TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Saran Untuk Pilpres Mendatang, Bertanding Untuk Bersanding

Yang Menang Merangkul Yang Kalah

Oleh: NAN/AY
Senin, 11 Juli 2022 | 10:29 WIB
Ketua KADIN Arsjad Rasjid. (Ist)
Ketua KADIN Arsjad Rasjid. (Ist)

JAKARTA - Menghadapi tahun politik, para pengusaha Indonesia mulai ketar ketir. Khawatir suhu memanas, dan terjadi pembelahan masyarakat lagi. Karenanya, mereka menyuarakan gagasan menarik: bertanding untuk bersanding.

Maknanya, siapa pun yang menang dalam perhelatan pilpres, harus merangkul yang kalah. Pengusaha berharap, komitmen ini disepakati para calon sebelum pertempuran pemilu. Agar masyarakat tidak terpolarisasi dan tercipta suasana damai.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid saat bertemu sejumlah pemimpin media massa nasional pekan lalu mengharapkan, usai pemilu, pasangan capres-cawapres yang kalah diajak masuk ke pemerintahan oleh presiden terpilih. Bersama, gotong royong mengelola dan membangun negara. Seperti yang dilakukan Presiden Jokowi, mengajak Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, masuk kabinet.

“Pak Jokowi merangkul Pak Prabowo, adalah tindakan negarawan. Jika tidak dilakukan, bangsa kita bisa pecah. Sayangnya, itu terjadi di akhir. Setelah banyak yang hatinya luka. Kita tak mau itu terjadi lagi,” katanya.

Belajar dari kejadian tersebut, maka komitmen merangkul lawan politik ini harusnya dilakukan sebelum pemilu. Rakyat dan capres-cawapres pun bisa tenang. Modal tak begitu saja hilang. Kalau kalah, ada kepastian dan harapan, mereka bergabung di pemerintahan.

“Dengan begitu, semua fokus pada tujuan. Yang ngeluarin modal politik juga tak akan ngamuk kalau kalah,” katanya.

Apa fokus tujuannya? Kata Arsjad, semua calon harus sepakat bertempur demi kemenangan untuk 100 tahun Indonesia merdeka. Yaitu, di 2045, Indonesia masuk lima besar ekonomi dunia, rakyat sejahtera.

Menurutnya, Indonesia sudah menang dalam peperangan babak pertama, yaitu Indonesia merdeka dari penjajahan di tahun 1945. Kini, Pak Jokowi sudah berhasil membawa Indonesia masuk ke babak kedua. Pertempuran berikutnya, yaitu perang ekonomi. Jangan sampai kalah. Indonesia punya sumber kekayaan alam yang tidak dimiliki negara lain. Makanya, banyak yang menginginkan Indonesia pecah belah.

Ibarat pertandingan. Saat setengah main, strategi perlu dipikirkan. Jangan sampai hanya berputar-putar tidak jelas arah. Arah perjalanan sudah jelas. Tinggal pilih sopir dan kondekturnya. Jangan yang ugal-ugalan. Mau lewat mana? Lewat jalan tol? Jalan biasa atau gimana. Terserah saja.

“Yang penting, disepakati tujuannya untuk kemenangan 2045,” ujarnya.

Hitung-hitungan politik, pilpres nanti bisa diikuti 3 atau 4 pasang. Apakah itu harus masuk semua ke pemerintahan? Menurut Arsjad, makin banyak yang maju kontestasi, menunjukkan proses demokrasi yang bagus. Artinya, kita memiliki banyak stok calon pemimpin.

“Sorry to say ya. Selama ini, pemimpin kita, orangnya itu lagi-itu lagi. Padahal harusnya we are creating more leader. More leaders, the better it is. Perbedaan itu bagus. Saat membuat keputusan, misalnya, makin banyak masukan pemikiran, makin bagus. Lebih baik ada pro kontra hari ini, tapi saat ada keputusan, dijalankan bersama,” ujarnya.

Mengapa Kadin menggulirkan motto bertanding untuk bersanding? Arsjad mengatakan, pemilu mendatang tantangannya besar. Agar tidak memanas lalu meledak, perlu irama politik yang tidak ngaco. Jangan sampai ada politik identitas yang membawa polarisasi. Demokrasi Indonesia, bukan seperti di Amerika, yang menganut sistem the winner takes all.

“Pilpres Amerika membuat rakyatnya terbelah sampai hari ini. Sementara, Indonesia juga negara dengan banyak suku, banyak keragaman, banyak agama. Kalau tidak bergotong royong, negara kita juga bisa pecah belah. Kultur gotong royong adalah khas Indonesia. Yuk bertanding, berdemokrasi, tapi setelah selesai, ayo kita bersanding,” ujar dia.

Prinsip ini penting untuk kebijakan dan program berkelanjutan. Jangan sampai bangsa ini memiliki politik dendam. Tiap ganti presiden programnya diubah. Yang bagus dilanjutkan, yang kurang bagus diperbaiki. Yang jelek hilangkan.

Bagaimana cara Kadin bekerja untuk mewujudkan itu? Kata Arsjad, kalau ada dua atau tiga pasang capres, Kadin akan siapkan dua atau tiga tim ekonomi. Kadin wants to be involved in anything. Yang penting ujungnya kita tahu, tujuan demi kemenangan 2045.

“Kalau berangkatnya sama dari situ, maka kita akan bicara bareng how to get there. Mau lewat jalan manapun nggak masalah. Yang pentingnya basisnya keadilan, dan ujungnya kesejahteraan,” paparnya.

Biasanya, antar capres kan perang program. Apa mungkin bisa disatukan di pemerintahan? Kata Arsjad, dulu masyarakat menyuarakan perubahan. Hari ini suara masyarakat adalah stabilitas. Saat calon terpilih, dia jadi pemimpin rakyat. Kalau yang kalah masuk ke pemerintahan, bisa saling memberi masukan. Mengkombinasikan program.

“Pengalaman menunjukkan, apa yang berbeda, pada akhirnya tujuan sama demi rakyat sejahtera kan,” katanya.

Pilpres bukan hanya tentang sopirnya, tapi juga melibatkan pemilik kendaraan, yaitu partai-partai. Bagaimana caranya membuat partai bersedia melakukan komitmen ini ya? Kata Arsjad, kalau pemerintahan dapat 80 persen dukungan partai saja sudah bagus. Seperti yang terjadi sekarang. Tidak semua partai ikut, dan masih ada yang di luar pemerintahan.

Preferensi Kadin, siapa “sopir” yang bagus? Arsjad mengatakan, pada waktunya nanti, Kadin akan memanggil semua calon.

“Boleh dong, kita panggil, karena kita punya hak. Pengusaha kan sudah bayar pajak. Kami mau panggil bukan untuk ngajak debat, tapi hanya mau tanya. Bagaimana caranya kita menuju Indonesia sejahtera di 2045. Nggak usah debat, karena bangsa kita tidak punya kultur debat,” kata dia.

Bagaimana mekanisme bertanding untuk bersanding? Bisa-bisa pertandingan nanti dianggap tidak serius? Arsjad bilang, tetap harus terjadi pertandingan. Karena ini negara demokrasi.

“Kan Prabowo-Jokowi itu real competition. Tapi, kita ingin siapapun yang menang, ajaklah yang kalah bergabung,” katanya.

Rakyat nggak bisa dibodohi. Siapapun yang mau jadi capres silakan. Makin banyak malah bagus. Mereka semua pemimpin bangsa. Yang penting tujuannya stabilitas.

Sopir lama atau sopir baru nih? Mau sopirnya lama atau baru, silakan saja. Yang penting kompetisi. Boleh tidaknya sopir lama ikut bertarung, kaitannya dengan aturan hukum dan konstitusi.

“Saya nggak mau ikut dalam perdebatan itu,” ujar Arsjad.

Apakah gagasan ini muncul setelah ide perpanjangan jabatan itu dikritik dan ditolak sebagian masyarakat?  Arsjad menjawab begini.

“Saya atau Kadin nggak pernah mengeluarkan pernyataan apapun soal perpanjangan. Memang saat HUT HIPMI muncul kata-kata lanjutkan. Tapi kan Pak Jokowi bilang, yang dilanjutkan adalah kebijakan dan program kerjanya. Makanya, saya bilang, terpenting bukan lanjutkan, tapi keberlanjutan.”

Bagaimana caranya agar prinsip bertanding untuk bersanding ini ujung-ujungnya tidak sekedar bagi-bagi kue kekuasaan? Kata Arsjad, membangun demokrasi memang butuh waktu.

"Pada akhirnya, rakyat menentukan. Tapi dari sisi Kadin, setelah sharing dengan teman-teman di daerah, yang kami pikirkan adalah stabilitas. Kondisi aman sehingga kita bisa membangun negara. Makanya, gagasan inilah yang kami tawarkan,” ujarnya.

Agar mekanisme check and balances tetap berjalan, Arsjad bilang, salah satunya dengan mengubah sistem voting di parlemen. Voting harus terbuka untuk semua isu. Sehingga rakyat tahu, kalau masalah X, partai ini atau orang ini pilih yang mana. Ketika pemilu, rakyat jadi punya preferensi. Kalau tidak sejalan ya jangan pilih orang itu, atau jangan pilih partai itu.

Terakhir, Kadin mengingatkan tentang pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Pemindahan ibu kota, harus terlaksana sebagai simbol dari 100 tahun Indonesia merdeka. Isu ini sudah selesai dan sudah diputuskan DPR. Hanya 1 partai yang menolak, sehingga sebetulnya mayoritas rakyat mendukung ini. Jangan lupa, ide IKN bukanlah semata ide Jokowi. Sejak zaman Bung Karno sudah ada. Setiap presiden ingin memindahkan ibu kota, tapi tak kunjung terlaksana.

Soal pemindahan, kata Arsjad, tidak mungkin bisa dilaksanakan dalam 1-2 tahun. Memindahkan ibu kota, adalah berarti membangun kota baru. Sehingga butuh waktu lama. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo