TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pelajaran dari Coldplay

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Selasa, 28 November 2023 | 21:44 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo. (Dok. Pribadi)
Prof. Dr. Muhadam Labolo. (Dok. Pribadi)

USAI konser Coldplay, Rabu 15 November 2023 di GBK, penonton sekitar 70 ribuan itu tak hanya menyumbang Rp 1,16 triliun buat event organizer, juga meninggalkan sepenggal catatan penting dalam upaya membangun karakter bangsa, esok dan seterusnya. Karakter itu berkaitan dengan dua nilai utama, yaitu bagaimana menumbuhkan tanggungjawab dan kemandirian di ruang publik.

Terlepas pro kontra musik rock itu di tengah duka Palestina, seorang penonton mengeluhkan betapa rendahnya tanggungjawab ribuan pengagum musisi asal Inggris itu. Masalahnya sepele. Gelang penanda yang dipinjamkan panitia ke setiap penonton untuk menyalakan suasana lewat sinar terang di pergelangan tangan tak banyak kembali. Ia malu ketika panitia membandingkan dengan negara lain.

Panitia menyandingkan tingkat pengembalian gelang itu dengan negara lain saat konser Coldplay. Di Copenhagen, angka pengembalian mencapai 96 persen. Di Tokyo mencapai 97 persen. Malangnya, angka pengembalian gelang di GBK hanya mencapai 52 persen. Artinya, ada 48 persen penonton yang tak bertanggungjawab atas benda itu.

Tiap kali Coldplay konser, mereka mengumumkan angka pengembalian benda yang tak seberapa itu. Untungnya, pasca konser di Jakarta, panitia Coldplay sengaja tak mengumumkan angka pengembalian terendah di Indonesia. Mungkin mereka menghargai bangsa ini sekalipun tak lupa menyebut angka pengembalian gelang dari semua negara yang dikunjungi.

Sekali lagi, ini mungkin perkara kecil, namun untuk mengukur rendahnya integritas suatu bangsa dalam hal tanggungjawab tentu saja dengan mudah dapat disimpulkan. Problem bangsa dewasa ini soal darurat integritas. Salah satu nilai itu adalah tanggungjawab. Nilai itu tak hanya urusan pribadi, tapi meluas pada tanggungjawab publik.

Bibit rendahnya tanggungjawab pribadi di ruang publik dengan mudah dapat dilihat dari meningkatnya gejala korupsi, suap dan pungli di semua cabang kekuasaan. Hakim, jaksa, polisi, komisioner, politisi, menteri, gubernur, bupati, walikota, rektor, kades, birokrat, hingga representasi tokoh agama dan masyarakat merefleksikan bagaimana raibnya tanggungjawab dalam masyarakat. Mereka produk masyarakat kemaren, bisa dibayangkan produk GBK ke depan.

Tanggungjawab biasanya mendorong kemandirian. Kemandirian mengurangi beban kolektif di pundak orang lain. Jepang misalnya, angka harapan hidup tinggi mengakibatkan surplus lansia sebanyak 30 persen. Hebatnya, kelompok lansia itu tak serta merta disubsidi pemerintah, tanggungjawab dan kemandirianlah yang justru menyelamatkan hidup mereka sebagai kelompok produktif.

Bandingkan dengan Indonesia, dengan usia produktif 15 sampai dengan 65 tahun yang mencapai lebih 60 persen (BPS, 2022), bonus demografi itu relatif tak menjanjikan apa-apa kecuali peluang bermigrasi ke luar negeri karena terbatasnya pekerjaan. Fenomena ini salah satunya karena timpangnya kebijakan pada kelompok usia produktif. Intervensi berbeda mengakibatkan masalah baru.

Kebijakan Jepang memberi ruang bagi lansia di atas 65 tahun untuk bekerja tak lain bentuk tanggungjawab dan kemandirian. Sebaliknya, batas usia kerja maksimal 35 sampai dengan 45 tahun membuat kelompok usia produktif di Indonesia tak mampu berkompetisi kecuali menjadi pengangguran yang ironisnya dipelihara negara. Dalam jumlah besar tentu dilematis.

Sebesar 60 persen kelompok produktif itu nyatanya di rawat lewat BLT, PKH, dan subsidi non tunai (sembako). Andai jumlah penerima manfaat sebanyak 21 juta itu terdiri dari suami, istri dan anak, maka beban di pundak pemerintah mencapai 50 sampai dengan 60 juta dari total 278 juta penduduk. Beban itu kian bertambah dengan penduduk miskin absolut ekstrem.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa rendahnya kemandirian sebagai efek dari hilangnya tanggungjawab pribadi dalam ketidaksadaran kolektif menjadi peluang bagi upaya pemiskinan masif, terstruktur, sistematis dan terencana oleh politisi dengan alasan tanggungjawab negara sesuai amanah konstitusi dan undang-undang. Secara politik intervensi itu tentu menguntungkan.

Penonton milenial dan Gen Z yang berjumlah 113 jutaan menjadi focus of interest bagi pekerja politik dibanding memikirkan kelompok pre boomer dan baby boomer. Para pengkritik moral dan integritas yang hanya 12 persen pun dibiarkan. Simpelnya, lebih baik mengintervensi busa yang banyak ketimbang menapis air garam. Bukankah dalam demokrasi tak penting suara tukang becak dibanding doktor karena keduanya tetap dihitung satu.

Sesungguhnya, pembangunan karakter melalui penumbuhan tanggungjawab dan kemandirian publik pada dasarnya upaya sadar jangka panjang bagi pembebasan pemiskinan negara setiap lima tahun sekali. Dengan keberdayaan itu pemerintah tak punya alasan menciptakan seperangkat program pemiskinan dan ketergantungan demi ambisi pragmatis, mempertahankan kekuasaan jangka pendek.(*)

*) Penulis adalah Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

 

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo