Aparatur yang Bervisi Langit

SERPONG - Dalam ruang-ruang kantor pemerintahan, kita sering mendengar istilah "good governance", "akuntabilitas", dan "efisiensi pelayanan". Istilah-istilah itu penting. Namun ada sesuatu yang lebih dalam, yang justru sering dilupakan: ruh. Pemerintahan bukan semata urusan dunia. Ia juga amanah yang melekat langsung dengan langit—dengan Tuhan, dengan tanggung jawab akhirat.
Di Kota Tangerang Selatan, ribuan aparatur sipil negara (ASN) bekerja setiap hari: memeriksa dokumen, melayani masyarakat, menyiapkan regulasi, memproses dana, membangun kota. Tapi pertanyaan yang jarang terdengar: untuk siapa semua ini dilakukan? Apakah sekadar menggugurkan kewajiban jam kerja? Atau ada kesadaran bahwa setiap berkas yang diproses, setiap tanda tangan yang diberikan, setiap pelayanan yang dikerjakan—adalah ibadah yang kelak akan dihisab?
Inilah yang dimaksud dengan visi langit. Aparatur negara bukan sekadar pelaksana regulasi duniawi, tetapi juga penjaga amanah ruhani. Tugas pelayanan publik bukan hanya bagian dari rutinitas, tapi juga laku spiritual jika dilakukan dengan niat yang lurus dan hati yang sadar.
Imam al-Qusyairi dalam al-Risālah al-Qusyairiyyah, karya penting dalam khazanah tasawuf klasik, memperkenalkan konsep murāqabah—kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi setiap gerak-gerik kita. Bagi seorang birokrat, murāqabah berarti sadar bahwa Allah tahu bagaimana kita melayani masyarakat. Ia tahu apakah kita tulus menolong rakyat, atau sekadar menjalankan prosedur untuk mendapatkan gaji dan tunjangan.
Abu Madyan, seorang sufi besar dari Maghrib (Maroko) abad ke-12, mengajarkan bahwa dunia bukan untuk ditinggalkan, tetapi untuk dijadikan jalan menuju Allah. Dalam sebuah maqālah-nya, ia menulis: “Jadilah engkau di dunia, tapi hatimu tetap bersama Tuhan.” Di ruang kerja ASN, nasihat ini sangat relevan. Sebab meja kerja bukan hanya tempat tugas administratif, tapi juga tempat jihad ruhani. Di situlah niat diuji, dan integritas dibentuk.
Tangsel butuh aparatur yang bervisi langit. Yang tidak hanya cakap membuat laporan, tapi juga jujur dalam menyusun anggaran. Yang tidak hanya hadir di apel pagi, tapi juga hadir dalam doa malam. Yang tidak sekadar cepat merespons instruksi, tapi juga peka terhadap penderitaan warga. Seorang ASN semestinya memiliki dzauq—rasa batin—bahwa melayani rakyat adalah melayani wajah Tuhan dalam wujud sosial.
Karena itu, perlu ada pembaruan spiritual dalam sistem birokrasi. Salah satunya: menciptakan ruang tafakur di kantor-kantor pemerintahan. Bukan ruang shalat biasa, tapi ruang sunyi yang memungkinkan pegawai menenangkan diri, merenung sejenak, dan menyadari kembali arah pengabdiannya. Di tengah tekanan target dan jadwal, ruang seperti ini akan menjadi oase batin.
Ruang tafakur juga bisa menjadi simbol bahwa negara ini tidak sepenuhnya kering dari nilai-nilai ilahiah. Bahwa pelayanan publik bukan sekadar proses linear, tapi medan untuk mempertemukan dunia dan akhirat. Ia memberi pesan kepada setiap ASN: pekerjaanmu penting, tetapi lebih penting lagi niat dan ruh di balik pekerjaan itu.
Birokrasi yang bervisi langit tidak anti terhadap kemajuan teknologi, sistem digitalisasi, dan efisiensi kinerja. Tapi ia menolak menjadi kering, hampa, dan mekanistik. Ia harus tetap hangat, manusiawi, dan spiritual. Karena pada akhirnya, rakyat tidak hanya membutuhkan pelayanan cepat, tapi juga sentuhan hati.
Semoga ke depan, para ASN dan birokrat di Tangsel mampu memadukan dua dunia: dunia pelayanan dan dunia batin. Sebab pemerintahan yang sejati tidak hanya dinilai dari grafik serapan anggaran, tapi juga dari ketenteraman sosial dan keikhlasan para pelaksananya. Dan hanya mereka yang bekerja dengan visi langitlah yang mampu menghadirkan keduanya.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu