BNPL: Inovasi Finansial atau Jeratan Riba?

Belanja online kini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat urban. Dari kebutuhan pokok hingga keinginan tersier, semuanya bisa didapat hanya dengan beberapa klik di layar smartphone. Di antara beragam fitur kemudahan yang ditawarkan, Buy Now Pay Later (BNPL) menjadi salah satu layanan yang paling digemari. Siapa yang tidak tergoda dengan iming-iming “beli sekarang, bayar belakangan”?
Fitur ini memang terlihat praktis dan memudahkan. Tanpa harus membayar lunas di awal, konsumen sudah bisa membawa pulang barang atau menikmati layanan. Pembayaran bisa dicicil dalam beberapa bulan, kadang tanpa perlu kartu kredit. Namun, sebagai umat Muslim, muncul pertanyaan penting: apakah skema BNPL ini sejalan dengan prinsip syariah Islam?
Di Balik Kemudahan, Ada Hutang
BNPL sejatinya adalah bentuk utang-piutang. Konsumen memperoleh barang atau jasa, namun menunda pembayaran. Dalam Islam, utang (qardh) adalah bentuk tolong-menolong. Artinya, orang yang meminjamkan tidak boleh mengambil keuntungan dari transaksi tersebut. Jika ada tambahan—entah itu berupa bunga, denda keterlambatan, atau biaya administrasi tersembunyi—maka hal itu masuk ke dalam kategori riba.
Islam sangat tegas dalam persoalan riba. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Ayat ini menjadi landasan utama para ulama dalam menilai transaksi keuangan. Apapun bentuk tambahan dari pokok utang yang disepakati di awal—baik sedikit maupun banyak—tetap dikategorikan sebagai riba dan hukumnya haram.
BNPL: Semua Haram?
Tentu tidak semua layanan BNPL otomatis haram. Ada beberapa layanan yang benar-benar tidak mengenakan bunga atau penalti keterlambatan. Dalam kasus ini, BNPL bisa saja dianggap sah menurut syariah, karena tidak ada unsur tambahan dari utang pokok. Namun sayangnya, layanan semacam ini sangat jarang ditemukan di lapangan.
Mayoritas platform BNPL di pasaran—baik yang lokal maupun internasional—menerapkan model bisnis yang berbasis bunga atau fee tersembunyi. Bahkan ada pula yang mengenakan penalti cukup tinggi jika konsumen telat membayar. Di sinilah letak kerisauan para ulama kontemporer dan lembaga fatwa.
Dalam Fatwa DSN-MUI No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, dijelaskan bahwa setiap layanan keuangan berbasis teknologi harus memenuhi unsur transparansi, keadilan, dan bebas dari riba, gharar (ketidakjelasan), dan maisir (spekulasi).
Bijak dalam Menggunakan Fitur Keuangan
Sebagai umat Islam yang hidup di era digital, kita tidak bisa menolak kemajuan teknologi. Namun kita juga tidak boleh silau dengan kemudahan yang ditawarkan tanpa memahami konsekuensi hukumnya. Justru, perkembangan teknologi harus disikapi dengan kecerdasan finansial dan kesadaran spiritual.
Sebelum menggunakan layanan BNPL, penting untuk membaca syarat dan ketentuan secara menyeluruh. Periksa apakah ada biaya tambahan tersembunyi, bunga, atau penalti. Jika ragu, lebih baik tidak menggunakan layanan tersebut.
Ingatlah, Islam bukan agama yang anti kemajuan. Justru Islam mendukung inovasi, selama tidak melanggar prinsip keadilan dan keberkahan. Sebab pada akhirnya, keberkahan lebih utama daripada sekadar kemudahan yang bersifat sementara.
Penulis :
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 21 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu