TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Mereposisi Entitas Provinsi

Oleh: Dr. Muhadam Labolo, M.Si
Kamis, 02 Februari 2023 | 18:57 WIB
Dr. Muhadam Labolo, M.Si.(Dok. Pribadi)
Dr. Muhadam Labolo, M.Si.(Dok. Pribadi)

IDE mereposisi entitas provinsi sebagai wilayah administratif semata, bukan sebagai daerah otonom oleh Cak Imin menarik untuk dipikirkan lebih jauh (CNN Indonesia, 30 Januari 2023). Isu itu tentu bukan baru sekarang. Sejak rekonstruksi kebijakan desentralisasi pasca Orde Baru, perdebatan letak, isi dan luas otonomi hangat dipertengkarkan. Setidaknya oleh tim tujuh desainer otonomi daerah, Ryaas Rasyid dkk (1998).

Kebijakan big bang desentralisasi selain Philipina dan Afrika Selatan di tahun 1999 akhirnya meletakkan titik berat otonomi pada kabupaten/kota (Rasyid & Wasistiono, 2018). Alasannya, di sanalah indera terdekat dan paling peka mendengarkan hati nurani masyarakat. Dengan reasoning itu, kabupaten/kotalah yang diharapkan paling cepat merespons masalah di tingkat pertama. Pada eksternalitas tertentu secara berjenjang menjadi urusan pemerintah.

Kecuali DKI Jakarta dengan kekhususannya, meletakkan otonomi di provinsi menciptakan dualitas otonomi yang secara teoritik tak mengakui adanya relasi hierarkis (Koswara, 1999). Hanya karena provinsi berfungsi pula sebagai daerah administrasi (dekonsentratif), suka tak suka beban koordinasi, pembinaan, dan pengawasan (korbinwas) menjadi tusi dalam relasinya dengan kabupaten/kota. Faktanya pusat tak kuasa melakukan korbinwas teknis pada 521 kabupaten/kota.

Di sini masalahnya, sebagai daerah otonom provinsi tak dapat berkreasi karena semua urusan pada dasarnya telah habis di tangan kabupaten/kota. Dampaknya, provinsi kelebihan anggaran dengan minim urusan, kecuali mengawasi lintas daerah otonom. Sebaliknya, kabupaten/kota minus anggaran dengan beban urusan mencapai lebih 70 persen (Halilul, 2023). Undang-Undang Pemda akhirnya direvisi dengan menarik sejumlah urusan ke level provinsi. Gejala resentralisasi itu terjadi sejak UU Nomor: 32 Tahun 2004 hingga meningkat di UU Nomor: 23 Tahun 2014. Diperparah pula dengan keluarnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba.

Sebagai daerah administrasi, provinsi diserahi tanggungjawab sebagai wakil pemerintah pusat di daerah (PP Nomor: 33 Tahun 2018). Dengan beban itu provinsi mengawasi pula jalannya otonomi daerah di kabupaten/kota. Sayangnya, korbinwas itu tak berjalan efektif disebabkan rendahnya political will pemerintah dalam mendelegasikan sebagian kewenangan dimaksud (Syaukani, 2022). Mungkin satu-satunya yang mendelegasikan hanya Kemendagri, itupun urusan korbinwas teknis seperti standar pelayanan minimal pada sejumlah urusan konkuren.

Keengganan departemen lain mendelegasikan sebagian urusan ke provinsi menunjukkan betapa entitas pemerintahan itu dipandang sebagai wakil Kementerian Dalam Negeri semata, bukan wakil pemerintah yang merepresentasikan seluruh departemen di daerah (integreated field administration). Indikasinya mudah diamati, mobilitas administrasi kementerian terjun bebas dari pusat ke kabupaten/kota. Provinsi dianggap angin lalu, eksistensinya antara ada, dan tiada.

Isi otonomi provinsi yang awalnya hampir sama dengan kabupaten/kota pun pada kenyataannya hanyalah tumpukan perizinan. Jika disadari lebih jauh, unsur teritorial dan penduduk di provinsi berduplikasi dengan wilayah dan penduduk di daerah kabupaten/kota. Sementara luas otonomi provinsi tak berpengaruh signifikan terhadap pelayanan masyarakat, karena pada akhirnya habis dikerjakan oleh daerah kabupaten/kota yang sehari-hari face to face dengan masyarakat.

Memisahkan entitas provinsi sebagai daerah otonom dan daerah administrasi pun bermasalah. Instrumen pelaksananya bertindihan. Mereka merangkap perangkat daerah otonom sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Eksesnya, pertanggungjawabannya pun semakin tak jelas, bercampur dan menjadi beban khusus bagi aparat pemangku dualitas pekerjaan itu. Fused model rupanya tak efektif dibanding split model yang dilaksanakan langsung oleh instansi pusat di daerah (functionale field administration).

Problem dilematis itu kini diperparah oleh high cost mekanisme demokrasi yang melambung tinggi. Bila alokasi pilkada serentak di 38 provinsi rata-rata membutuhkan Rp 500 miliar-Rp 700 miliar, setidaknya pemerintah harus menyiapkan kocek sebesar Rp 20 triliun-Rp 50 triliun. Di luar itu tentu semua paham, rata-rata paslon di provinsi menyiapkan amunisi lewat cukong sebesar Rp 25 miliar-Rp 100 miliar (Kemendagri, KPK, Mahfud, 2019). Itu belum selesai, mendudukkan wakil rakyat sebanyak 50-100 orang di DPRD provinsi juga menciptakan durasi serta biaya yang melelahkan dan terus membengkak.

Menimbang kehampaan dan dilema entitas provinsi itu, ada baiknya usul Cak Imin dipercakapkan serius dengan semua stakeholder agar reposisi provinsi diletakkan sebagai daerah administrasi belaka (dekonsentratif). Terobosan ini selain menjaga konsistensi terhadap titik berat otonomi di kabupaten/kota, juga menciptakan efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Sebagai konsekuensi perubahan status itu, gubernur setingkat kepala otorita cukup ditunjuk oleh presiden sebagai wakil pemerintah di daerah, tentu saja minus DPRD dengan birokrasi yang lebih ramping.(*)

 

*) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta

 

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo