TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

RAPBN 2026 Disepakati DPR & Pemerintah: Pendapatan 3.094 T, Belanjanya 3.820 T

Reporter: AY
Editor: AY selected
Selasa, 12 Agustus 2025 | 10:29 WIB
Ilustrasi APBN 2026. Foto : Ist
Ilustrasi APBN 2026. Foto : Ist

JAKARTA - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 telah disepakati DPR dan Pemerintah. Untuk tahun depan, pendapatan negara dipatok sebesar Rp 3.094 triliun. Sementara, untuk belanjanya tembus Rp 3.820 triliun.

 

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyatakan, pihaknya bersama Pemerintah telah menggodok RAPBN 2026 secara indikatif. Hasil pembahasan ini akan menjadi acuan penyusunan Nota Keuangan RAPBN 2026 yang akan disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan Bersama MPR/DPR/DPD, 15 Agustus 2025.

 

Garis besarnya, pendapatan negara dipatok berkisar antara Rp 3.094 triliun hingga Rp 3.114 triliun. Sedangkan belanjanya diproyeksikan antara Rp 3.800 triliun hingga Rp 3.820 triliun. Defisit anggaran akan dijaga di angka Rp 706 triliun atau 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

 

Postur RAPBN 2026 lebih tinggi dibandingkan proyeksi APBN 2025. Tahun ini, pendapatan negara diperkirakan Rp 2.865,5 triliun, terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 2.387,3 triliun, penerimaan bukan pajak Rp 477,2 triliun, dan penerimaan hibah Rp 1 triliun. Sedangkan belanja negara 2025 sekitar Rp 3.527,5 triliun, dengan belanja Pemerintah Pusat Rp 2.663,4 triliun dan Transfer ke Daerah Rp 864,1 triliun. Defisit tahun ini diprediksi Rp 662 triliun atau 2,78 persen dari PDB.

 

"Mengacu beberapa pengalaman tahun sebelumnya, biasanya Pemerintah mengajukan pada batas atas ketimbang batas bawah. Target pendapatan dan belanja negara pada RAPBN 2026 yang meningkat sangat menantang bagi Pemerintah," ujar Said, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (11/8/2025).

 

Politisi PDIP ini melanjutkan, postur ini harus disesuaikan dengan kondisi dunia usaha yang harus beradaptasi dengan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Begitu juga dengan konflik geopolitik yang belum usai. Di sisi lain, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang mulai melandai.

 

Kondisi inilah yang menurut Said menantang. Selain itu, dari sisi penerimaan, Pemerintah harus mencari pengganti setoran dividen BUMN. Sebab, APBN akan kehilangan setoran dividen BUMN sekitar Rp 80 triliun, karena dana tersebut akan masuk ke Danantara.

 

Menurutnya, postur RAPBN 2026 akan menjadi modal penting Pemerintah untuk menjalankan berbagai program recovery daya beli dan menjaga ekspor tetap ekspansif. Said mengingatkan, Pemerintah perlu segera mencari pasar baru, sehingga tidak bergantung pada negara tujuan ekspor tradisional.

 

Dia juga mengungkapkan, RAPBN 2026 jadi milestone kedua bagi Pemerintah dalam menjalankan program strategis. Seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, Sekolah Rakyat, dan pemeriksaan kesehatan gratis.

 

Secara teknis tidak mudah. Namun, keberhasilan program ini akan menjadi game changer untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) generasi mendatang," imbuhnya.

 

Menurutnya, program-program itu penting untuk mengubah struktur demografi angkatan kerja menjadi lebih berkualitas dan andal menangkap peluang. “Bahkan menciptakan lapangan kerja sendiri,” ujarnya.

 

Dari pihak Pemerintah, belum mau bicara panjang mengenai postur RAPBN 2026. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Deni Surjantoro menyarankan publik menunggu paparan Nota Keuangan yang akan disampaikan Presiden Prabowo pada 15 Agustus nanti.

 

"Nanti tunggu saja, setelah pidato Presiden tanggal 15 Agustus ya," kata Deni, saat dihubungi Tangselpos.id, Senin (11/8/2025).

 

Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, ada tiga tantangan utama yang akan dihadapi Pemerintah dalam merealisasikan APBN 2026.

 

Pertama, target penerimaan yang ambisius di tengah pemulihan daya beli masyarakat dan risiko perlambatan ekspor setelah kebijakan dagang sejumlah mitra. Menurut Yusuf, penerimaan pajak akan sangat bergantung pada aktivitas ekonomi, investasi, dan kepatuhan pajak. "Itu semuanya sensitif terhadap perkembangan ekonomi global maupun domestik," urainya, saat dihubungi Rakyat Merdeka, Senin (11/8/2025).

 

Kedua, fokus pada kualitas belanja. Kenaikan anggaran belanja akan lebih bermanfaat jika diarahkan ke sektor yang memberi dampak ganda tinggi. Seperti infrastruktur strategis, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial yang tepat sasaran. Dengan kondisi tersebut, Yusuf menyarankan agar memitigasi risiko terhadap potensi pemborosan anggaran atau program-program yang berjalan tanpa hasil optimal.

 

Ketiga, pembiayaan defisit. Meski kenaikan defisit relatif moderat, pembiayaan bisa meningkat jika kondisi pasar keuangan global memburuk atau suku bunga naik. Hal ini akan membebani ruang fiskal di tahun-tahun berikutnya.

 

Yusuf mengatakan, ada sejumlah upaya yang dapat ditempuh. Di sisi penerimaan, Pemerintah dapat memperkuat reformasi administrasi pajak melalui perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, dan peninjauan efektivitas insentif pajak. Di sisi belanja, penting untuk memprioritaskan program dengan multiplier tinggi dan memperbaiki manajemen proyek agar setiap rupiah menghasilkan manfaat nyata.

 

"Sementara itu, strategi pembiayaan bisa diarahkan pada instrumen yang berjangka panjang, mengandalkan pasar domestik, dan menjaga proporsi utang valas agar tetap terkendali," pesan Yusuf.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit