Menata Arah Pendidikan Kota Modern (Bagian I)
Ketika Seleksi Siswa Baru Jadi Lahan Ketidakadilan

SERPONG - Hari-hari ini, warga Tangerang Selatan seolah hidup dalam dualitas. Di satu sisi, bangga pada perjalanan kota mandiri dan modern. Di sisi lain, gelombang kecemasan menghampiri orang tua dan siswa saat melalui proses Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB). Dinsos membuka Posko Aduan SPMB sejak 24 Juni hingga 9 Juli 2025, sebagai tanda bahwa sistem masih jauh dari sempurna (Antara Banten, Juni 2025).
Zona Tak Ramah, Wajah Pemerataan yang Tertunda
Kebijakan zonasi dimaksudkan untuk merata¬kan akses ke sekolah unggulan. Namun realitasnya cukup menyakitkan: beberapa siswa dari lingkungan padat penduduk justru tersingkir dari pilihan utama. Zona yang ditetapkan tidak selalu adil—dalam buku Educating the Human Potential (Ki Hadjar Dewantara), pendidikan harus menempatkan nilai kemanusiaan, bukan mengunci potensi melalui garis geografis. Ironisnya, di era digital ini, kendali atas akses justru semakin sulit dijangkau oleh masyarakat lemah.
Aduan, Harapan, dan Kekhawatiran Orang Tua
Di posko pengaduan, setiap harinya muncul lima hingga sepuluh kasus. Orang tua datang dengan surat jarak tempuh, kupon zonasi, hingga hasil rapor. Ketidakpastian sistem membuat mereka takut: “Anak saya pintar, tapi zonasi menolak karena rumah di luar radius,” kata seorang wali murid di Bintaro, seperti dikutip dari Liputan Tangsel, Juni 2025.
Cerita serupa datang dari Pondok Aren dan Serpong—di mana siswa unggul justru gagal mendapat tempat di sekolah negeri. Akhirnya, orang tua terpekik harus menyekolahkan anak di swasta. Ini mengingatkan buku Paulo Freire (Pedagogy of the Oppressed, 1970), yang menyebut bagaimana sistem pendidikan bisa memenjarakan bukan membebaskan, jika tidak dikaji dari sudut—logika yang menempatkan statistik di atas potensi anak.
Transparansi: Jalan Tengah yang Diharapkan
Posko SPMB bukan hanya menampung keluhan, tetapi juga menjadi ruang edukatif. Dinas Pendidikan mengakui bahwa format zonasi perlu dievaluasi—dengan keterbukaan data dan kriteria pilihan sekolah diunggah ke publik. Diberitakan Zone media lokal (Juli 2025), Dinas siap membuka sesi klarifikasi via daring untuk setiap aduan yang diajukan.
Namun, transparansi berwujud tidak cukup lewat statistik angka dan saldo kuota. Ia perlu dipadukan dengan dialog publik—sesi terbuka di kecamatan, misalnya—sehingga ibu-ibu, guru , RT/RW bisa memahami mekanisme zonasi dan membantu publikasi data. Prinsip ini sesuai dengan gagasan Lickona dalam Educating for Character (1991), bahwa pendidikan harus membuka ruang diskusi nilai di masyarakat, bukan sekadar menutup diri lewat kebijakan teknokratis.
Pendidikan: Hak dan Amanah Kolektif
Pada akhirnya, SPMB bukan sekadar alat administrasi, tetapi ujian moral bangsa. Ki Hadjar Dewantara sering menegaskan bahwa ‘’pendidikan adalah amanat umum’’ ( Among the People, 1932). Bila zonasi gagal memberi akses bagi mereka yang bertekad belajar, maka amanat itu terlanggar.
Masih ada jalan. Sosok dewasa akademik seperti guru, kepala sekolah, dan camat dapat menjadi mediator saat keluarga menghadapi kegagalan sistem—menjadi penasihat, bukan justifikasi. Dan dari kegelisahan inilah, Tangsel bisa mulai menata arah pendidikan kota modern: dengan tidak melupakan kemanusiaan di balik statistik kuota dan zonasi. (bersambung)
Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, warga Tangerang Selatan
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 21 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu