Strategi Daerah di Tengah Turbulensi Fiskal

DAERAH sebagai akar tunjang pemerintah memasuki fase harap-harap cemas. Kecemasan lantaran renggangnya kepastian keuangan daerah pasca efisiensi ketat di 2026. Dana Alokasi Umum (DAU) diasumsikan menyusut, Dana Alokasi Khusus (DAK) raib, Dana Bagi Hasil (DBH) tak kunjung pasti, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun kian mengering. Para kepala daerah mesti berpikir keras.
Relaksasi itu mulai terasa, lebih lagi tahun depan yang kucurannya sisa 25 persen. Daerah mesti menghitung ulang gaji dan tunjangan pegawai, ikhtiar menjaga keseimbangan belanja rutin dan modal. Implikasinya tunjangan mesti dikurangi, sewa dihilangkan atau infrastruktur dibatasi.
Daerah dipaksa melakukan evaluasi, efisiensi, survive, atau mencari alternatif di tengah tuntutan atas jualan kampanye sebelumnya. Evaluasi berkonsekuensi memotong belanja pegawai. Ruang di mana sebagian birokrat mengais untung dengan berbagai cara.
Efisiensi mendorong perencanaan prioritas. Hanya yang dibutuhkan, bukan sekedar penting. Praktiknya jumlah yang tertulis tak seindah yang dibeli. Mark up menjadi perkara rutin birokrasi. Tugu lebih mahal dari irigasi, sindir Purbaya (2025). Biaya vitamin lebih besar dari seperangkat alat sekolah.
Daerah perlu survive. Bersabar memanfaatkan apa yang ada. Bertahan sambil berharap di tengah jalan ada relaksasi jilid dua. Pokoknya terbayar gaji dan tunjangan, selebihnya buat bertahan hingga kualitas fiskal normal kembali. Birokrasi butuh ikat pinggang ketat.
Daerah perlu merayu pusat, sekalipun semua tahu seluruh kekayaan asalnya dari daerah juga. Mengerahkan para Organisasi Perangkat Daerah (OPD) bertamu, berbincang dan bernegosiasi atas sejumlah projek yang mungkin terselip di sana-sana. Mengingatkan pusat akan haknya walau mungkin tak seberapa.
Daerah perlu membujuk para investor. Khususnya investor kelas kakap yang hidupnya di luar negara. Mereka cukup diberi kepastian, jaminan dan proteksi. Tanpa insentif semacam itu investasi bukan saja lesu, juga melambat. Semacam pilihan rasional dalam ekonomi agar pasar tetap sehat.
Daerah perlu menggenjot pendapatan. Melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi secara berhati-hati. Pengalaman Pati dan Bone cukup jadi pelajaran (2025). Pajak berlebih memicu protes. Namun tanpa pajak yang 83 persen kita tak mungkin bersandar pada sumber daya alam yang hanya 17 persen.
Daerah perlu memanfaatkan simpanan bertumpuk di bank. Laporan Menteri Purbaya (2025) menunjukkan tak sedikit pemda mengendapkan uang segar di laci bank agar berbunga-bunga. Daerah mesti menyerap agar tetesannya berputar di tengah lesunya ekonomi lokal.
Bila semua upaya itu dapat dilakukan, daerah dapat menghindari potensi kebangkrutan akibat hilangnya sumber pendapatan tetapnya selama ini. Daerah pun dapat belajar menghadapi resesi dan turbulensi. Di sini kepemimpinan di uji, loyang atau emas.
Bila Covid-19 pemda diuji untuk royal belanja bagi kepentingan masyarakatnya, kali ini pemda pun diuji mengetatkan arus belanja untuk kepentingan yang sama, rakyat. Hanya saja, bila dulu langsung dilayani di daerah, sekarang dilayani dari pusat.
Tentu ada banyak efek negatif dan positifnya. Namun tekanan semacam ini biasanya melahirkan kepemimpinan yang adaptif dan kreatif. Saatnya para pemimpin di daerah beralih dari kepemimpinan transaksional ke level transformatif yang memicu lahirnya gagasan sebagai jalan keluar, bukan sekedar reward and punishment.(*)
*) Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 11 jam yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu