Bersih Hati, Bersih Kota

SERPONG - Di kota-kota modern seperti Tangerang Selatan, masalah kebersihan dan tata ruang sering kali dianggap urusan teknis belaka. Namun, dalam pandangan tasawuf, urusan kebersihan bukan sekadar tentang lingkungan, melainkan cermin dari kebersihan hati para pemimpinnya. Kota yang bersih lahirnya, harus ditopang oleh hati yang bersih batinnya.
Kita bisa lihat realitas Tangsel hari ini: tumpukan sampah di beberapa titik pemukiman padat masih menjadi pemandangan rutin, dari Pamulang hingga Ciputat. Saluran air yang tersumbat, gorong-gorong yang kotor, drainase perkotaan yang belum optimal—semua menunjukkan bahwa kota ini belum ditata dengan sepenuh kesadaran. Padahal dalam Islam, an-nadhafah min al-iman—kebersihan adalah bagian dari iman—bukan hanya untuk rumah ibadah, tapi untuk seluruh ruang hidup manusia.
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa pemimpin yang lalai membersihkan batinnya akan cenderung melalaikan kebersihan lahir. Hati yang dipenuhi ambisi jabatan, kepentingan politik, atau ego sektoral akan sulit merasa terganggu oleh sampah yang menumpuk di gang-gang sempit kota. Ia lebih sibuk mengurus pencitraan daripada mengurus got.
Pertanyaannya: mengapa pemerintah kota masih belum tuntas mengelola sistem kebersihan dengan cara yang terpadu, partisipatif, dan berkesinambungan? Apakah kita hanya menunggu APBD besar atau bantuan pusat, sementara sistem bank sampah, pemberdayaan RT/RW, dan insentif pengurangan sampah belum optimal? Kebersihan bukan hanya proyek Dinas Lingkungan Hidup, tapi semestinya menjadi proyek spiritual seluruh warga kota.
Dalam kajian sufistik, kebersihan memiliki dua dimensi: tanzih (menjauhkan diri dari segala yang najis atau kotor), dan tathhir (proses penyucian terus-menerus). Tanzih adalah aspek teknis: angkut sampah, bersihkan drainase, tertibkan pasar. Tapi tathhir adalah aspek spiritual: memperbaiki niat, melibatkan hati, membangun kesadaran kolektif.
Banyak pemimpin besar yang dikenal karena kepedulian pada hal kecil. Nabi Muhammad ﷺ dikenal membersihkan masjid sendiri. Umar bin Khattab menyamar untuk melihat kondisi jalanan. Tradisi kepemimpinan spiritual selalu mengajarkan bahwa tanggung jawab seorang pemimpin dimulai dari urusan terkecil yang menyentuh rakyatnya.
Sampah dan drainase bukan urusan sepele. Di baliknya, tersimpan wajah sejati sebuah kota: apakah pemimpinnya hadir di tengah rakyat atau sekadar duduk di balik meja. Apakah kota ini ditata untuk manusia dan lingkungan, atau hanya untuk investor dan kepentingan jangka pendek.
Untuk membersihkan kota, kita perlu membersihkan paradigma. Pembangunan tidak boleh hanya difokuskan pada taman-taman cantik di pusat kota, sementara kampung padat dibiarkan kotor dan gelap. Pemerintah kota harus memulai dari yang paling dasar: air yang bersih, lingkungan yang sehat, dan ruang hidup yang manusiawi. Di sinilah tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa) menjadi falsafah birokrasi: bahwa melayani rakyat adalah bentuk ibadah, bukan sekadar tugas administratif.
Maka, mari kita dorong Pemkot Tangsel agar menyusun kebijakan kebersihan yang tidak hanya reaktif saat viral di media sosial, tetapi preventif dan berakar di masyarakat. Revitalisasi bank sampah, penguatan sistem pelaporan digital warga, kolaborasi dengan pesantren atau majelis taklim untuk kampanye kebersihan berbasis spiritualitas—all bisa dilakukan jika ada keseriusan.
Kota ini tidak butuh retorika tentang “smart city” kalau dasar-dasarnya masih kotor. Kota ini hanya akan benar-benar smart kalau seluruh aparatur dan pemimpinnya memulai dari hati yang bersih. Sebab, seperti kata Jalaluddin Rumi, “Jika hatimu bersih, maka seluruh kota akan bersinar.”
Tangsel bisa menjadi kota bersih bukan karena anggarannya besar, tapi karena niat dan cinta yang besar. Mari mulai dari dalam.
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu