Kaya Miskin
SERPONG - Kemarin miskin, hari ini kaya. Lupakan cerita kemiskinan Desa Silalahi di Disway kemarin. Simak kekayaan desa di tepi barat Danau Toba itu hari ini.
Di ujung desa itu berdiri ''kekayaan'' monumental: pembangkit listrik tenaga air. Cukup besar untuk ukuran Indonesia: 80 MW.
Saya menyebutnya itu kekayaan: bukan hanya dari besarnya listrik yang dihasilkan tapi juga dari besarnya sumbangan teknologi sipil untuk pelestarian alam Toba.
Saya mampir ke pembangkit listrik penuh makna itu Jumat pagi lalu. Saya sudah hafal cerita uniknya, tapi baru kali ini mengunjunginya. PLTA Renun bukan PLTA biasa –tergolong langka di dunia.
--
Ceritanya begini: Danau Toba ibarat mangkuk di atas meja. Yakni mangkuk besar yang cuil di bagian timurnya. Akibat cuil itu Toba tinggal berisi air setengahnya. Tumpah di bagian timurnya. Air yang tumpah itu menjadi air terjun Sigura-gura. Mengalir ke sungai Asahan.
Jepang membangun PLTA besar di Sigura-gura: 600 MW. Itu sebelum Anda lahir: tahun 1971-an. Hasil listriknya sepenuhnya untuk menghidupkan pabrik peleburan aluminium milik Jepang, di Kuala Tanjung, dekat muara Sungai Asahan. Tidak satu watt pun untuk masyarakat dekat Toba.
Waktu krisis listrik terberat di Sumut, saya ngiler melihat listrik melimpah dari PLTA Sigura-gura. Beberapa tahun setelah krisis itu peleburan aluminium milik Jepang itu menjadi 100 persen milik Indonesia –termasuk PLTA Sigura-gura.
Sejak awal Jepang memang sangat berkepentingan menjaga volume air di Danau Toba. Jepang sangat takut air Danau Toba berkurang –akibat penggundulan hutan maupun pendangkalannya. Ia takut pembangkit listrik itu kekurangan air –yang bisa mengganggu pabrik peleburan aluminiumnya.
Maka Jepang terus melakukan penelitian untuk menemukan cara terbaik menjaga volume air Danau Toba. Tugas penelitian itu dikerjakan oleh perusahaan konsultan Nippon Koi.
Ditemukanlah ini: bibir mangkuk bagian barat Toba berupa pegunungan tinggi: 1.600 meter. Bagian timur yang ''cuil'' itu di ketinggian 1.000 meter.
Di bagian barat yang tinggi itulah, di wilayah Kabupaten Dairi, hulu beberapa sungai kecil. Air sungai-sungai itu tidak mengalir ke Toba, tapi ke arah sebaliknya: ke Karo, ke Aceh Singkil, akhirnya terbuang ke laut selatan.
Sungai-sungai itulah yang dibendung. Air dari bendungan itu dipaksa mengalir ke sebuah ''sungai'' buatan. Panjang sungai buatan itu 11 Km. Sembilan atau 11 sungai kecil lainnya juga dipaksa menyatu ke sungai buatan itu.
Kontur alam Dairi membuat air sungai itu mengalir ke barat, menjauhi Toba. Sungai buatan itu dibuat menurun ke timur, mengarah ke Toba. Sungai buatan itu tidak terlihat –berupa terowongan di bawah gunung batu. Besar terowongannya bisa dimasuki truk besar.
Begitu terowongan sungai buatan itu sampai di dekat Desa Silalahi dibuatlah lubang ke bawah sedalam 100 meter: melubangi gunung batu.
Betapa sulit membuat terowongan besar sepanjang 11 km dan lubang sedalam 100 meter di gunung batu. Betapa besar biayanya.
Jumlah air yang dikumpulkan sedikit-sedikit dari 11 sungai kecil itu mencapai 10 m3/menit. Semuanya diterjunkan ke lubang setinggi 100 meter itu. Jadilah air terjun buatan. Tidak terlihat dari luar. Semua terjadi di perut gunung batu Dairi.
Air terjun itulah yang disambut oleh turbin. Dua turbin. Turbin pun berputar cepat –menggerakkan generator, menghasilkan listrik.
Kalau saja air sungai-sungai kecil itu tidak dipaksa balik arah, air itu akan masuk ke sungai Renun. Terbuang sia-sia ke Samudera Hindia.
Maka sebenarnya tujuan utama memindahkan aliran air itu bukan untuk menghasilkan listrik. Tujuan utama Jepang adalah menjaga volume air di Danau Toba.
Air 10 m3/detik itu, setelah memutar turbin ''dibuang'' ke Danau Toba. Mengisi Danau Toba.
Ide itu datang dari konsultan ternama Jepang tadi: Nippon Koi. Akhirnya konsultan ini melakukan penelitian di seluruh Indonesia. Nippon Koi-lah yang paling paham peta sumber air di seluruh Indonesia. Yang Anda tidak tahu pun Nippon Koi tahu. Yang di lokasi Anda takut ke sana pun Nippon Koi punya seluruh datanya.
Jelaslah PLTA Renun bukan PLTA biasa. Bupati Dairi yang sekarang, Vicker Sinaga, mantan salah satu direktur PLN, tahu persis soal itu. Maka ia berjuang untuk membuat Renun masuk dalam warisan UNESCO.
Dairi yang miskin ternyata telah banyak menyumbang negara kaya. Kebutuhan listrik seluruh Dairi sendiri, kini, hanya 50 MW. Renun saja menghasilkan 80 MW.
PLTA Renun sudah berumur lebih 50 tahun. Sudah perlu ulang tahun emas. Seluruh investasinya tentu sudah lama kembali.
Kalau saja ada yang kasihan melihat kemiskinan Dairi, PLTA itu pasti sudah disedekahkan ke Dairi –lalu menjadi sumber dana untuk mengurangi kemiskinan di sana –kalau mau.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Nasional | 17 jam yang lalu
Olahraga | 21 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu


