TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Parade Koruptor Bebas Menyakitkan Rakyat

Laporan: AY
Kamis, 08 September 2022 | 09:17 WIB
Pinangki Sirna Malasari salah satu koruptor yang bebas. (Ist)
Pinangki Sirna Malasari salah satu koruptor yang bebas. (Ist)

JAKARTA - Di tengah upaya keras para penegak hukum memberantas korupsi, rakyat disuguhkan tontonan menyakitkan. Sejumlah narapidana kasus korupsi rame-rame mendapatkan diskon hukuman dan barengan seperti parade keluar penjara karena mendapat pembebasan bersyarat.

Selasa lalu, ada 23 narapidana korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat yang dikeluarkan Kemenkumham. Rinciannya, empat orang dari Lapas Kelas IIA Tangerang dan 19 orang dari Lapas Kelas I Sukamiskin.

Mereka adalah mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Dirut Jasa Marga Desi Aryani, mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari, terpidana korupsi impor bawang putih Mirawati Basri, mantan hakim MK Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Kepala Bappeti Kemendag Syahrul Raja Sampurnajaya, mantan hakim Setyabudi Tejocahyono, mantan Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Ditjen Dukcapil Sugiharto, mantan Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna.

Lalu, terpidana korupsi pengadaan simulator SIM Budi Susanto, mantan Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution, mantan Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar, mantan Bupati Subang Ojang Sohandi, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, mantan Wasekjen PAN Andi Taufan Tiro, Arif Budiraharja, mantan Bupati Indramayu Supendi, adik kandung Ratu Atut Tubagus Chaeri Wardana, terpidana kasus korupsi e-KTP Anang Sugiana Sudihardjo, mantan Ketua DPD NasDem Brebes Amir Mirza Hutagalung, Danis Hatmaji, dan Tubagus Cepy Septhiady.

Melihat parade bebasnya para terpidana kasus korupsi ini, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri geleng-geleng kepala. Dia paham, pembinaan napi setelah putusan pengadilan menjadi kewenangan dan kebijakan Kemenkumham. Namun, para pelaku kejahatan luar biasa itu, sudah sepatutnya ditangani secara ekstra. Termasuk pelaksanaan pembinaan di lapas, sebagai bagian dari proses penegakan hukum.

Tujuannya, untuk memberikan efek jera bagi pelaku, dan pengingat untuk lainnya agar tidak melakukan tindakan serupa. Sehingga, harusnya tidak ada perlakuan khusus bagi napi koruptor yang justru mencederai penegakan hukum.

"Dalam rangkaian penegakan hukum ini, sepatutnya tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang justru akan mencederai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi," ucapnya, kemarin.

KPK, lanjut Ali, melalui kewenangan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, memiliki kebijakan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Baik melalui pidana pokok penjara badan maupun pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik dan merampas asetnya untuk memulihkan kerugian negara.

KPK juga terus mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset. Agar pemberantasan korupsi tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya, tapi juga memberikan sumbangsih penerimaan ke kas negara," terang Ali.

Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga amat jengkel melihat para koruptor tersebut bebas. Dia khawatir, hal ini membuat napi korupsi tidak jera. Karena saat dipenjara, koruptor juga mendapat potongan hukuman dan pembebasan bersyarat.

"MAKI kecewa dengan banyaknya remisi dan bebas bersyarat untuk napi koruptor. Ini menjadikan pesan kepada masyarakat bahwa korupsi itu tidak berefek hukum yang menakutkan," kata Boyamin, kemarin.

Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap menilai, parade bebasnya koruptor imbas hilangnya Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012. Padahal, aturan ini memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis kejahatan luar biasa: narkoba, korupsi, dan terorisme.

Fenomena ini semakin menenggelamkan asa pemberantasan korupsi ke depannya. Sekaligus penanda semakin pudarnya harapan akan masa depan pemberantasan korupsi. Padahal, koruptor perlu mendapat hukuman berat sebagai efek jera.

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, pemberian bebas bersyarat kepada 23 napi koruptor semakin menunjukkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan biasa. Menurutnya, pemberian remisi kepada para koruptor tidak masuk akal. Salah satu contohnya, Pinangki Sirna Malasari. Baru 2 tahun ditahan, kini bebas bersyarat. Padahal kasus korupsinya tergolong besar.

"Kebijakan hari ini terlihat secara telanjang merupakan bagian dari upaya normalisasi terhadap korupsi, maka Pemerintah sebenarnya juga sudah tidak memiliki legitimasi untuk mengatakan bahwa mereka serius untuk memberantas korupsi," kritiknya.

Mendapat kritikan ini, Kepala Bagian Protokol Humas Ditjen PAS Kemenkumham Rika Aprianti mencoba memberi penjelasan. Dia memastikan, pembebasan bersyarat bagi 23 napi koruptor telah sesuai aturan main yang berlaku. Yakni, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Semua narapidana yang memenuhi syarat administratif dan substantif, kata dia, dapat diberikan hak bersyarat seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB). "Hak ini diberikan tanpa terkecuali dan nondiskriminatif kepada semua narapidana yang telah memenuhi persyaratan," ucap Rika. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo