Terbitkan Aturan Rahasia, Data Capres-Cawapres KPU Akan Dipanggil DPR

JAKARTA - KPU terbitkan aturan baru terkait rahasia data Capres-Cawapres. Lewat aturan itu, 16 dokumen pribadi Capres-Cawapres bersifat rahasia dan tidak bisa diakses publik. Garagara aturan ini, KPU akan dipanggil DPR.
Aturan baru ini, tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang Standard Layanan Informasi Publik. Dalam beleid tersebut, KPU menyebut ada 16 poin dokumen pribadi Capres-Cawapres yang masuk kategori informasi yang dikecualikan selama jangka waktu lima tahun. Aturan ini, sudah ditetapkan di Jakarta pada 21 Agustus 2025 dan terpublikasi pada 25 Agustus 2025 lalu.
Dokumen yang dimaksud antara lain ijazah, riwayat kesehatan, surat keterangan tidak pernah dipidana, hingga surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi atau LHKPN kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bukan cuma itu, sejumlah lampiran penting yang dulu bisa diakses lewat situs KPU kini dipasang gembok rapat-rapat. Imbasnya, publik tak bisa melihat langsung rekam jejak calon pemimpin bangsa. Kecuali sang calon bersedia memberi persetujuan tertulis.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin menjelaskan alasan mengeluarkan aturan itu. Dasar keputusan ini dilandaskan pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam beleid tersebut, diatur informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum.
“Setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya,” kata Arif dalam keterangannya, Senin (15/9/2025).
Namun, KPU telah memberikan keterangan bahwa dokumen yang bersifat dikecualikan ini bisa diakses publik. Syaratnya ada izin tertulis dari peserta Pilpres.
Menanggapi aturan tersebut, kalangan Senayan geleng-geleng. Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf Macan Effendi menilai KPU keblinger. Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, aturan ini justru bisa memicu kecurigaan.
“Data setiap calon-calon pejabat publik, baik itu DPR, menteri, presiden, harus bisa dilihat oleh semua orang,” kata Dede Yusuf, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, aturan ini kontraproduktif dengan semangat keterbukaan. Capres dan Cawapres merupakan calon pejabat publik tertinggi, sehingga rekam jejaknya harus transparan. “Orang lamar kerjaan saja kan pakai CV, apalagi ini mau melamar jadi pemimpin,” imbuh politisi Partai Demokrat tersebut.
Dia khawatir, keputusan KPU ini justru akan menimbulkan spekulasi liar di masyarakat. Meskipun ada beberapa data pribadi yang memang tidak boleh dibuka dan diatur dalam UU. Misalnya, catatan medis itu nggak boleh dibuka.
Kalau yang lainnya boleh, rekening, terus kemudian ijazah, riwayat hidup, saya pikir nggak masalah,” tegasnya.
Dede pun memastikan, Komisi II DPR bakal memanggil KPU untuk menjelaskan alasan mengeluarkan kebijakan tersebut. “Nanti kita tanyakan, kenapa, argumentasinya apa?” tandasnya.
Peneliti Utama Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay berpandangan, aturan KPU ini membuat Pemilu makin gelap. Lantaran masyarakat tidak bisa melihat rekam jejak calon pemimpinnya.
KPU semakin tidak transparan. Padahal ini prinsip penting dalam penyelenggaraan Pemilu,” ujar mantan Komisioner KPU tersebut lewat akun X @HadarNG, Senin (15/9/2025).
Dia menambahkan, KPU seharusnya hanya mengecualikan dokumen yang sifatnya pribadi, bukan keseluruhan. “Misalnya salinan ijazah yang menunjukan kelulusan calon tetap perlu dipublikasikan, tapi tidak nilai-nilai pelajarannya,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, menilai KPU tidak logis dan justru merusak prinsip keterbukaan informasi publik. “Itu langkah konyol ya,” kritik Feri.
⁵Menurutnya, peraturan yang dijadikan dasar KPU untuk menutupi dokumen itu, justru bertolak belakang dengan semangat keterbukaan yang dijamin undang-undang. “Logikanya saja sesat, karena kebutuhan publik itu, tentu ingin mengetahui calon,” ujarnya menegaskan.
Istana Tidak Ikut Campur
Pihak Istana sudah berbicara soal aturan KPU ini. Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Juri Ardiantoro menegaskan, meski KPU independen, setiap kebijakan harus memperhitungkan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan.
“Kan sudah dijelaskan oleh KPU, itu yang jadi pedoman kalianlah. KPU itu lembaga independen,” kata Juri usai Rapat Kerja dengan Komisi XIII DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, Pemerintah tak ingin masuk terlalu jauh ke ranah teknis KPU. Namun, Juri mengingatkan, setiap aturan penyelenggaraan pemilu pasti jadi sorotan publik. Untuk itu, KPU mesti berhati-hati agar tak menimbulkan kesan negatif.
TangselCity | 13 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 14 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu