lalu