TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Ancaman Sanksi Pidana

Nekat Kampanye Di Rumah Ibadah, Penjara Menanti

Laporan: AY
Senin, 27 Maret 2023 | 09:50 WIB
Lolly Suhenty Anggota Bawaslu RI. (Ist)
Lolly Suhenty Anggota Bawaslu RI. (Ist)

JAKARTA - Para peserta Pemilu 2024 tidak boleh kampanye di tempat ibadah. Masih nekat, bakal dipenjara 2 tahun atau denda 240 juta rupiah.

Demikian ditegaskan ang­gota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Lolly Suhenty. Dia mengatakan, pihaknya terus melakukan upaya pencegahan agar peserta pemilu tidak kam­panye di tempat ibadah.

“Sanksi yang berkenaan den­gan Pasal 280 itu sifatnya pidana, dalam konteks ini kita harus hati-hati,” ujarnya, kemarin.

Sebagai informasi, Pasal 280 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur hal-hal yang dilarang dalam kampanye. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, ter­masuk dalam ranah tindak pidana pemilu dan sanksinya penjara.

Larangan tersebut yaitu, menghina agama, suku, ras golongan calon atau peserta pe­milu. Kemudian menghasut dan mengadu domba masyarakat.

Lalu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Hingga menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

"Ini yang sedang kami laku­kan saat ini, memastikan selu­ruh teman-teman parpol yang memang sudah punya nomor itu tidak lakukan yang sebagaimana dilarang” jelas Lolly.

Berdasarkan Pasal 521 UU Nomor Tahun 2017, peserta pemilu yang melanggar larangan kampanye sebagaimana diatur Pasal 280, akan dipidana 2 tahun penjara/bui dan denda Rp 24 juta.

“Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.OOO.OOO,0O (dua puluh empat juta rupiah),” bunyi Pasal 521.

Lolly mengungkapkan, dalam lampiran penjelasan Pasal 280 huruf (h) UU Pemilu, peserta Pemilu 2024 boleh memakai tempat ibadah. Namun dengan catatan, diundang oleh pihak penanggung jawab tempat iba­dah dan tidak memakai atribut kampanye pemilu.

“Jika peserta pemilu hadir di tempat ibadah dengan catatan ti­dak membawa atribut kampanye. Catatan kedua diundang. Jadi peserta kampanye hadir di tempat ibadah jika diundang,” kata Lolly.

Dia mengatakan, peserta pe­milu juga boleh hadir ke tempat ibadah jika ada peserta lain yang diundang.

“Diundangnya ke tempat ibadah tidak boleh hanya salah satu peserta pemilu saja,” tambah Lolly.

Lebih lanjut, Bawaslu men­dukung langkah Kementerian Agama (Kemenag) yang me­nyatakan masjid tidak boleh menjadi tempat ajang kampa­nye. Bahkan, di Bawaslu pun, kata Lolly, semangat larangan kampanye di tempat ibadah ti­dak didefinisikan hanya masjid, namun juga mushola, surau, klenteng, pura, dan gereja.

“Di halaman tempat ibadah juga tidak boleh, pagarnya juga tidak boleh karena itu masih dalam ruang lingkup tempat ibadah,” tegas Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas ini.

Lolly menilai masjid meru­pakan tempat tumbuh-kembang peradaban Islam serta tempat untuk melakukan pendidikan. Dia pun meyakini masjid akan menjadi garda terdepan untuk menjaga kerukunan umat, ter­masuk dalam konteks pemilu.

“Kita semua harus memasti­kan Pemilu 2024 berjalan dengan baik, lancar, dan tentu penuh keadaban. Masjid pun bisa jadi pelopor bagaimana moderasi be­ragama kuat mengawal Pemilu 2024,” harap Lolly.

Pengurus Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indone­sia (KWI), Emmanuel Josafat Tular menjelaskan, kampanye di tempat ibadah melanggar prinsip kesucian tempat ibadah. Kata dia, paktik-praktik yang mencederai kesucian tempat ibadah harus dicegah.

"Termasuk kampanye,” kata Emmanuel Josafat Tular.

Menurut Emmanuel, tempat ibadah dapat digunakan untuk membangun pendidikan politik umat. Termasuk juga aktivitas seperti membangun kesadaran berpartisipasi dalam pemilu dan mencegah terjadinya politik identitas dan politik SARA.

“Tapi politik praktis dengan tujuan elektoral atau dukung-mendukung, sebaiknya tidak dilakukan di tempat ibadah,” ujarnya.

Sekretaris Umum Perseku­tuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Jacky Manuputty me­nambahkan, pihaknya telah melarang penggunaan tempat ibadah untuk kampanye. Dia khawatir, dukungan jemaah dan pendeta ke salah satu calon akan berimplikasi pada perpecahan. Terlebih jika ada lebih dari dua jemaah gereja yang menjadi peserta pemilu.

"Berangkat dari hal ini, PGI akan mengeluarkan panduan liter­asi dan edukasi politik menjelang Pemilu 2024,” katanya.

Dia mengatakan, PGI akan bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti Bawaslu dan lembaga lintas agama, dalam penyusunan literasi dan edukasi politik menjelang Pemilu 2024. Dalam panduan itu juga, kata dia, akan dilampirkan modul pelatihan kampanye positif, da­mai, dan hal lain terkait pemilu.

"PGI secara kelembagaan akan memberikan rambu-rambu (berpolitik) yang jelas bagi umatnya,” kata Jacky.

Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Budi S Tanuwibowo sependapat, fungsi tempat ibadah tidak dapat dicampuradukkan dengan fungsi lain. Termasuk kepentingan politik individu. Kata dia, ketika hal ini terjadi, niscaya akan menimbul­kan masalah.

"Satu ajaran penting di Khonghucu yaitu kita harus membenarkan nama masing-ma­sing dan tidak boleh keluar dari definisinya. Misalnya agama sebagai agama, jangan dicampur aduk,” tuturnya. rm.id

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo