TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

SEA Games 2025

Indeks

Dewan Pers

Nur di Balik Kebijakan

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi
Jumat, 19 Desember 2025 | 10:46 WIB
Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Budi Rahman Hakim, Ph.D.

SERPONG - Akhir tahun selalu menjadi saat paling menentukan bagi pemerintah daerah: rencana pembangunan ditutup, laporan disusun, prioritas baru dipetakan. Di Tangsel, semua itu sedang berlangsung—anggaran 2026 dipersiapkan, evaluasi RPJMD berjalan, dan berbagai target kinerja mulai disusun ulang. 

 

Namun di balik ketelitian teknokratis, ada pertanyaan yang tidak kalah penting: apakah kebijakan yang lahir dari kantor-kantor pemerintahan mengandung nur? Apakah keputusan publik hanya digerakkan oleh logika angka, atau juga oleh cahaya hati?

 

Angka adalah bahasa administrasi, tapi cahaya adalah bahasa nurani. Angka dapat menunjukkan pertumbuhan ekonomi, tingkat serapan anggaran, atau efektivitas program; namun hanya cahaya hati yang dapat memastikan bahwa semua itu benar-benar menghadirkan keadilan. Kita perlu mengakui bahwa dalam dunia pemerintahan modern, sering kali keputusan dibuat dengan akal yang cerdas namun hati yang letih. Padahal keseimbangan antara akal dan hati adalah inti kebijakan yang beradab.

 

Dalam tradisi tasawuf, nūr al-bashīrah — cahaya mata batin — adalah anugerah yang membuat seseorang melihat kebenaran bukan hanya secara rasional, tetapi secara moral. Ibn ‘Arabi menggambarkan cahaya ini sebagai kemampuan “membedakan antara manfaat dan mudarat dengan sudut pandang kasih, bukan sekadar logika.” Sementara Suhrawardi menulis bahwa nūr al-ma‘rifah adalah cahaya yang menuntun pemimpin untuk “tidak menutup mata terhadap mereka yang tidak memiliki suara.” Dua gagasan inilah yang semestinya menjadi fondasi spiritual kebijakan publik.

 

 Karena kebijakan tanpa cahaya mudah tergelincir menjadi bias: memilih yang terdengar populer daripada yang paling dibutuhkan; memilih pembangunan yang terlihat besar daripada yang paling dirasakan warga kecil; memilih proyek yang tampak megah daripada perbaikan keseharian warga. Dalam gelap seperti itu, pemerintah tampak bekerja keras, tetapi warganya tetap merasa jauh. Itulah yang disebut para sufi sebagai kegelapan keberhasilan: keberhasilan yang tidak menyentuh hati masyarakat.

 

 Sebaliknya, kebijakan yang mengandung nur adalah kebijakan yang memanusiakan. Bukan hanya efisien, tetapi adil. Bukan hanya menarik pujian, tetapi mengobati luka sosial. Nur dalam kebijakan terlihat ketika pelayanan publik tidak hanya cepat, tetapi ramah; ketika anggaran tidak hanya besar, tetapi berpihak; ketika birokrasi tidak hanya tepat, tetapi tulus. Cahaya kebijakan bukan pada dokumen, tetapi pada dampak moralnya terhadap kehidupan warga.

 

 Tangsel selama ini tumbuh sebagai kota cerdas—smart city. Itu pencapaian yang patut diapresiasi. Namun kota cerdas hanya benar-benar sempurna bila disertai kota bercahaya—luminous city—kota yang menerangi warga melalui kebijakan yang adil dan peduli. Ada sinyal positif: semakin banyak ruang publik dibangun, semakin tinggi kepedulian terhadap kesehatan mental, dan semakin besar perhatian pada kelompok rentan. Tetapi nur kebijakan bukan capaian final; ia perlu dijaga setiap saat agar tak padam oleh dinamika politik dan ego sektoral.

 

 Akhir tahun adalah momen paling tepat untuk membersihkan kaca hati birokrasi. Bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi mencari apa yang perlu disempurnakan. Evaluasi tidak sekadar tentang realisasi anggaran, tetapi realisasi keadilan sosial. Pertanyaan utamanya sederhana: apakah warga merasakan kehadiran negara dalam hidup mereka?

 

Rumi mengingatkan, “Cahaya tanpa cinta hanya menerangi, tapi tidak menghangatkan.” Begitu pula kebijakan publik: tanpa kasih, ia hanya menjadi instruksi; tanpa keadilan, ia hanya menjadi retorika. Cahaya kebijakan lahir ketika pemerintah mengelola kekuasaan sebagai bentuk kasih—bukan sebagai prestise birokrasi.

 

Menjelang penutup 2025, mari kita berharap Tangsel menjadi kota yang memancarkan cahaya: cahaya pelayanan yang tulus, cahaya keputusan yang adil, dan cahaya kebijakan yang menyentuh hidup warga kecil. Karena kota yang bercahaya bukan kota yang dipenuhi lampu, tetapi kota yang dipenuhi keadilan.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit