Pembahasan Dan Pengesahan RUU PPRT Sudah Mendesak
PRT Disiksa Hingga Dipaksa Makan Kotoran Anjing

BATAM - Terungkapnya tindak penganiayaan yang menimpa seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Batam, Kepulauan Riau (Kepri), menuai banyak kecaman. Insiden tersebut juga membuat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) kembali menyeruak.
Peristiwa memilukan terhadap seorang PRT bernama Intan di Batam, berawal dari viralnya video di media sosial Tiktok. Video tersebut memperlihatkan korban tengah dalam kondisi babak belur dan penuh luka.
Keluarga korban, langsung melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Polresta Barelang, Kepulauan Riau, telah menangkap dan menetapkan dua orang tersangka penganiayaan terhadap Intan yakni, Rosalina (majikan korban) dan Marlin (rekan sesama PRT yang bekerja di rumah Rosalina).
Dari hasil pemeriksaan diketahui, Intan mengalami penyiksaan sejak pertama kali bekerja pada Juni 2024. Selain itu korban juga diperlakukan secara tidak manusiawi. Gaji korban sebesar Rp 1.8 juta per bulan belum dibayarkan selama setahun, dan korban pernah disuruh makan kotoran hewan anjing.
Komisioner Komnas Perempuan, Sondang Frishka Simanjuntak menyatakan, kekerasan yang dialami Intan mencerminkan rentannya posisi para PRT, yang belum memiliki perlindungan hukum memadai.
“PRT bekerja di ruang domestik, tersembunyi, dan jauh dari pengawasan publik. Sebab itu, menjadi lahan subur terjadinya berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia,” ujar Frishka dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (27/6/2025).
Menurut dia, selalu ada relasi kuasa yang besar dalam hubungan antara majikan dan PRT. Sebab itu, negara sebagai pembentuk kebijakan, harus mengambil intervensi dengan menetapkan regulasi yang bisa meminimalisir kasus serupa.
“Komnas Perempuan kembali menekankan urgensi pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sebagai langkah penting dalam mencegah kekerasan serupa,” tegasnya.
Senada, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Gavriel Putranto Novanto juga mengecam keras insiden penyiksaan PRT yang terjadi di Batam. Bahkan, dia menyebut masalah tersebut sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Ini penyiksaan keji yang mencederai martabat manusia. Bukan sekadar tindak kekerasan, tapi bentuk perbudakan,” cetusnya.
Sebagai tindak lanjut, Gavriel menegaskan pentingnya pengesahan RUU PPRT yang hingga kini masih tertahan di parlemen. Menurutnya, kasus Intan harus menjadi momentum untuk mendorong hadirnya payung hukum yang jelas dan tegas bagi pekerja rumah tangga.
“RUU PPRT sudah terlalu lama ditunda. Kasus ini jadi alarm keras, negara harus hadir dalam melindungi warga yang paling rentan,” imbuhnya.
LBH Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia juga mengutuk keras tindakan penganiayaan sadis dan tidak manusiawi yang dialami oleh Intan. Menurut Kepala Advokasi LBH Padma Indonesia, Greg Retas Daeng, tragedi yang menimpa Intan adalah pengingat pahit, usaha melindungi PRT melalui sebuah aturan hukum sudah sangat urgent.
Sudah terlalu banyak Intan-Intan lain di luar sana yang menderita dalam senyap. Kekosongan hukum ini terus memakan korban,” ujarnya.
Sebab itu, kata Greg, Padma Indonesia mendesak Pemerintah dan DPR berhenti menunda, segera mengesahkan RUU PPRT yang sudah puluhan tahun mangkrak.
“Ini adalah utang konstitusional negara kepada jutaan warganya yang berprofesi sebagai PRT,” tegasnya.
Sementara, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia Tanjung menjelaskan, pembahasan RUU PPRT masih mengkaji hubungan antara majikan dan PRT. Sebab, hubungan kerja kedua tidak bisa disamakan dengan hubungan kerja industrial antara buruh dan perusahaan.
“Urusan pekerja rumah tangga ini, lebih banyak pengalaman kita. Selama ini, hubungannya hubungan kekeluargaan,” imbuhnya.
Doli menambahkan, Baleg masih membahas hal-hal lain yang membutuhkan formula yang tepat. “Misalnya, pengaturan jam kerja, kemudian apa ada lembur dan segala macam,” urainya.
Tragedi yang menempa Intan juga ramai diperbincangkan netizen di media sosial X. Mereka mendorong para peaku dihukum sesuai maksimal, dan meminta kepolisian segera menangkap tersangka lain yang masih buron.
“Kalau di Hongkong, Taiwan, dan Singapura, majikan yang lakukan penyiksaan terhadap PRT kena hukuman berat, plus denda yang sama beratnya dengan tindakannya. Bahkan, beberapa memblacklist alias melarang secara hukum si majikan untuk dapat pekerja baru. Kalau di Indonesia, hukumannya masih terlalu ringan bos. Harus ada aturan baru yang lebih berat,” tulis akun @Dyananjani89.
“Untuk mengangkat moril dan martabat pekerja yang kerja sebagai pembantu, yuk kita mulai panggil mereka dengan sebutan PRT (Pekerja Rumah Tangga). Panggilan pembantu atau asisten terlalu merendahkan, jadinya bisa berlanjut ke kasus seperti Intan. Majikan jadi semena-mena, karena merasa lebih superior,” usul akun @jigulbogulz.
“Biar adil dan seimbang, bagaimana kalau hukuman untuk majikannya adalah disuapin juga dengan kotoran dan minum air kotor,” cuit akun @subekti26219499. “Heran, terbuat dari apa sih hatinya, tuh majikan. Dajal banget,” timpal akun @sukmana_sa18408.
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
TangselCity | 16 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu