Mau Turunkan Pajak, Purbaya Kerek Daya Beli Rakyat

JAKARTA - Rencana Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mendapat banyak dukungan. Kebijakan tersebut dinilai mampu mendorong daya beli masyarakat di tengah tekanan ekonomi.
Purbaya menjelaskan, opsi penurunan PPN sedang dikaji pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah dinamika ekonomi nasional. Saat ini, tarif PPN ditetapkan sebesar 11 persen.
“Nanti akan kita lihat, apakah memungkinkan untuk menurunkan tarif PPN guna mendorong daya beli masyarakat ke depan,” ujar Purbaya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Ia menegaskan, rencana tersebut masih dikaji secara hati-hati dengan mempertimbangkan kondisi pertumbuhan ekonomi nasional dan ketersediaan ruang fiskal negara.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menilai, langkah pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat sangat penting, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Apalagi, sebagian besar pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
“Wacana penurunan tarif PPN tentu relevan sebagai instrumen untuk meringankan beban masyarakat dan merangsang konsumsi,” kata Shinta kepada Rakyat Merdeka, Rabu (15/10/2025).
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengusulkan agar PPN diturunkan hingga 8 persen agar dampaknya lebih signifikan terhadap perekonomian.
“Kalau biasanya hanya turun ke 10 persen, kami mengusulkan bisa diturunkan ke 8 persen,” ujarnya.
Menurut Benny, penurunan tarif PPN akan menggerakkan perekonomian karena harga-harga menjadi lebih terjangkau sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menilai, pemikiran Menkeu Purbaya sejalan dengan pandangan pelaku industri, yakni bahwa hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara tidak bersifat linier.
“Tidak selalu menaikkan tarif pajak akan menaikkan penerimaan negara, dan tidak selalu menurunkan tarif pajak akan menurunkannya,” ujar Bob.
Ia menambahkan, penurunan tarif pajak dapat menjadi stimulus bagi konsumsi masyarakat dan aktivitas industri. Ketika ekonomi bergerak lebih dinamis, penerimaan negara justru berpotensi meningkat.
Anggota Komisi XI DPR, Puteri Anetta Komarudin menilai, wacana ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat. Menurut dia, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memberikan ruang untuk menyesuaikan tarif PPN, yang bisa ditetapkan paling rendah 5 persen. “Kami berharap wacana ini segera dikaji pemerintah dan dibahas bersama DPR,” ujarnya.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian mencatat, adanya pergeseran pola konsumsi masyarakat sejak penyesuaian tarif PPN dilakukan. Porsi tabungan dan dana pihak ketiga terus menurun, menandakan tekanan terhadap kemampuan konsumsi masyarakat.
Menurut Fakhrul, dampak penurunan PPN akan bergerak dalam dua arah besar. Pertama, menggairahkan sektor riil dan konsumsi rumah tangga. Penurunan tarif akan langsung menurunkan harga barang dan jasa, meningkatkan daya beli, dan mendorong permintaan domestik.
“Efeknya akan terasa luas, terutama pada sektor padat karya seperti makanan-minuman, ritel, pariwisata, dan logistik,” jelasnya.
Kedua, penurunan PPN memberi insentif bagi perusahaan untuk bertransformasi menjadi entitas formal. Dengan beban pajak konsumsi yang lebih ringan, pelaku usaha kecil akan lebih tertarik masuk ke ekosistem formal dan mendapat akses pembiayaan yang lebih luas.
Dalam jangka menengah, langkah ini dinilai dapat memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan fiskal, karena publik melihat arah kebijakan yang prorakyat dan pro-sektor riil.
Untuk menjaga keberlanjutan fiskal, Fakhrul menekankan pentingnya reformasi pada sisi penerimaan non-PPN agar berjalan paralel.
“Bila ekonomi formal tumbuh, penerimaan pajak justru akan meningkat dengan sendirinya,” tegasnya.
Fakhrul memperkirakan, dengan kombinasi penurunan PPN, pemulihan daya beli, dan peningkatan formalisasi sektor informal, ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh di atas 5,3 persen pada 2026.
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu