TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Tarhib Ramadhan (1)

Mengukur Kadar Kemabruran Puasa

Oleh: Prof. Dr. Nazaruddin Umar
Minggu, 19 Maret 2023 | 08:21 WIB
Prof. Dr. Nazaruddin Umar
Prof. Dr. Nazaruddin Umar

CIPUTAT - Bulan Ramadhan sebentar lagi menjumpai kita. Tentu kita semua berhaarap semoga amaliah-amaliah Ramadhan kita yang akan datang membawa berkah secara khusus bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia.

Insya Allah di dalamnya umat Islam melakukan berbagai macam ibadah ritual, seperti puasa di siang hari, tarawih, shalat lail, sahur, dan berbagai macam ibadah lainnya di malam hari.

Namun, perlu diingat tidak semua ibadah maqbul (diterima) dan memberikan efek positif secara holistic (mabrur).

Semua ibadah mabrur sudah pasti maqbul tetapi tidak sebaliknya. Boleh jadi puasa kita sah secara Syari’ah tetapi belum mabrur.

Tujuan puasa sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an: La’allakum tattaqun (agar kalian meraih ketaqwaan).

Untuk meraih puasa maksimum (maqbul dan mabrur) sudah barangtentu puasa itu harus dilakukan secara total.

Selama ini, jika berbicara tentang puasa hanya menekankan standard minimumnya, yaitu menahan makan, minum, dan berhubungan suami-isteri, yang notabene masih terlalu bersifat fisik.

Padahal puasa dalam maqam lebih tinggi memuasakan seluruh dimensi diri kita, baik lahir maupun batin kepada Allah SWT.

Menarik untuk disimak kisah Nabi Zakaria di dalam Q.S. Maryam. Ia sangat berharap memiliki anak keturunan tetapi agak pesimis, karena dirinya sudah “tulangnya sudah rapuh dan rambutnya sudah beruban sementara isterinya selain sudah tua juga mandul”.

Namun, ia selalu berdoa dengan khusyuk agar dikaruniai keturunan. Akhirnya doanya dikabulkan dan lahirlah seorang putra tampan, cerdas, dan kemudian menjadi nabi.

Akhirnya, ia diminta mewujudkan rasa syukurnya dengan berpuasa untuk bicara selama tiga malam. (Q.S. Maryam/18:2-10).

Ayat ini mengisyaratkan salahsatu sifat utama puasa ialah mengendalikan mulut bukan hanya untuk tidak makan dan tidak minum, tetapi juga untuk tidak banyak bicara.

Kalangan ulama khawas menyerukan kita untuk sesekali berpuasa dalam suasana sunyi senyap untuk mengingat Allah swt, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Sunyi senyaplah segala suara karena (takut) kepada Allah Yang Maha Pengasih, sehingga tiada Ellah Swt, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Sunyi senyaplah segala suara karena (takut) kepada Allah Yang Maha Pengasih, sehingga tiada Engkau dengan kecuali suara halus (bunyi telapak kaki)”. (Q.S. Thaha/20:108).

Dalam hadis Nabi juga ditemukan beberapa hadis yang menasehatkan agar kita membatasi diri untuk bicara, apalagi bicara sembarangan.

Rasulullah bersabda:

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah berkata dengan baik atau lebih baik diam”.

Seruan dan peringatan Allah SWT dan Rasul-Nya agar manusia membatasi diri untuk bicara, terutama jika yang dibicarakan itu menyangkut aib atau fitnah yang dapat menghancurkan nama baik orang lain, sangat banyak mendapatkan banyak penekanan.

Ini bisa dimaklumi bahwa pembicaraan yang dapat menjadi malapetaka orang lain selalu terjadi di dalam sejarah umat manusia tanpa membedakan etnik dan agama.

Banyak lagi perumpamaan yang amat buruk bagi orang yang tega menghancurkan orang lain melalui fitnah dan tudingan disebutkan di dalam Al-Qur’an:

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”. (Q.S. Al-Hujurat/49:12).

TAG:
Ramadhan
Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo