TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Membaca Ulang Al-Quran (16)

Pendekatan Hermeneutika (1)

Oleh: Prof. KH. Nazaruddin Umar
Kamis, 06 April 2023 | 09:25 WIB
Prof. KH. Nazaruddin Umar
Prof. KH. Nazaruddin Umar

CIPUTAT - Metode pemahaman Al-Qur’an dengan menggunakan metode hermeneutika masih tetap di dalam perdebatan. Pendapat yang kontra menganggap tidak perlu menggunakan pendekatan hermeneutika di dalam memahami ayat-ayat suci AlQur’an.

Mereka menganggap pendekatan ini bukan saja tidak relevan tetapi juga bisa mengelirukan bahkan menyesatkan.

Menurut mereka, pendapat ini hanya relevan untuk membaca dan memahami Bible yang yang usianya sudah sangat tua dan kosa kata yang digunakan di dalam Bible boleh jadi sudah sangat jauh melenceng pemaknaannya saat ini.

Hermeneutika itu sendiri berarti memaknai sebuah teks masa silam di dalam perspektif kekinian dan kedisinian. Hermeneutika dalam bahasa aslinya disebut hermêneuine dan hermênia berarti “menafsirkan” dan “penafsiran.

Fungsi hermeneutika antara lain untuk menjelaskan ide dalam pikiran melalui kata-kata, menjelaskan makna yang masih samar menjadi lebih jelas, dan menerjemahkan suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai.

Al-Qur’an bagi kelompok ini tidak perlu diragukan pemaknaan teks ayat-ayatnya karena selain relative lebih baru juga pemaknaan kosa katanya dikawal oleh kitab-kitab tafsir yang sanadnya terus bersambung hingga saat ini.

Dalam lintasan sejarah dunia Islam, tidak pernah suatu masa berlalu tanpa kelahiran sebuah tafsir. Belum lagi ayat-ayat Al-Qur’an dikawal juga oleh hadis-hadis Nabi yang sangat terpelihara keabsahannya, terutama oleh para muhadditsin.

Menerapkan pendekatan hermeneutika di dalam memahami teks Al-Qur’an malah bisa melenceng jauh dari hakekat makna teks Al-Qur’an. Apapun alasannya, bagi golongan ini pendekatan hermeneutic perlu ditolak.

Pengalaman yang tak terlupakan penulis, ketika peserta Muktamar NU di Jogyakarta menolak pendekatan hermeneutika di dalam memahami Al-Qur’an untuk dibahas di forum muktamar, alasannya karena pendekatan ini bisa melahirkan pemahaman liberal terhadap sejumlah ayat Al-Qur’an.

Kelompok ini khawatir jika ayat-ayat difahami sebagai Muhkamat bisa menjadi mutasyabihat, ayat-ayat Ushul bisa menjadi furu’, ayat-ayat Dhawabit bisa menjadi mutagayyirat, ayat-ayat Qath’i bisa menjadi dhanni, ayat-ayat Ma’lum bisa menjadi majhul, ayat-ayat Ijma’ bisa menjadi ikhtilaf, ayat-ayat Mutawatir bisa menjadi ahad, dan ayat-ayat Yaqin bisa menjadi dhann atau syak.

Yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan ialah tidak mustahil ayat-ayat Al-Qur’an direduksi dari makna denotatif menjadi konotatif atau sebaliknya ayat-ayat konotatif direduksi menjadi ayat-ayat denotatif.

Sekelompok ilmuan muslim dan kalangan ulama membenarkan pendekatan ini sejauh tidak meninggalkan asas-asas penafsiran Al-Qur’an sebagaimana disusun oleh ulama-ulama tafsir yang standard dan capable.

Bagi kelompok ini, pendekatan apapun sejauh tidak melenceng dari makna dasar teks yang digunakan di dalam Al-Qur’an. Kelompok ini berpandangan positif terhadap metode hermeneutika.

Mereka beranggapan bahwa pendekatan hermenutika bisa membantu untuk memahami sejumlah ayat mutasyabihat menjadi lebih aktual dan sekaligus dapat dicontoh.

Pendekatan hermeneutika juga dapat melahirkan makna aktual sebuah teks dan sekaligus mendekatkan teks-teks kepada para pembaca. Pendekatan ini juga mengikuti pendekatan aktual sehingga terjadi gairah baru bagi para muslims schollars untuk mengkaji lebih mendalam kandungan dan filosopi Al-Qur’an.

Jika pemahaman masyarakat terhadap Al-Qur’an sudah semakin canggih (sophisticated) dan lebih komprehensif, maka dengan sendirinya akan terkikis habis mistikasi pemahaman dan penafsiran ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kelompok ini juga tidak pernah bermaksud meninggalkan kaedah-kaedah penafsiran klasik sebagaimana dirumuskan para ulama terdahulu seperti dalam kitab Al-Itqan dan Al-Burhan.

Kedua kitab ini menekankan keharusan adanya disiplin di dalam memahami dan memperkenalkan Al-Qur’an ke dalam masyarakat.

Di antara persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufassir menurut Al-Suyuti dalam Al-Itqan antara lain Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ushul Fiqh, Asbab al-Nuzul, Istishqaq, Qishash, Ma’ani, Nasikh dan Mansukh, Ilmu Bayan, Ilmu Fikih, Ilmu Badi’, Ushuluddin, dan Ilmu Qira’ah. Jika salah satu di antaranya tidak dikuasai, maka bisa dianggap gugur kredibilitasnya sebagai ulama Tafsir. Allahu a’lam.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Sedan Drone
Selasa, 30 April 2024
Dahlan Iskan
Masa Depan
Senin, 29 April 2024
Ilustrasi
Sarjana Joki, Profesor Joki
Sabtu, 27 April 2024
Foto : Ist
Kerja Keras Jaga Ekonomi Rakyat
Sabtu, 27 April 2024
Dahlan Iskan
Jaga Hati
Kamis, 25 April 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo