442 Orang Wafat, 402 Orang Hilang
Banjir Sumatera Ulah Manusia, Bukan Karena Alam Semata
SUMATERA - Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) bukan karena faktor alam semata. Di balik musibah memilukan yang menelan ratusan korban jiwa itu, ada jejak ulah tangan manusia yang merusak hutan.
Berdasarkan dashboard penanganan darurat banjir dan longsor Sumatera yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per pukul 18.00 WIB, Minggu (30/11/2025), jumlah korban meninggal sebanyak 422 orang dan 402 orang dinyatakan hilang. BNPB menyebut, angka ini kemungkinan akan bertambah seiring dengan proses evakuasi yang terus dilakukan.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menerangkan, sejumlah daerah masih terisolasi akibat longsor besar yang menutup jalan nasional dan merusak jembatan. Di Sumut, ada dua wilayah yang menjadi perhatian utama yakni Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
“Tapanuli Tengah ini hanya bisa dicapai lewat udara,” terangnya, Minggu (30/11/2025). Akibat terisolir, pasokan makanan menipis di lokasi bencana penipis.
Akses Sumut-Aceh juga masih terputus. Beberapa wilayah Aceh seperti Banda Aceh-Lhokseumawe dan jalur Gayo Lues-Aceh Tenggara belum bisa dilewati.
“Bener Meriah masih terisolir, Subulussalam juga masih terisolir,” tambah Suharyanto.
Di Sumbar, jalan nasional Lembah Anai putus total akibat banjir bandang. Jalur utama Padang-Bukittinggi dan sekitarnya juga belum bisa dibuka.
Meski begitu, beberapa akses sudah kembali tersambung. Antara lain, Jalur Bukittinggi-Batas Sumut, serta rute yang menghubungkan Sumbar, Jambi–Bengkulu–Sumut via Simpang Empat, dilaporkan sudah lancar.
“Listrik dan air relatif sudah pulih, tapi masih banyak yang padam,” terang Suharyanto.
Kerusakan infrastruktur akibat banjir ini juga sangat parah. Berdasarkan data sementara yang dihimpun BNPB, sebanyak 133 jembatan rusak. Untuk bangunan, sebanyak 43 fasilitas pendidikan hancur. Sedangkan untuk rumah warga, sebanyak 827 rusak parah, 694 rusak sedang, dan 1.300 rusak ringan.
Kenapa banjir di Sumatera begitu besar dan memakan korban? Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Bambang Hero Saharjo, menyebut salah satu penyebabnya akibat kerusakan hutan yang parah. “Itu karena ulah manusia,” ucapnya, kepada Redaksi, Minggu (30/11/2025).
Menurutnya, perbuatan manusia merusak hutan itu, dapat diketahui ketika ribuan kayu gelondongan ikut terbawa arus banjir bandang. Kayu-kayu itu terbawa air berwarna coklat pekat yang mengaliri Sungai Batang Toru, Sumatera Utara.
Ia lalu menyinggung fenomena banjir besar sebelumnya di Bohorok, Sumut, ketika kayu besar terbawa arus akibat kawasan hutan yang diganggu dan ditebang. Kerusakan serupa, kata dia, kini terjadi di banyak wilayah Sumatera.
Menurut Prof. Bambang, saat ini, fungsi hutan sebagai penyerap air tak lagi berjalan. Sebab, tajuk pohon, lapisan tumbuhan bawah, dan penutup tanah sudah hilang.
Dia menerangkan, saat kawasan dibuka, air hujan langsung menghantam permukaan tanah. Tanpa penutup lahan, hujan deras menggerus lapisan tanah, mencuci leaching atau pencucian hara. Hal inilah yang kemudian menimbulkan banjir besar dan longsor.
Arus banjir itu kemudian membawa kayu-kayu sisa tebangan yang sebelumnya tertahan vegetasi. “Itu sebabnya kita melihat gelondongan kayu keluar dari titik-titik yang dirusak oleh penebangan dan ditinggalkan,” ungkapnya.
Prof. Bambang juga mengungkap adanya pembukaan hutan yang dilakukan secara sistematis, terutama di daerah miring dengan pembangunan jalan dan penggunaan alat berat. “Untuk mencapai target kayu, mereka buat jalan dulu. Itu direncanakan,” terangnya.
Menurut Prof. Bambang, hutan yang ditebangi tersebut sangat luas. “Itu bukan satu-dua hektare, tapi puluhan ribu hektare,” terang peraih anugerah sains John Maddox Prize 2019 di London, Inggris, tersebut.
Dengan adanya musibah ini, Prof. Bambang menekankan pentingnya pendekatan hukum. Pelaku pembukaan hutan ilegal harus diidentifikasi, dipidana, dan diwajibkan melakukan restorasi.
“Dengan cara itu, kita bisa tahu siapa di balik kerusakan, dan mereka harus memulihkan kembali kawasan tersebut,” tegasnya.
Di akhir pandangannya, Prof. Bambang menegaskan bahwa kerusakan hutan yang tampak hari ini sebenarnya sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Namun, baru “terbongkar” setelah ada hujan ekstrem yang berujung pada banjir besar dan longsor.
Hujan ini hanya membuka apa yang terjadi selama ini. Kalau ada penebangan di kawasan tertentu, pasti ketahuan saat banjir,” pungkasnya.
Menyaksikan adanya kerusakan hutan itu, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni bersiap untuk melakukan evaluasi. “Setelah masa tanggap darurat ini selesai, tentu saya sangat terbuka untuk evaluasi, kritik, investigasi, atau apa pun,” ujarnya, Minggu (30/11/2025).
Raja Juli menilai, tragedi ini harus menjadi peringatan serius mengenai pengelolaan lingkungan. Ia menyebut, momentum perhatian publik saat ini sangat penting untuk melakukan koreksi kebijakan.
Perhatian publik ini, lanjutnya, sejalan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto yang menyoroti maraknya penebangan hutan liar, sebagai salah satu penyebab kerusakan ekologis. Dia pun akan berusaha menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan menjaga ekologi dalam pengelolaan hutan. “Pendulumnya harus ditarik ke tengah lagi,” tandasnya.
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu


