TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

Dzikir Sosial Kota

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi
Senin, 01 Desember 2025 | 13:09 WIB
Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Budi Rahman Hakim, Ph.D.

SERPONG - Kebanyakan orang memahami dzikir sebagai ibadah lisan dan batin yang bersifat pribadi—suatu bentuk ingatan kepada Allah di tengah kesunyian. Padahal, dalam pandangan para sufi, dzikir tidak berhenti pada getaran individu. Ia dapat menjadi gerak sosial yang menghidupkan kota, menghangatkan masyarakat, dan menyalakan nur kebaikan di ruang-ruang publik. Itulah yang saya sebut dzikir sosial: kesadaran kolektif untuk menghadirkan kasih dan rahmat dalam kehidupan bersama.

 

Kota modern seperti Tangerang Selatan sering kali tumbuh cepat secara fisik, tapi lambat secara ruhani. Pembangunan, infrastruktur, dan teknologi melaju kencang, sementara solidaritas warga berjalan pelan. Jalan diperlebar, tapi jarak antarmanusia justru makin sempit. Dalam situasi inilah, konsep dzikir sosial menjadi relevan—sebuah ajakan agar warga, pejabat, dan komunitas bersama-sama “mengingat Allah” melalui tindakan sosial yang nyata.

 

 Dzikir sosial bukan ritual baru, melainkan perluasan makna tasawuf ke dalam ruang sosial. Jika dzikir personal adalah menyebut nama Allah di dalam hati, maka dzikir sosial adalah menampakkan nama-Nya melalui amal. Membersihkan lingkungan bersama, membantu tetangga tanpa pamrih, menolong korban banjir, menghibur warga yang berduka—semua itu bagian dari dzikrullah dalam wujud sosial. Sebab, sebagaimana diajarkan Ibn ‘Ataillah dalam al-Hikam, “Zikir bukan hanya di lidah, tetapi dalam cara engkau menegakkan kebaikan.”

 

Abu Madyan, seorang sufi besar dari Maghrib, bahkan mengatakan bahwa masyarakat yang saling menolong adalah jamaah zākirīn—kelompok orang yang berzikir bersama, karena mereka menghidupkan nilai rahmat Allah di dunia. Di sinilah dzikir tidak lagi hanya duduk dalam majelis, tetapi berjalan dalam aksi; tidak hanya menyebut nama Tuhan, tetapi menampakkan sifat-sifat-Nya dalam kebijakan, pelayanan, dan perilaku sosial.

 

 Tangsel sebagai kota urban memiliki potensi besar untuk menjadi “kota yang berzikir.” Bukan berarti mengisi setiap taman dengan pengeras suara tahlil, melainkan menjadikan kebijakan publik dan perilaku sosial sebagai pancaran nilai Ilahi. Misalnya, kebijakan yang melindungi warga miskin, pelayanan publik yang manusiawi, sikap pejabat yang rendah hati, dan gotong royong warga menjaga kebersihan kota—semuanya adalah bentuk dzikir sosial.

 

 Al-Qur’an menggambarkan masyarakat berzikir bukan sebagai komunitas ritual, tapi sebagai masyarakat yang ya’murūna bil-ma‘rūf wa yanhawna ‘anil-munkar—membangun kebaikan dan mencegah kerusakan. Artinya, setiap tindakan yang menegakkan kebaikan bersama, walau kecil, adalah bentuk zikir yang hidup.

 

 Dalam perspektif tasawuf sosial, dzikir sosial memerlukan tiga kesadaran. Pertama, kesadaran spiritual kolektif, bahwa kota bukan hanya ruang ekonomi, tapi juga ruang ibadah bersama. Kedua, kesadaran moral publik, bahwa kebersihan, keadilan, dan solidaritas adalah bagian dari ibadah sosial. Ketiga, kesadaran ekologis, bahwa menjaga taman, air, dan udara juga bagian dari memuliakan ciptaan Allah.

 

Kota yang berzikir adalah kota yang penduduknya sadar akan makna hidup bersama. Ia tidak gaduh dalam wacana, tapi tenang dalam tindakan. Ia tidak sibuk menuding, tapi tekun menolong. Ia tidak membanggakan diri dengan proyek besar, tapi bahagia melihat warga saling membantu. Seperti kata Jalaluddin Rumi: “Zikir sejati bukan di bibir, tapi di tangan yang memberi.”

 

Sudah saatnya Tangsel menegaskan identitasnya sebagai kota yang berperasaan—bukan hanya kota cerdas (smart city), tetapi spiritual city. Kota yang cerdas tanpa cinta hanyalah sistem; tapi kota yang berzikir adalah organisme hidup yang berdenyut dengan kasih.

 

Mari kita mulai dzikir sosial dari hal kecil: memberi jalan bagi pejalan kaki, tersenyum kepada tetangga, mendengarkan keluhan warga dengan tulus. Karena mungkin di mata Allah, itulah dzikir paling tinggi nilainya—dzikir yang menjelma dalam amal sosial.

Komentar:
Berita Lainnya
Ist.
Transendensi di Jantung Kota
Jumat, 19 September 2025
Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Empati sebagai Infrastruktur
Jumat, 14 November 2025
Budi Rahman Hakim, Ph.D. Foto : Dok. Pribadi
Ruang Publik, Ruang Hati
Jumat, 07 November 2025
Budi Rahman Hakim, Ph.D. Guru Besar Tasawuf Sosial, Warga Tangsel
Waspada Penyakit Kekuasaan
Jumat, 31 Oktober 2025
Budi Rahman Hakim, Ph.D. Foto : Dok. Pribadi
Nafsu di Balik Anggaran
Jumat, 17 Oktober 2025
Budi Rahman Hakim. Ph.D. Foto : Dok. Pribadi
Kuasa yang Merunduk
Jumat, 03 Oktober 2025
ePaper Edisi 01 Desember 2025
Berita Populer
02
Tangsel Raih Kota Terbaik TP2DD 2025

Galeri | 2 hari yang lalu

04
SIM Keliling Kota Tangsel Sabtu 29 November 2025

TangselCity | 2 hari yang lalu

06
07
Jokowi: Saya Tak Pernah Resmikan Bandara IMIP

Nasional | 2 hari yang lalu

09
Dipimpin Jenderal Bintang 3

Nasional | 2 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit