TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Diungkap CT

Ada Konglomerat Tidak Tersentuh Pajak, Kok Bisa..?

Oleh: US/AY
Kamis, 21 Juli 2022 | 12:28 WIB
Chairul Tanjung. (Ist)
Chairul Tanjung. (Ist)

JAKARTA - Ini yang ngomong Chairul Tanjung. Pasti akurat. Tak mungkin hoaks. Kata konglomerat yang kera disapa CT itu, ada konglomerat yang kekayaannya bernilai triliunan rupiah, tapi tidak tersentuh oleh pajak. Nah lho, kok bisa ya..? Ayo Pemerintah dan aparat, buru dan kejar konglomerat nakal seperti ini. Jangan didiamkan, kalau perlu seret ke jeruji besi.

Siapa konglomerat yang tak tahu diri dan tak tahu diuntung ini? CT tak mengungkap identitasnya dengan jelas. Namun, CT kasih bocoran sedikit. Si konglomerat ini lebih kaya dari dirinya.

CT membeberkan data ini saat menjadi salah satu narasumber acara puncak perayaan Hari Pajak tahun 2022, di Jakarta, Selasa (19/7). Talkshow yang membahas seputar reformasi di dunia perpajakan itu, menghadirkan tiga narasumber lain yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani, Dirjen Pajak Suryo Utomo, dan mantan Dirjen Pajak Darmin Nasution.

Di acara itu, bos CT Corp ini mengingatkan ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beberapa di antaranya adalah soal transparansi data dan memperluas basis pajak.

Mengawali pemaparannya, CT mengapresiasi reformasi yang dilakukan DJP dalam beberapa tahun terakhir. Dia melihat, sudah ada banyak perubahan terutama dalam proses transparansi dan integrasi data. Menurut CT, perbaikan itu harus terus dilanjutkan, karena masih ada banyak pekerjaan rumah belum diselesaikan, seperti digitalisasi dan memperluas basis pajak.

Menurut CT, kunci reformasi pajak adalah digitalisasi sistem perpajakan. Digitalisasi ini memungkinkan terjadinya lintas informasi. Untuk mengerjakan ini, DJP tak bisa sendirian. Semua kementerian, semua transaksional, harus ter-cross informasinya.

"Dengan begitu, akan terjadilah pajak yang proper, yang benar,” kata pengusaha berjuluk si anak singkong ini

Mantan Menko Perekonomian ini mengaku pernah ikut terlibat dalam proses digitalisasi ini dengan membuat aturan hitam putih. Hanya saja, CT mengakui tak mudah, karena selalu mendapat penolakan.

"Maunya abu-abu terus aturan itu. Begitu mau dihitam-putihkan, wah against (perlawanan). Kenapa? Karena kalau abu-abu, peluang makin banyak,” bebernya.

CT menekankan pentingnya digitalisasi agar DJP tak melulu mengejar pajak dari pengusaha yang sudah patuh atau wajib pajak yang sudah ada. Ia mengibaratkan dengan berburu di kebun binatang. Menurut dia, DJP harus mencari sasaran baru dengan memperluas basis pajak, agar penerimaan pajak bisa lebih besar. Soalnya, kalau pengusaha yang itu-itu saja yang diburu, selain hasilnya itu-itu saja juga, bisa bikin pengusaha stres.

"Jangan berburu di kebun binatang saja. Sekali-kali di hutan juga. Karena di kebun binatang, stres juga kita (pengusaha)," selorohnya.

Menurut CT, digitalisasi ini penting, karena ada banyak pengusaha yang belum tersentuh DJP. Sebagai pengusaha yang berkecimpung di berbagai lini bisnis, CT tahu betul ada pengusaha yang memiliki harta miliaran hingga triliunan rupiah yang berasal dari usahanya, hingga saat ini tidak pernah membayar pajak.

"Kita tahu ada pengusaha-pengusaha yang nggak dikenal orang, usahanya juga nggak pernah diketahui, tapi saya tahu persis karena saya perbankan. Uangnya ratusan miliar dan triliunan. Uang saya dan uang dia, banyakan uang dia, tapi mereka ini belum tersentuh (pajak)," bebernya tanpa menyebut nama pengusaha yang dimaksud.

Terakhir, pengusaha yang menurut Majalah Forbes sebagai orang terkaya nomor tiga di Indonesia ini mengingatkan pentingnya komunikasi yang baik antara DJP dengan pengusaha. Ia mengibaratkan, pengusaha seperti ayam petelur. Telurnya boleh diambil, namun yang proper.

"Jangan sampai ayamnya stres. Kalau ayamnya stres, nggak bertelur lagi. Apalagi kalau stresnya berlebihan, nanti ayamnya mati. Begitu ayamnya mati, nggak bertelur lagi," ucapnya.

Menanggapi kritikan tersebut, Sri Mulyani menyampaikan, anak buahnya tak menyamaratakan kondisi setiap pengusaha. Ia mengatakan, tidak semua pengusaha saat ini sedang 'stres'. Pasalnya, tidak sedikit juga yang menangguk untung di tengah lonjakan harga komoditas, sehingga pembayaran pajaknya juga seharusnya naik.

"Jadi, kebun binatangnya ada yang bagian stres dan bagian sedang pesat juga. Kita nggak gebyah uyah. Bagi yang boom, kita akan tetap melakukan kepatuhan," Sri Mulyani menimpali. Sayang, dalam forum itu, Sri Mulyani tidak menyoroti data yang diungkap CT soal ada pengusaha yang lebih kaya dari CT yang masih tidak tersentuh oleh pajak.

Dikonfirmasi soal data CT ini, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengaku tak kaget dengan yang diungkapkan CT. Menurut dia, hal ini terjadi karena masih ada pengusaha yang menyembunyikan kekayaannya sehingga luput dari pantauan DJP.

Menurut Hadi, salah satu solusi mengatasi persoalan ini adalah menerapkan Single Identity Number (SIN) Pajak. SIN adalah sistem informasi yang terintegrasi, berisi data-data baik finansial maupun nonfinansial. Dengan menerapkan SIN, semua pihak diwajibkan untuk membuka dan menyambungkan sistemnya ke pajak, termasuk yang rahasia. Dengan begitu, semua pihak terpaksa jujur, sehingga tak ada lagi yang menggelapkan pajaknya.

"Saya yakin, penerapan SIN ini bisa menjawab yang diungkapkan Pak CT," kata Hadi, saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, tadi malam.

Dengan penerapan SIN, kata dia, bukan hanya penerimaan pajak yang naik. Namun, mampu menambah basis data pajak. Karena tak ada lagi yang bisa menyembunyikan kekayaannya. "SIN ini juga efektif dalam pencegahan tindak pidana korupsi," ujarnya.

Dirjen Pajak periode 2001-2006 ini mengungkapkan, penerapan SIN mampu meningkatkan rasio perpajakan atau tax ratio minimal 13 persen. Ia lalu menceritakan pengalamannya saat memimpin Ditjen Pajak. Saat itu, pemerintah yang melakukan reformasi perpajakan memulai menjalankan program integrasi data dalam sebuah SIN pajak melalui nota kesepahaman (MoU) ke berbagai instansi baik instansi Pemerintah maupun swasta.

Hasilnya, secara perlahan tapi pasti, DJP mampu meningkatkan penerimaan pajak. Pada 2005, tax ratio tercatat mencapai 12,7 persen. Padahal, saat itu ekonomi masih tertatih-tatih setelah dihantam krisis moneter 1998. “Regulasinya pun masih seadanya. Tidak seperti sekarang," kenangnya.

Mantan Ketua BPK ini menyebut, regulasi untuk menerapkan SIN ini sebenarnya sudah ada. "Sekarang tinggal mau atau tidak," pungkasnya. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo