Komnas PA Banten Beri 7 Catatan Sebelum ABH Dimasukan ke Barak Militer
Penanganan Harus Penuhi Hak Anak

SERANG – Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Provinsi Banten menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dalam mengupayakan pendekatan alternatif terhadap penanganan anak bermaslaah atau anak yang berhadapan dengan hukum atau ABH.
Ketua Komnas PA Banten, Hendry Gunawan, Rabu (21/5/2025) siang, mengatakan gagasan pembinaan yang mengedepankan kedisiplinan dan penguatan karakter merupakan bentuk kepedulian terhadap masa depan anak-anak yang patut diapresiasi dan didukung secara bersama-sama oleh semua pemangku kepentingan.
“Pada prinsipnya, Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah pembinaan bagi ABH. Dengan catatan bahwa seluruh proses tersebut harus berlandaskan pada prinsip perlindungan anak, menjunjung tinggi hak-hak anak, serta berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku,” ungkap Hendry Gunawan, menjawab pertanyaan wartawan terkait wacana memasukan “anak nakal” ke barak militer oleh Pemprov Banten.
Secara regulasi, kata dia, terdapat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjadi landasan hukum utama. Dalam regulasi tersebut pendekatan penanganan terhadap ABH harus bersifat restoratif dan mengedepankan pengalihan dari proses peradilan formal, sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
“Oleh sebab itu, segala bentuk pembinaan harus dilakukan secara kolaboratif lintas sektor, inklusif, dan memperhatikan kondisi serta kebutuhan unik dari masing-masing anak,” terang pria yang juga berprofesi sebagai dosen ini.
Sebagai bentuk dukungan konstruktif, Komnas PA Banten menyampaikan beberapa catatan penting. Pertama, pendekatan pembinaan hendaknya bersifat holistik, tidak hanya menitikberatkan pada kedisiplinan fisik, tetapi juga menyentuh dimensi psikososial, spiritual, karakter, dan kesejahteraan emosional anak secara utuh dan empatik.
Kedua, kami mendorong pelibatan aktif dari lembaga-lembaga terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, serta DP3AKKB melalui Puspaga dan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) agar pembinaan berjalan terintegrasi dan berkelanjutan.
Ketiga, sebelum anak mengikuti program pembinaan, perlu dilakukan asesmen psikologis dan penilaian individual secara komprehensif untuk memastikan pendekatan yang tepat sesuai latar belakang dan kebutuhan anak.
Keempat, pendekatan pembinaan seyogianya berbasis pada kearifan lokal dan budaya Banten, sehingga memiliki kedekatan nilai dan relevansi sosial yang lebih kuat.
Kelima, anak perlu diposisikan sebagai subjek aktif dalam proses pembinaan melalui pelibatan dalam penyelesaian masalah secara dialogis dan partisipatif. Keenam, kami menekankan pentingnya keterlibatan keluarga sebagai sistem pendukung utama bagi anak, dengan menyertakan mereka dalam edukasi pola asuh yang sehat dan penguatan kapasitas parenting.
Ketujuh, pembinaan tidak boleh berhenti ketika program selesai, perlu ada monitoring berkelanjutan serta dukungan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan reintegrasi sosial yang baik agar anak dapat kembali ke masyarakat secara bermartabat dan berdaya.
“Kami mengajak seluruh pihak, baik pemerintah, lembaga sosial, pendidikan, maupun masyarakat luas untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman, mendidik, dan membebaskan anak dari kekerasan serta stigmatisasi. Setiap anak berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik bagi dirinya, keluarganya, dan bangsa,” pungkasnya.(rie)
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 16 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu