TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

COP Ke-28 Digelar 30 November-12 Desember 2023

Suhu Bumi Lewati Batas Kritis, Bahaya Kalau Tak Diantisipasi

Oleh: Farhan
Selasa, 28 November 2023 | 08:48 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Pada 30 November-12 Desember 2023 akan diselenggarakan Konferensi Dunia Perubahan Iklim atau yang disebut COP untuk yang ke-28 kalinya. Suhu bumi yang sudah di angka kritis, jadi PR berat dan mendesak dibahas. Dunia harus kompak, segera melakukan banyak tindakan antisipasi guna mencegah dampak perubahan iklim yang makin parah.

COP merupakan singkatan dari Conference of The Parties. COP adalah pengambil keputusan tertinggi dari United Nations Framework Convention on Climate Change yang diresmikan dan ditandatangani saat KTT Bumi, di Rio de Janeiro, Brazil, 1992.  COP ke-28 digelar di Dubai, Uni Emirat Arab, mulai Kamis, 30 November 2023.

Menjelang Sidang COP ke-28, suhu bumi tercatat mencatatkan rekor baru. Berdasarkan data dari Copernicus Climate Change Service (C3S) pada Sabtu, 18 November 2023, suhu permukaan bumi mengalami peningkatan drastis hingga 2,06 derajat celcius. Ini angka tertinggi sejak 1.850-1.900 dan melewati batas kritis. Padahal, sesuai kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim yang diteken dalam Perjanjian Prancis, seharusnya semua negara menjaga kenaikan suhu bumi di angka 1,5 derajat celcius.

Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen, mengatakan bahwa kondisi ini sangat bahaya. Oleh karena itu, Satu meminta kaum muda turut mewaspadai ancaman pemanasan global yang diakibatkan suhu bumi terus naik. Apalagi, mereka yang bakal menjadi korban jika suhu bumi terus meningkat.

"Jika tidak dibenahi, tentu kehidupannya terancam," ungkap Satu, dalam kegiatan Climate Change and Indonesia's Future: An Intergenerational Dialogue, di Djakarta Theater, Senin (27/11/2023).

Di kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut, Bank Dunia telah mengeluarkan uang miliaran dolar untuk mendukung upaya negara-negara mengurangi emisi karbon dengan beralih ke energi terbarukan. Tujuannya, agar suhu bumi terjaga dan tetap bisa menjadi tempat tinggal bagi semua makhluk hidup.

Namun, transisi energi tidak mudah dilakukan. Apalagi dengan tiba-tiba menghentikan penggunaan batu bara dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menggantinya dengan sumber energi terbarukan.

Selain itu, kata Sri Mulyani, mengatasi perubahan iklim juga tidak melulu bicara energi terbarukan. Sebab, ada masalah kompleks di dalamnya. “Seperti pengelolaan hutan, transportasi, dan lain sebagainya. Jadi bukan sekadar bangun PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) atau solar panel," terangnya.

Dalam acara yang sama, ekonom dan pakar lingkungan hidup, Prof Emil Salim, menjelaskan bahwa faktor utama pendongkrak suhu bumi adalah emisi gas rumah kaca. Mayoritas disebabkan pembakaran bahan bakar fosil atau minyak bumi dan batu bara yang menimbulkan karbon dioksida.

Emil menyebut, Indonesia harus fokus mengendalikan penggunaan bahan bakar fosil dan batu bara. Jangan sampai, emisi karbon yang ditimbulkan menambah parah kondisi iklim Indonesia. “Harus dicari keseimbangan yang lebih adil, bukan hanya mementingkan ekonomi,” ucapnya.

Emil menyebut, langkah PT Pertamina yang mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon perlu didukung semua pihak. Sebab, hal itu bisa membantu pemerintah mewujudkan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. 

"Dalam keadaan demikian, jangan ciptakan karbon baru. Maka harus dibuat infrastruktur sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan matahari, geothermal, angin dan sebagainya," paparnya.

Hal lain yang bisa dilakukan, menciptakan infrastruktur penyimpanan energi. Misalnya mendorong pabrik baterai dan aki di sejumlah daerah. Jika ekosistemnya sudah tercipta, dia yakin Indonesia bakal bebas dari emisi karbon dalam beberapa tahun ke depan.

"Itu yang bisa memecahkan masalah penghentian CO2 dengan renewable energi. Jadi, lambat laun kita berkembang hidup dari renewable energi yang tidak lagi menghasilkan CO2," tuntasnya.

Sementara, Pendiri Society of Renewable Energy (SRE) Zagy Yakana Berian menyebut, saat ini Indonesia butuh pemimpin yang peduli terhadap bumi untuk menghadapi isu perubahan iklim. Hal ini berkaitan dengan strategi yang harus dijalankan, baik mitigasi maupun adaptasi. 

"Pada implementasinya, Pemerintah perlu mentranslasikan level internasional hingga ke level komunitas yang butuh sinergi dari seluruh stakeholder," ungkap Zagy.

Dia menjelaskan, seorang pemimpin harus bisa bertindak sebagai negotiator terhadap komitmen nasional, lalu bertindak sebagai aktor yang mensinergikan seluruh stakeholder. Hingga menjadi narator yang dapat meyakinkan publik, bahwa sudah saatnya kita mengakselerasi energi transisi yang dapat mensejahterakan masyarakat.

Foto : Setpres
Pos Sebelumnya:
Punya Ketua Baru
Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo