TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Rommy Di Podcast RM

Pilpres 2024: Jokowi Vs Jokowi

Oleh: Farhan
Kamis, 02 November 2023 | 08:06 WIB
Foto : RM
Foto : RM

JAKARTA - Pengaruh Presiden Jokowi di Pilpres 2024 sangat besar. Meskipun tidak maju sebagai kontestan, Jokowi dianggap akan menjadi kunci kemenangan Capres-Cawapres yang sedang bertarung. Ibaratnya, Pilpres 2024 ini seperti pertarungan antara Jokowi vs Jokowi. Siapa yang menang, masih ada hubungan dengan Jokowi.

Begitulah penilaian Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy atau akrab disapa Rommy, saat menjadi narasumber Podcas Ngegas di Rakyat Merdeka, Rabu (01/11/2023). Acara ini dipandu 2 editor politik Rakyat Merdeka, Siswanto dan Ujang Sunda.

“Saya pernah mengatakan, Pilpres ini akan all the president men’s. Akan diisi orang-orang yang di-endorse oleh Presiden. Jadi, ini pertarungan Jokowi melawan Jokowi,” kata Rommy, sambil tertawa.

Maksudnya? Kata Rommy, Pilpres 2024 ini terdiri dari 3 paslon. Yakni, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Dari ketiga paslon ini, semua ada keterkaitan dengan Jokowi.

Apalagi hingga saat ini, Jokowi masih berstatus sebagai kader PDIP. Tentunya Jokowi sebagai kader PDIP, akan memberikan dukungan kepada Ganjar yang diusung Banteng. Di sisi lain, Jokowi adalah orang tua dari Gibran. “Jokowi sebagai kader PDIP melawan Jokowi sebagai bapaknya Gibran. Maka, yang menang tetap Jokowi,” canda Rommy.

Dengan kondisi ini, mungkinkah Pilpres bisa berjalan Netral? Menjawab ini, Rommy mengaku pesimis. Menurutnya, banyak sekali bukti-bukti yang terjadi membuatnya pesimis Pilpres berjalan netral, tanpa campur tangan dari penguasa.

Rommy lantas mengungkit soal pencopotan baliho Ganjar-Mahfud jelang Jokowi melakukan kunjungan kerja di Bali, Selasa (31/10/2023). Peristiwa itu, terjadi hanya selang sehari setelah Presiden mengumpulkan 197 penjabat kepala daerah di Istana, Jakarta, Senin (30/10/2023). Katanya, Jokowi memberi instruksi langsung agar mereka netral pada Pemilu 2024.

Namun, apa yang terjadi. Tak lama setelah pertemuan itu, media justru dihebohkan dengan pencabutan atribut PDIP dan baliho Ganjar-Mahfud di Bali, Selasa (31/10/2023). Kepala Satpol PP Bali Nyoman Rai Dharmadi mengaku, pencabutan itu merupakan perintah Penjabat Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya.

Padahal, lanjut Rommy, saat kunker Presiden ke Sumatera Barat pada pekan lalu, atribut dan baliho Prabowo-Gibran memenuhi sepanjang perjalanan Jokowi. Saat itu, Jokowi datang untuk meresmikan Bandara Mentawai. Namun, tidak ada pencopotan seperti yang terjadi di Pulau Dewata.

Politisi itu selalu ada yang di depan panggung, dan ada yang di belakang panggung. Kita tidak pernah tahu yang kita lihat dua fenomena ini. Pertama, pencabutan atribut di Bali. Kedua, Wamendes PDTT yang memberikan pengarahan pemenangan Gibran,” ulas mantan ketua umum PPP itu.

Meski begitu, Rommy tetap berhusnudzon bahwa Pilpres bisa berjalan dengan menegakkan aturan main yang ada. Mengingat, dalam kontestasi Pilpres, rakyatlah yang punya mandat penuh menentukan siapa yang layak menggantikan Jokowi untuk 5 tahun ke depan.

“Makanya, melalui podcast ini saya mengajak supaya rakyat tidak memilih pasangan Prabowo-Gibran untuk menunjukkan bahwa memang rakyat tidak mau dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan,” ujar mantan Ketum PPP itu.

Menurutnya, putusan MK yang mengabulkan gugatan bahwa usia di bawah 40 tahun bisa maju sebagai Capres-Cawapres dengan alasan pernah atau sedang jadi kepala daerah, merupakan sejarah buruk di era reformasi. Ketua MK Anwar Usman yang punya kaitan dengan pihak penggugat dan tergugat, berani memanipulasi putusan demi membuka jalan bagi Gibran. “Kami tidak dalam posisi berkeberatan dengan anak muda maju di politik, tapi anak muda yang maju karena kualitas bukan fasilitas yang maju secara instan,” sindirnya.

Tak heran, kalau putusan MK itu membuat publik bergejolak. Banyak pakar hukum tata negara yang mengecam putusan itu. MK sebagai penjaga konstitusi, kata dia, justru menabrak konstitusi dengan putusannya yang penuh manipulasi.

“Ini menunjukkan sebenarnya dunia akademik kita resah. Pejuang-pejuang demokrasi kita menganggap ini bermasalah,” tutur Rommy.

Bahkan, PDIP sebagai partai tempat bernaung Gibran menyebut telah terjadi pembangkangan karena tidak tegak lurus terhadap instruksi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. “Bagaimana kita menerima kelahiran seorang pemimpin yang berangkat dengan pengkhianatan,” sesal Rommy.

Baginya, hal ini perlu diungkapkan karena rakyat tidak begitu paham apa itu MK. Mengingat, hanya 11,9 persen penduduk Indonesia yang menyandang gelar sarjana hingga doktor. Sebanyak 28 persen lulusan SMA, dan 60 persen lulusan SMP dan SD.

“Buat mereka, hidup sehari-hari saja sudah susah. Apalagi ngurus persoalan hantu demokrasi,” pungkasnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo