Dianggap Membebani Penyelenggara, Pemilu Dan Pilkada Serentak Diusulkan Terpisah

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluhkan padatnya jadwal Pemilu dan Pilkada Serentak. Karena itu, KPU mengusulkan agar penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dipisah alias dilakukan atau digelar di tahun yang berbeda.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengatakan, Pemilu dan Pilkada terlalu mepet dan membebani penyelenggara. “Kalau bisa, ada jeda waktu, karena kemarin itu beririsan banget. Belum selesai tahapan Pemilu, Pilpres, Pileg, kita sudah bersiap Pilkada,” kata Afifuddin di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
Afifuddin menilai, Pemilu 2024 sebagai pesta demokrasi paling rumit dalam sejarah Indonesia, bahkan mungkin dalam sejarah dunia. Sebab, penyelenggaraan serentak Pilpres, Pileg, dan Pilkada di tahun yang sama belum pernah terjadi sebelumnya.
Dia menyebutkan, tumpang tindih tahapan menimbulkan tantangan besar. Khususnya bagi penyelenggara di tingkat pusat hingga daerah. KPU disebut harus menjalankan “beban ganda” tanpa jeda yang cukup.
Kadang orang bertanya, KPU ngapain habis ini? Padahal, tahapan Pemilu itu minimal 22 bulan. Kalau lima tahun, tinggal tiga tahun untuk persiapan berikutnya,” ujarnya.
Untuk itu, dia menekankan pentingnya evaluasi sistemik terhadap desain waktu penyelenggaraan Pemilu ke depan. Meski demikian, kata dia, KPU sebagai pelaksana tidak memiliki kewenangan mengubah desain Pemilu, melainkan hanya menjalankan aturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
“KPU ini pelaksana saja. Kalau undang-undangnya lebih cepat, kita bisa rumuskan lebih baik. Tapi kalau dibahas belakangan, ya kita menyesuaikan,” kata dia.
Dia berharap penyelenggaraan Pemilu bisa lebih ideal dan kolaboratif, terutama dalam menghadapi berbagai dinamika lokal dan persoalan teknis di lapangan. Termasuk perbedaan signifikan antara Undang-undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada.
Pemilu kita ini berat, maka tidak bisa seakan-akan semua tugas itu hanya KPU atau Bawaslu. Harus bareng-bareng,” pungkas dia.
Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda sepakat dengan usulan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dipisah. “Terkait dengan tahapan, saya sepakat," ujar Rifqinizamy.
Menurutnya, pemisahan jadwal ini penting untuk memberi ruang waktu yang memadai. Sekaligus mendukung rencana menjadikan penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota sebagai lembaga permanen.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal mengatakan, usulan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada dipisah sudah tepat. Desain pemisahan tersebut akan berdampak pada pola kampanye yang lebih efektif dan diharapkan dapat menurunkan praktik politik uang.
Ini akan berpengaruh pada pola kampanye dan praktik politik uang. Lalu ada ruang bagi pemilih untuk memberikan evaluasinya terhadap partai politik yang dipilihnya di dalam politik nasional, untuk dipertimbangkan apakah akan memilihnya kembali di pemilu daerah,” imbuhnya.
Wakil Manajer Pendidikan dari Pemilih Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Guslan Batalipu menuturkan, pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah akan membuat beban anggaran bertambah. Namun prinsip Pemilu yang demokratis tidak hanya bisa dipandang dari sisi efisiensi anggaran.
“Jadi, boros tidaknya pelaksanaan Pemilu jangan dilihat dari tingginya biaya pemilu regular, melainkan dari sisi dampak yang ditimbulkan seperti Pemilihan Suara Ulang (PSU), dimana tahun ini cukup paradoksal, alih-alih efisiensi justru banyak pemborosan,” kata Guslan.
Bagaimana pandangan Anda terkait wacana pemisahan jadwal Pemilu dengan Pilkada?
Kami memandang bahwa ide ini sangat tepat untuk diterapkan. Kami mengusulkan agar Pemilu dibagi dalam dua klasifikasi. Pertama, Pemilu Nasional yang mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota DPR dan DPD. Kedua, Pemilu Daerah yang meliputi pemilihan kepala daerah serta anggota DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Idealnya, kedua jenis pemilu ini dipisahkan dengan jarak waktu sekitar dua tahun.
Apa saja dampak positif yang bisa muncul dari pemisahan jadwal ini?
Pemisahan ini akan berdampak besar pada pola kampanye yang menjadi lebih efektif. Selain itu, praktik politik uang diharapkan bisa ditekan. Dengan adanya jeda waktu sekitar 18 hingga 24 bulan, pemilih punya kesempatan untuk benar-benar menilai dan mengevaluasi kinerja partai politik sebelum menentukan pilihan lagi pada pemilu berikutnya.
Bagaimana pemisahan ini bisa menekan praktik politik uang?
Kontrak politik antara pemilih dan partai atau calon tidak dibangun secara instan menjelang pemilihan, melainkan melalui kinerja nyata selama masa jeda tersebut. Hal ini mendorong partai politik untuk tidak sekadar mendekati pemilih dengan cara-cara instan seperti politik uang, tetapi lebih menekankan pada kinerja dan pelaksanaan aspirasi masyarakat.
Soal kesulitan pemilih dalam mengenali calon legislatif, bagaimana Anda melihat persoalan ini?
Ini memang menjadi tantangan tersendiri. Dalam pemilihan presiden, masyarakat relatif lebih mudah mengenali para calon. Namun, dalam pemilihan legislatif, banyak pemilih yang mengalami kesulitan mengenali kandidat-kandidat yang ada. Akibatnya, muncul gejala split voting, yaitu kecenderungan pemilih untuk memisahkan pilihan antara partai politik dan calon presiden.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu