Quarter Life Crisis Membayangi Mahasiswa: Antara Harapan dan Kebingungan Arah Hidup

PAMULANG — Di tengah rutinitas akademik yang terus berjalan, sebagian mahasiswa dihadapkan pada fase psikologis yang tak mudah: krisis seperempat abad atau quarter life crisis. Fenomena ini ditandai dengan munculnya kebingungan, kecemasan, serta tekanan batin tentang arah dan tujuan hidup, terutama menjelang atau setelah memasuki usia 20-an.
Eko Wahyu Setyobudi, mahasiswa Universitas Pamulang, menjadi salah satu dari banyak mahasiswa yang mengalami gejala ini. Meski kegiatan kuliah berjalan lancar dan nilai akademik tergolong baik, ia mengaku merasa hampa.
"Kuliah jalan, tugas selesai, nilai oke. Tapi rasanya tetap kosong. Saya mulai mempertanyakan semuanya: tujuan kuliah, arah hidup, bahkan masa depan setelah lulus," ujar Eko.
Bagi sebagian mahasiswa, masa perkuliahan semula dianggap sebagai titik awal kemudahan dalam menentukan arah hidup. Namun kenyataannya, tekanan justru bertambah ketika mulai membandingkan pencapaian diri dengan orang lain. Beberapa teman sebaya, kata Eko, telah lebih dulu melangkah—ada yang magang di perusahaan besar, merintis usaha, bahkan merencanakan pernikahan.
Fenomena ini kerap disalahpahami oleh lingkungan sekitar. Tidak sedikit yang menilai keresahan tersebut sebagai bentuk “kegalauan anak muda” yang berlebihan. Padahal, menurut Eko, perasaan itu benar adanya dan berpengaruh besar pada kondisi mental.
“Quarter life crisis itu nyata. Rasa takut gagal, tidak cukup baik, sampai terus membandingkan diri dengan orang lain sangat melelahkan,” ungkapnya.
Kondisi ini tidak serta-merta muncul karena kemalasan atau tidak memiliki ambisi. Justru, menurut Eko, munculnya terlalu banyak pilihan dan ekspektasi menjadikan arah hidup tampak semakin kabur.
Namun di balik semua kegelisahan itu, ada proses penting yang mulai dipahami: berdamai dengan diri sendiri. Ia mulai menerima bahwa tidak apa-apa merasa bingung, asalkan tetap terus melangkah.
"Setiap orang punya waktunya masing-masing. Hidup bukan perlombaan siapa yang lebih cepat sukses. Saya belajar menikmati proses sekecil apa pun, dari ikut pelatihan, belajar hal baru, sampai menulis jurnal pribadi."
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya berhenti mencari validasi eksternal. "Yang paling dibutuhkan bukan pengakuan orang lain, tapi penerimaan dari diri sendiri. Kita tidak harus sempurna untuk bisa merasa cukup," ujarnya.
Bagi mereka yang sedang mengalami fase serupa, Eko menyampaikan pesan singkat namun penuh makna: tidak sendirian, tidak harus buru-buru, dan tidak apa-apa merasa tersesat—selama tidak berhenti berjalan.
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu