TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Tapos
Dewan Pers

Kasus Pemerasan Di Kemnaker Terjadi Sejak 2012

Ada Istilah Uang Dua Mingguan

Reporter: Farhan
Editor: AY
Sabtu, 07 Juni 2025 | 10:49 WIB
Gedung Kemenaker. Foto : Ist
Gedung Kemenaker. Foto : Ist

JAKARTA - Praktik dugaan pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak hanya terjadi sepanjang 2019-2024. Tapi sejak 2012.

 

Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo Wibowo membeberkan, berdasarkan hasil pemeriksaan penyidik, praktik terse­but sudah berlangsung pada tahun-tahun sebelumnya.

 

“Praktik ini sudah berlangsung sejak 2012. Masih terus dilakukan pendalaman,” ujarnya dalam konferensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).

 

Karena itu, Budi memastikan, penyidik komisi antirasuah bakal menelusuri keterlibatan pihak lain dalam perkara ini.

 

KPK akan memanggil Menteri Ketenagakerjaan yang menjabat dalam periode tersebut, yaitu HD dan IF.

 

“Dari menteri HD sampai IF, ya tentunya pasti akan kami klarifikasi terhadap beliau-beliau terkait dengan praktik yang ada di bawahnya, karena secara manajerial tentunya beliau-beliau adalah pengawasnya,” tegas Budi.

 

Selain itu, KPK juga menelusuri aliran uang hasil pemerasan tersebut. Sejauh ini, Budi menjelaskan, uang hasil pemerasan sepanjang 2019-2024 mencapai Rp 53,7 miliar.

 

Uang tersebut mengalir ke kantong delapan tersangka, yakni eks Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Dirjen Binapenta & PKK) Kemnaker, SH dan HY.

 

Kemudian, dua mantan Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemnaker WP dan DA.

 

Lalu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) PPTKA GW, serta ti­ga Staf pada Direktorat PPTKA, yakni PCW, JML, dan ALF.

 

Budi merinci, SH menerima Rp 460 juta, HY Rp 18 miliar, WP Rp 580 juta, DA Rp 2,3 miliar, dan GTW Rp 6,3 miliar. Kemudian, PCW Rp 13,9 miliar, ALF Rp 1,8 miliar, dan JMS Rp 1,1 miliar.

 

Para tersangka menggunakan uang itu untuk kepentingan sendiri dan untuk membeli sejumlah aset, baik atas nama sendiri, maupun atas nama keluarga.

 

Sisa uang praktik lancung tersebut kemudian dibagikan ke­pada para pegawai di Direktorat PPTKA, Ditjen Binapenta, se­tiap dua minggu, atau dikenal sebagai “uang dua mingguan”.

 

Juga, untuk membayar makan siang para pegawai di direktorat tersebut, serta membiayai kegia­tan-kegiatan non-budgeter.

 

“Uang tersebut juga diberikan kepada hampir seluruh Pegawai Direktorat PPTKA, kurang lebih 85 orang, sekurang-kurangnya sebesar Rp 8,94 miliar,” ungkap Budi.

 

KPK mempertimbangkan untuk menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pihak-pihak yang diduga menerima uang hasil pemerasan.

 

Sejauh ini, penyidik baru menerapkan pasal dugaan pemerasandan penerimaan gratifikasi kepada para tersangka.

 

“Karena praktik ini sudah berlangsung sejak 2012 sehingga kami akan lebih mudah apa­bila nanti kita melakukan asset recovery (pemulihan aset),” jelasnya.

 

Budi mengungkapkan, para tersangka meminta sejumlah uang kepada agen penyalur calon TKA untuk memutuskan proses penerbitan dokumen RPTKA.

 

Modusnya begini. Dalam proses permohonan RPTKA se­cara online oleh pemohon, PCW, ALF, dan JMS tidak akan mem­beritahu kekurangan berkasnya via WhatsApp, tidak diproses, atau diulur-ulur waktu penyele­saiannya kepada pemohon yang tidak memberikan uang.

 

Selain itu, ketiga verifikator itu tidak akan memberikan jad­wal wawancara via Skype terkait identitas dan pekerjaan TKA yang akan dipekerjakan.

 

Ketiganya hanya akan mem­proses permohonan agen yang sudah pernah menyerahkan sejumlah uang pada penga­juan sebelumnya, atau kepada yang menjanjikan akan menyerahkan uang setelah RPTKA diterbitkan.

 

Nah, pemohon yang tidak diproses ini akan mendatangi kantor Kemnaker dan bertemu dengan petugas. Pada pertemuan tersebut, PCW, ALF dan JMS menawarkan bantuan untuk mempercepat proses pengesahan RPTKA, dan meminta sejumlah uang.

 

“Setelah diperoleh kesepakatan, maka pihak Kemnaker menyerahkan nomor rekening tertentu untuk menampung uang dari pemohon,” ungkap Budi.

 

Budi menjelaskan, RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKA untuk memenuhi persyaratan-persyaratan lain terkait izin kerja dan izin tinggal.

 

Apabila RPTKA tidak diter­bitkan, maka penerbitan izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat.

 

Hal ini menyebabkan pengelu­aran denda kepada TKA selama RPTKA belum terbit, yaitu sebe­sar Rp 1.000.000 per hari.

 

“Sehingga para pemohon RPTKA terpaksa memberikan sejumlah uang kepada Direktur PPTKA dan Dirjen Binapenta melalui PCW, ALF, JMS selaku verifikator, supaya tidak terkena denda,” beber Budi.

 

SH, WP, HY, dan DA juga me­merintahkan pegawai Direktorat PPTKA agar memprioritaskan pengesahan RPTKA untuk pihak pemohon yang telah menyerah­kan sejumlah uang.

 

Delapan tersangka itu belum ditahan. Namun, mereka telah dicegah bepergian ke luar negeri selama 6 bulan.

 

Dalam perkara ini, KPK juga telah menyita 13 unit kendaraan mewah yang diduga terkait dengan perkara ini. Penyitaan dilakukan usai penggeledahan di tujuh lokasi berbeda, termasuk Kantor Kemnaker di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (20/5/2025).

 

Seluruh kendaraan tersebut kini telah dipindahkan dari Gedung Merah Putih KPK ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) di Cawang, Jakarta Timur, pada Senin (26/5/2025).

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit