TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Karakteristik Seniman Israel

Oleh: Muhamad Pauji
Sabtu, 09 Desember 2023 | 07:35 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

RAHASIA Tuhan nampak terungkap dalam peristiwa gempa bumi dahsyat yang melanda negeri Sodom, meski kemudian Nabi Luth dan pengikutnya terselamatkan. Hampir serupa dalam kasus tenggelamnya umat Nabi Nuh, hingga terselamatkan orang-orang baik (saleh) yang menjadi pengikutnya. Istri Nabi Luth dan anak Nabi Nuh justru berada di barisan mereka yang mengingkari kebenaran, hingga tergolong sebagai hamba-hamba Tuhan yang mengalami kecelakaan dan kebinasaan.

Anak-anak Nabi Adam juga berseteru dalam soal pengorbanan yang dipersembahkan kepada Tuhan. Ketika dikabarkan bahwa pemberian Habil diterima, sementara Kabil ditolak, kemudian Kabil yang merasa dirinya “senior” membenci dan mendengki saudaranya sendiri, hingga kemudian membunuhnya. Habil sendiri sudah memberi peringatan, jika pun saudaranya itu bersikap marah dan dengki kepadanya, ia tak mau membalas dengan kedengkian yang sama. Bahkan, jika pun saudaranya itu membunuhnya.

Bagi Habil, lebih baik menjadi pihak yang dikhianati dalam kehidupan dunia yang sekejap mata ini, ketimbang menjadi pihak berkhianat yang menuruti ajakan Iblis. Hal ini serupa dengan adagium yang pernah dilontarkan sahabat dan menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, “Tidak sama orang yang mencari kesalahan walaupun sudah diraihnya, ketimbang orang yang mencari kebenaran, walaupun belum diperolehnya.”

Dalam iklim politik modern, yang lebih mengedepankan aspek teknologi dan militerisme, justru berpijak pada moto hidup yang berseberangan dengan nilai-nilai ilahiyah: “Akan saya khianati seluruh dunia sebelum mereka berhasil mengkhianati saya.” Konsep ini bersandar pada pemikiran bahwa para makhluk ciptaan Tuhan – apapun jenis makhluk itu -- seakan layak sebagai pihak yang dicurigai dan ditakuti, bahkan layak dianggap pihak lain (the others) yang pantas dinegasikan.

Film Jurrasic Park

 Di tahun 1993 sutradara berdarah Yahudi, Steven Spielberg menggarap film “Jurrasic Park” yang kemudian ditonton secara masif oleh masyarakat dunia, termasuk jutaan penonton Indonesia membanjiri bioskop-bioskop Twenty One. Film tersebut menampilkan penggambaran makhluk purba (dinosaurus) sebagai makhluk cerdas yang harus dikurung oleh tembok-tembok pembatas, laiknya warga Palestina di Jalur Gaza. Makhluk dinosaurus dianggap sebagai liyan (others) yang layak dimusnahkan, karena akan mengancam keselamatan umat manusia.

Konsep ini berangkat dari kerangka “persaingan” yang meniscayakan adanya tumbal yang layak dikorbankan. Setelah kemunculan Jurrasic Park yang menghebohkan jagat perfilman dunia, maka bermunculan pula film-film yang menampilkan perlunya tembok-tembok pembatas yang seakan harus dijaga ketat agar tidak terkontaminasi peradaban luar, yang dianggap liyan dan asing tersebut.

Film yang digarap sutradara berdarah India, M. Night Shamalan berjudul “Village” juga menampilkan seting lokasi yang dikurung dalam perkampungan yang terisolasi dari dunia luar. Isolasi perkampungan itu sengaja dibuat sebagai eksprimentasi peradaban alternatif, namun tetap manusia harus mengikhlaskan kodrat kemanusiaannya yang saling bersosialisasi dan bekerjasama. Para pemuda akan tetap mencari jati diri, menanyakan identitas dirinya, mendambakan hidup tanpa adanya sekat-sekat ruang dan waktu, atau batas-batas yang dipaksakan. Bahkan, mereka akan terkondisikan oleh kecenderungan libidinal untuk mencintai manusia lainnya.

Film Jurrasic Park dari buah karya sutradara Yahudi itu, telah disaksikan oleh jutaan penonton dari berbagai kalangan masyarakat. Mereka ramai-ramai mendatangi bioskop hingga antri selama berminggu-minggu, demi untuk menyaksikan tontonan visual yang menghebohkan tersebut. Di Indonesia, film Jurrasic Park tergolong salah satu hiburan sineas dengan jumlah penonton terbanyak sebagaimana Titanic (James Cameron), maupun film tentang datangnya hari kiamat, Independence Day (Roland Emmerich).

Dalam film Titanic, narasi tentang orang baik yang ditokohkan “Jack” (Leonardo de Caprio) menjadi korban dari peristiwa tenggelamnya kapal berteknologi mutakhir itu. Sementara, tokoh antagonis (jahat) tetap eksis menjalani kehidupannya, meski dicap sebagai sosok pelaku amoral oleh masyarakat penonton.

Sedangkan, tokoh Rose terselamatkan dari musibah itu, bersama dengan puluhan penumpang lain yang masih tetap bertahan hidup, setelah sekian lama terapung di tengah lautan es yang nyaris membekukan tubuh mereka.

Tokoh yang dikorbankan

 Pesan kemanusiaan dalam karya sineas maupun sastra modern, seringkali meniscayakan tokoh berperilaku jahat agar dikorbankan. Meskipun dalam film Lincoln maupun Shindler’s List, sutradara Spielberg menampilkan juga tokoh-tokoh baik yang menjadi korban dalam iklim dan suasana peperangan. Tapi, dalam Jurassic Park, nampak tokoh pengacara ambisius dan serakah termakan oleh situasi chaos yang terjadi di belantara hutan dinosaurus. Hewan bermoncong besar yang diberi nama T-Rex, yang dianalogikan sebagai gerakan Hamas, nampak mengganas dan melahap siapapun yang dianggap sebagai musuh dan lawannya.

Terkait dengan itu, sejarawan Yuval Noah Harari pernah memprediksi adanya perjumpaan makhluk purba sejenis Neanderthal maupun Denisovan. “Jika saja mereka berjumpa dan berbaur dengan Homo Sapiens (manusia modern), kelak akan terjadi pertumpahan darah dan genosida besar-besaran dalam sejarah peradaban manusia,” tegas Yuval Harari.

Dalam terminologi Islam, kita mengenal sosok Ya’juj dan Ma’juj, yang dibuatkan dinding pemisah dengan manusia beradab oleh Alexander Zulkarnain. Di akhir surah al-Kahfi dalam Alquran, disampaikan bahwa dinding itu dibuatkan dari besi-besi tembaga yang pada saatnya nanti (atas izin Allah) akan jebol dan luluh-lantak oleh tangan-tangan jahil manusia. Dengan demikian, berbaurlah Ya’juj dan Ma’juj itu di tengah peradaban manusia, yang kemudian menciptakan kerusakan dan keonaran di muka bumi, sebagai simbol kemunculan sang mesiah Imam Mahdi di akhir zaman.

Pada momen inilah, Allah akan menampakkan, siapa di antara manusia yang berjuang di jalan kebenaran (Allah), dan siapakah dari mereka yang “merasa berjuang”, namun hakikatnya menciptakan mudharat dan kerusakan di muka bumi ini.

 Karakter sastra Israel

Penulis Banten, Hafis Azhari banyak mengungkap trik-trik sastra Israel dalam membangun opini publik. Tercermin jelas dalam karya prosanya, Pikiran Orang Indonesia, bagaimana kekuasaan militerisme Israel seakan diadopsi oleh angkaran bersenajata (ABRI) dengan dwifungsinya, yang berjaya selama 32 tahun untuk menggemukkan kepentingan kapitalisme, di mana produk-produk Israel dapat bergerak secara bebas di dalamnya.

Produk-produk ekonomi Israel sehaluan dengan kemasan produk di bidang kebudayaan, seperti dalam karya sastra maupun perfilman Amerika. Seberapa banyak karya prosa maupun film garapan sutradara berdarah Yahudi, sanggup mewartakan kepentingan politisnya untuk membangun simpati dunia. Selain karya Steven Spielberg, kita mengenal karya peraih nobel, Elie Wiesel (Fajar) yang menggambarkan ajaran Kitab Kabalah dari Yahudi ortodoks merasuki pikiran sang tokoh utama, hingga merasa berhak untuk mengeksekusi mati seorang petugas yang membawa misi perdamaian dunia.

Tak beda jauh dengan karya sastra Isreal lainnya, seperti Etgar Keret, sang prosais ulung yang banyak digandrungi para sastrawan dan penulis muda Amerika (dengan demikian, penulis Indonesia juga). Dalam salah satu cerpennya yang terkenal “Equit”, dengan lihainya dia menggambarkan sosok mantan tentara Israel yang dilempari oleh anak-anak Palestina, hingga tersungkur jatuh bercelomot darah. Secara tidak langsung, penulis yang karya-karyanya selalu lolos di koran maupun majalah Amerika itu, dengan sengaja membangun opini publik untuk mendiskreditkan anak-anak Palestina sebagai anak-anak jahat yang pantas dikorbankan.

Misi Isra’iliyat terungkap secara gamlang dalam artikel “Memahami Masalah Palestina-Israel” di Republika.id. Juga dalam opini “Sistem yang Diciptakan Kita” (ruangsastra.com). Adapun mengenai kajian Hafis Azhari tentang provokasi Israel, dapat di-klik langsung di radarntt.co.

“Memang banyak karya Etgar Keret yang cenderung provokatif terhadap warga Palestina, bahkan terhadap Islam. Ia menyuarakan misi neo-liberalisme dengan tokoh-tokoh manusia hipermodern yang membius para pembaca. Tak jarang cerpen-cerpennya masuk di New York Times, yang kemudian dibaca oleh jutaan pembaca Amerika dan negeri-negeri industri maju lainnya,” ujar Hafis Azhari.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo