TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Masalah-masalah Dialektis Tiga Dekade Indonesia: Seri Inovasi Dan Kompetisi

Oleh: Penadi Kurniawan
Sabtu, 09 Maret 2024 | 10:53 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Indonesia adalah beragam dan khas, diapit oleh dua samudera (Pasifik dan Hindia) dan diapit oleh benua Asia dan Australia. Terdiri dari 17.506 pulau dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer. Maksud Indonesia beragam dan khas dapat dipahami dengan melihat kondisi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia secara holistik.

Secara geo-ekonomi Indonesia begitu strategis, sebagai jalur perdagangan dan perlintasan kapal penyuplai bahan baku utama dunia, terdapat empat (Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar) choke points (Jalur tercepat untuk penghematan biaya angkut) yang sangat penting bagi perlintasan kapal, menghubungkan samudera pasifik dan Hindia, Benua Amerika, Benua Australia, Benua Asia, serta Benua Eropa. Namun dalam praktiknya choke points tersebut belum memberikan imbas yang baik, setidaknya berupa kenaikan ekonomi bagi bangsa Indonesia.

Pada tataran kekayaan Bumi, Indonesia kaya akan mineral tambang. Salah satu bukti kekayaan tersebut dimanifestasikan oleh Papua Barat (provinsi Indonesia), terdapat pertambangan emas terbesar di muka bumi yang dikelola oleh perusahaan transnasional Amerika yaitu Freeport-McMoRan tembaga dan emas sejak tahun 1973. Satu fakta lagi bahwa Indonesia adalah salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia. Namun apa yang terjadi di lapangan manusia-manusia disekitar tambang tersebut belum menemui kata sejahtera. Sebut saja sebegai contoh di sekitar tambang Freeport-McMoRan, tambang batu bara di Kalimantan, manusia di sekitar blok cepu, tambang bukit asam, tambang batu bara di Bengkulu, dan yang terakhir dalam narasi pidato Presiden Joko Widodo tentang tingkat pertumbuhan ekonomi maluku utara mendapat predikat tertinggi di dunia sekitar 27-28% tahun 2022, pencapaian ini didapati berasal dari hasil kelolaan tambang nikel, namun pertanyaannya manusia mana yang mendapatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia itu ?, Apakah manusia sekitar tambang, atau hanya pemilik tambang ?, mungkin perlu dijawab oleh manusia yang tinggal disekitara tambang tersebut secara langsung atau dapat dijawab oleh data-data yang jujur.

Secara Sosilogis Indonesia merupakan Negara dengan Total penduduk 270,20 juta jiwa terbesar ke-empat di dunia, bermacam-macam etnik dengan wilayah budayanya sendiri (depalan belas masyarakat etnik atau lebih), sekitar 400 suku dan kelompok etnik dan budaya yang menetap serta terdapat 726 bahasa daerah, juga keberagaman agama yang prakteknya bersumber dari agama Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Keberagaman budaya ini dapat diklaim sebagai buah dari pikiran cemerlang manusia Nusantara terdahulu. Namun sangat disayangkan kualitas manusia beradab tersebut akhir-akhir ini mulai menampakkan hal yang sebaliknnya. Dalam laporan Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 tentang interaksi online dan menghadapi risikonya, netizen Indonesia mendapat gelar “paling tidak sopan se-Asia Tenggara” akibat banyak terjadi Hoax, penipuan, ujaran kebencian dan peraktik diskriminasi virtual. laporan ini mengindikasikan salah kelola sumber daya manusia di Indonesia sehingga terkesan mulai menjarak dari kata beradab.

Berangkat dari potensi ideal dan fenomena tersebut, didapati usaha yang dilakukan belum membawa bangsa Indonesia kepada kedudukan yang seharusnya, terlihat selama tiga dekade terakhir pencapaian yang didapat tidak berbanding lurus dengan kesediaan potensi yang ada, sederhananya potensi yang ada tidak terkelola dengan baik dan hal tersebut menjadi masalah (ideal yang tidak sesuai dengan kenyataan). Bagi bangsa Indonesia secara umum dan terkhusus untuk generasi di masa depan.

Pada akhirnya kompleks fenomena tersebut menunjukkan tiga permasalahan besar bangsa Indonesia yaitu tingkat inovasi dan kompetisi yang menuju “kepunahan”. Maka Untuk dapat memahami urgensi sekaligus mencari solusi dari permasalahan tersebut maka perlu dilakukan deskripsi secara rinci.

Kemana Para Inovator Itu?

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Nusantara sejak dahulu memiliki indeks inovasi dan kompetisi yang tinggi, Benda bersejarah dan cerita peninggalan menjadi buktinya. Tidak berlebihan bila candi Borobudur masuk dalam kandidat tujuh keajaiban dunia, sebagai bangunan yang syarat aksiologi dan membutuhkan tingkatan keilmuan yang cukup tinggi untuk membangunnya.

Begitu pula dengan Kedatuan Sriwijaya yang berhasil mendirikan universitas, sebagai pusat pembelajaran agama Buddha dan pengajaran bahasa Sansekerta di Asia Tenggara. Tidak terlalu muluk menyebut 726 bahasa daerah (jumlah bahasa dalam satu regional terbanyak kedua di dunia) dan harmonisasi dari keberagaman agama yang prakteknya bersumber dari agama Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik adalah sebagai hasil inovasi dan kompetisi tingkat tinggi bangsa Indonesia.

Namun fenomena dewasa ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Tingkat kemampuan inovasi dan kompetisi penduduk Indonesia semakin menurun dan tergolong rendah dibanding negara-negara sekasta. Menganalisis data indeks kompetitif bahwa Indonesia tahun 2018 berada pada urutan 45 di Asia, 2019 menurun ke urutan 50 di Asia, terakhir dalam laporan GCI atau Global competitiveness index (2021) dan laporan GII atau The Global Innovation Index (2021) bahwa tingkat inovasi di Indonesia berada pada urutan ke-85 artinya berada di bawah malaysia, Thailand, Vietnam, Philiphina, Brunei, dan Mongolia. Jika mengambil perbandingan titik permulaan adalah kemerdekaan dan ekonomi, idealnya Indonesia satu taraf dengan pertumbuhan China.

Konklusinya (kesimpulan) atas fenomena tersebut adalah gambaran negara yang berkembang (mengalami progres) cenderung memiliki tingkat inovasi yang tinggi dan sebaliknya Negara yang tidak memiliki daya inovasi yang tinggi cenderung sulit untuk berkembang, serta rendahnya tingkat inovasi menggerus tingkat kompetitif bangsa terhadap Negara lain.

Hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi generasi muda apabila terjadi salah kelola dalam waktu yang Panjang. Celakanya sejarah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi negara maju dan industrinya selama 250 tahun terakhir ditopang oleh inovasi teknologi dan kondisi kita sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda akan pulih dari gulungan badai “katastrofe Inovasi”.

Salah satu solusi yang dapat penulis tawarkan dari hasil pengamatan terhadap permasalahan tersebut adalah Pendidikan dan dana Research & Development atau Gross Expenditure on Research and Development (GERD) harus menjadi prioritas. Sederhananya jika mengacu pada Negara Korea Selatan berarti 4,3% dari PDB/GDP, sedangkan Indonesia masih 0,28% dari PDB/GDP. Terserah pemangku kebijakan akan melimpahkan pendanaan tersebut kepada swasta maupun negara (maksudnya APBN), kebutuhan GERD Indonesia yang kita dapat mimpikan berada pada nilai 5 % dari PDB/GDP di tahun 2027. Apakah ada bakal calon presiden dan kroni-kroninya pada kontestasi 2024 dapat menjawab tantangan ini? Mari kita lihat calon mana yang berani menyudahi “Pembalakan Ide” ditengah bangs ini, jika ada pilih dengan penuh kebijaksanaan, jika tidak ada untuk apa dipilih, haruskah dipaksa memilih? Kenapa tidak meminta calon lain?

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo