TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Kita Jangan Lengah, Apalagi Jumawa Krisis Pangan Mencemaskan

Oleh: US/AY
Sabtu, 16 Juli 2022 | 14:25 WIB
Presiden Joko Widodo saat panen sorghum di NTB. (Dok. Setpres)
Presiden Joko Widodo saat panen sorghum di NTB. (Dok. Setpres)

JAKARTA - Ancaman krisis pangan semakin mencemaskan. Di dunia, saat ini ada lebih dari seperempat miliar orang kelaparan. Di dalam negeri, ancaman serupa juga nyata. Saat ini, harga berbagai bahan kebutuhan pokok terus merangkak naik. Meski kita tak masuk negara yang sudah mengalami krisis pangan ekstrem, tapi kita jangan lengah, apalagi sampai jumawa.

Ancaman krisis pangan ini menjadi isu sentral dalam pertemuan ketiga Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (3rd FMCBG) G20, di Bali. Dalam beberapa sesi diskusi dan pertemuan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berulang-ulang mengingatkan negara-negara G20 soal urgensi penanganan krisis pangan. Terutama saat membuka FMCBG G20 Indonesia, kemarin.

Sri Mulyani mengatakan, berdasarkan catatan Program Pangan Dunia, 276 juta orang di dunia kini menghadapi kerawanan pangan akut. Alias kelaparan. Angka ini meningkat dua kali lipat jika dihitung dari 2019 atau sebelum pandemi Covid-19. Saat itu, jumlah orang kelaparan hanya 135 juta jiwa.

Krisis pangan ini diperparah lagi oleh pengaruh geopolitik perang Rusia dan Ukraina.

"Pembatasan ekspor memperburuk dampak pandemi. Ini membuat harga pangan mencapai rekor tertinggi," papar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini meramal, harga pangan dunia berpotensi meningkat hingga 20 persen di akhir tahun ini. Setelah sempat meroket hampir 13 persen pada Maret 2022. "Ini juga mencapai level tertinggi baru dan kemungkinan akan naik lebih jauh," tambahnya.

Menurutnya, perlu penyebaran mekanisme pembiayaan yang lebih tersedia untuk menyelamatkan nyawa dan memperkuat stabilitas keuangan dan sosial. Selain itu, kebijakan ekonomi makro yang baik juga menjadi penting secara fundamental.

Ia berkeyakinan, ajang G20 adalah momentum yang bagus untuk mengambil aksi nyata. Di antaranya dengan memperkuat kolaborasi dan koordinasi kebijakan antarnegara.

"Saya yakin, kita dapat mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini," tutur Sri Mul, optimis.

Setali tiga uang, Menkeu Arab Saudi Mohammed Al-Jadaan menyerukan hal yang sama. Ia mendesak semua negara G20 dan komunitas internasional melakukan aksi konkret. Salah satunya, dengan membuat standar yang jelas terkait isu ketahanan pangan. Juga transparansi berupa dukungan data dan sistem perdagangan yang konsisten.

"Harus diartikulasikan dalam bentuk transparansi dan konsistensi sistem perdagangan," ajaknya.

Di forum yang sama, yakni G20 High Level Seminar bertajuk “Strenghtening Global Collaboration for Tackling Food Insecurity”, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang hadir secara virtual, menyuarakan agar negara-negara G20 berkomitmen untuk bahu-membahu memperkuat kolaborasi global dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan global.

Ketua Umum Partai Golkar ini kemudian memaparkan sejumlah terobosan yang dilakukan Pemerintah untuk memastikan ketersediaan pangan. Mulai dari optimalisasi pangan dan industri lokal seperti sagu, sorgum, singkong, dan buah-buahan lokal.

Selain itu, sebutnya, Indonesia juga melakukan penguatan pada rantai produksi pertanian dari hulu ke hilir. Seperti lewat program Corporate Farming, Closed Loop, Food Estate, dan sistem terintegrasi dari hulu hingga hilir dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.

“Di hilir, Pemerintah memastikan konsumen mendapatkan akses pangan yang aman dan berkualitas melalui penguatan cadangan pangan nasional, terutama di tingkat petani, pembangunan infrastruktur, dan logistik pangan,” terangnya.

Presiden Jokowi juga tidak main-main merespons isu krisis pangan ini. Ia bahkan bela-belain datang ke Ukraina dan Rusia untuk mendapatkan jaminan ketersediaan pangan seperti impor gandum dari Ukraina hingga pupuk dari Rusia. Langkah itu ditempuh agar masyarakat di dalam negeri mendapat ketersediaan pangan.

"Di Afrika dan beberapa negara di Asia, sudah mulai yang namanya kekurangan pangan akut. Sudah mulai yang namanya kelaparan. Bayangkan," kata Jokowi di Medan, Kamis (7/7) lalu, sepulang dari Rusia.

Ekonom Dani Setiawan melihat, Indonesia sudah mulai merasakan dampak krisis pangan, terutama akibat perang Rusia dan Ukraina. Sementara, persiapan untuk menghadapi guncangan pangan itu belum cukup signifikan.

"Kelangkaan pupuk mulai dirasakan. Karena untuk bahan baku pupuk, Rusia punya peranan besar," kata Dani, ketika dikontak semalam.

Karena itu, Indonesia tidak boleh lengah. Indonesia juga tidak boleh jumawa dengan kondisi saat ini, yang sepertinya masih baik-baik saja.

Dia melanjutkan, saat ini lahan pertanian di Indonesia semakin berkurang. Hal ini diperparah dengan tidak adanya modernisasi pertanian yang memadai. Sementara, mayoritas petani di Indonesia hanya menguasai 0,3 hektar. Penguasaan lahan besar-besaran hanya dilakukan korporasi.

"Reforma agraria harus kembali dijalankan secara konsisten, agar petani bisa mendapatkan akses lahan yang lebih baik," harapnya.

Di sektor perikanan, tangkap ikan juga tak memberikan harapan banyak. Meskipun Indonesia punya lautan yang luas, tapi sektor ini dilaporkan sudah mengalami stagnasi, karena over-eksploitasi.

Hal lain yang tidak kalah penting diperhatikan, lanjutnya, adalah ulah spekulan pangan, yang memanfaatkan kondisi pandemi termasuk perang untuk menahan stok. Agar dapat menaikkan harga.

"Karena komoditas strategis jadi ajang monopoli oleh pemilik kapital. Ini yang mengganggu," pungkasnya. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo