Hiburan Malam, Pajak, dan Harga Sosial yang Harus Dibayar Kota Serang
Hiburan Malam Kota Serang Harus Diatur
PERDEBATAN soal hiburan malam di Kota Serang kerap berhenti pada dua kutub ekstrem: antara pelarangan total demi moral sosial, atau pembiaran demi alasan ekonomi. Padahal, persoalan sesungguhnya bukan sekadar “boleh atau tidak”, melainkan siapa yang membayar harga sosial dari aktivitas hiburan malam tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa industri hiburan malam seperti karaoke, bar, hingga kelab malam tetap berjalan dan bahkan berkembang. Sayangnya, dalam kondisi tanpa pengaturan dan pajak yang memadai, aktivitas ini justru menimbulkan paradoks: masyarakat menanggung biaya sosial, sementara daerah minim memperoleh manfaat ekonomi.
Kajian analisis Benefit Cost Ratio (BCR) terhadap jasa hiburan malam di Kota Serang memperlihatkan kondisi yang cukup mencemaskan. Pada skenario tanpa penerapan pajak hiburan (0 persen), total manfaat ekonomi yang dihasilkan hanya sekitar Rp 3,9 miliar per tahun, terutama dari penyerapan tenaga kerja. Namun, biaya sosial yang harus ditanggung. Mulai dari penegakan ketertiban, dampak kesehatan, hingga gangguan lingkungan yang diperkirakan mencapai Rp13,4 miliar per tahun. Artinya, setiap Rp1 biaya sosial hanya menghasilkan Rp 0,3 manfaat ekonomi. Dengan kata lain, hiburan malam tanpa pajak dan pengendalian adalah aktivitas yang merugikan daerah secara ekonomi dan sosial.
Situasi ini berubah drastis ketika pendekatan fiskal dan regulatif diterapkan. Dengan penerapan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan sebesar 40 persen, manfaat ekonomi melonjak signifikan hingga sekitar Rp 33,6 miliar per tahun. Sementara biaya sosial relatif tetap. Hasilnya, nilai BCR meningkat menjadi 2,5. Artinya, setiap Rp 1 biaya sosial mampu menghasilkan Rp 2,5 manfaat ekonomi bagi daerah.
Data ini memberikan pesan yang sangat jelas: masalahnya bukan pada keberadaan hiburan malam, melainkan pada absennya pengaturan yang adil dan tegas.
Pajak hiburan bukan semata alat penarik pendapatan daerah. Ia berfungsi sebagai instrumen keadilan sosial, mekanisme agar sebagian keuntungan ekonomi dapat dikembalikan untuk menutup dampak sosial yang ditimbulkan. Tanpa pajak, beban pengawasan tetap harus ditanggung pemerintah dan masyarakat, sementara keuntungan berputar di segelintir pelaku usaha.
Namun, pajak saja tidak cukup. Regulasi harus dibarengi dengan pembatasan lokasi, pengendalian jam operasional, klasifikasi risiko usaha, serta penegakan hukum yang konsisten. Hiburan malam yang terkonsentrasi di hotel berisiko menengah-tinggi, karaoke yang benar-benar berkonsep keluarga, serta larangan terhadap praktik-praktik menyimpang adalah bagian dari upaya menekan eksternalitas negatif.
Lebih dari itu, Kota Serang memiliki karakter sosial, budaya, dan religius yang kuat. Kebijakan pariwisata tidak boleh tercerabut dari konteks tersebut. Keseimbangan antara kebutuhan hiburan, kepentingan ekonomi, dan nilai sosial masyarakat harus menjadi fondasi utama kebijakan daerah.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “perlu atau tidak hiburan malam”, melainkan apakah pemerintah berani memastikan bahwa manfaat ekonomi lebih besar daripada biaya sosial yang harus dibayar warga. Data telah berbicara. Kini, pilihan ada pada keberanian politik dan konsistensi kebijakan. Jika hiburan malam memang ada, maka ia harus memberi manfaat nyata bagi daerah, bukan sekadar menyisakan kebisingan, keresahan, dan beban sosial.(*)
*) Penulis merupakan pejabat Eselon II yang menjabat Kepala Bapenda Kota Serang
Olahraga | 2 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 1 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 10 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
SEA Games 2025 | 17 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu



