TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Sekolah Bukan Perusahaan

Oleh: Rezza Alviansyah
Minggu, 16 April 2023 | 07:23 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SEBAGIAN besar manusia sepakat bahwa sekolah memiliki peranan penting dalam menyongsong kesuksesan seseorang. Sebegitu pentingnya sekolah sampai-sampai banyak orang tua yang rela menjual harta bendanya serta menutupi rasa malu dirinya agar anak-anaknya dapat bersekolah dengan harapan agar anak tersebut sukses dan memiliki masa depan yang cerah.

Kita seolah menutup mata atas fakta di lapangan bahwa sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang dapat melahirkan manusia-manusia berintegritas ternyata terjerat oleh beragam kepentingan pribadi dan kelompok yang telah membelenggunya. Sekolah seolah telah berganti wajah menjadi korporasi sebab orientasinya hanya uang, uang, dan uang.

Adalah Roem Topatimasang, sosok yang mengkritik habis-habisan lembaga pendidikan sekolah yang dianggap sudah mapan. Ia bahkan sampai menulis satu buku khusus yang membahas tentang sekolah. Gaya penulisannya yang mudah dipahami oleh semua kalangan serta sarat akan nilai-nilai humanistik menjadikan sosok Roem dianggap sebagai Pramoedya dalam bentuk lain. Keresahan Roem tersebut juga dialami oleh banyak kalangan lainnya, termasuk saya.

Sekolah yang Sebenarnya

Sederhananya, sekolah diadopsi dari istilah latin schola yang bermakna waktu luang. Waktu luang tersebut dimanfaatkan oleh para orang tua zaman Yunani dulu untuk bertanya pada orang-orang yang dianggap memiliki komptensi. Tradisi tersebut berlanjut secara turun-termurun dan karena kesibukan para orang tua dulu, mereka akhirnya menyerahkan putra-putrinya pada orang-orang tertentu dengan harapan agar dapat menjadi penerus dirinya.

Sebagian fungsi sekolah telah berganti, yang semula scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti orang tua). Itulah mengapa lembaga pengasuhan ini biasa juga disebut “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan pengetahuan” (almamater) (Roem, 2013).

Seiring berjalannya waktu, upaya-upaya pelembagaan sekolah secara sistematis dan metodis pun dilakukan. Adalah Johanes Amos Comenius, Uskup Agung Moravia yang melakukan pekerjaan tersebut melalui karyanya et origo (teori pengajaran) lewat kitab Didactica Magna (Roem, 2013). Wajah sekolah pun berganti, setelah diteorisasi, dan dilembagakan secara formal.

Pelembagaan sekolah telah mengaburkan makna pendidikan yang sebenarnya. Roem (2013) menulis  bahwa sekolah yang semula berarti “pengisian waktu luang”, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu sistem kelembagaan pendidikan yang -kadangkala dan celakanya sekaligus- diartikan sebagai wujud hakikat pendidikan itu sendiri. 

Roem berusaha untuk memisahkan sekolah dengan pendidikan. Baginya sekolah hanya tinggal nama, atau istilah pada wujud fisiknya saja. Sekolah telah kehilangan identitasnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu yang sakral dan mesti dikeramatkan (Roem, 2013). Selama sekolah kehilangan identitasnya, sejak saat itu segala sandangan kehormatan yang melekat padanya harus ditarik kembali.

Sekolah Milik Bersama

Kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi memudahkan kita untuk menyerap banyak informasi. Kita menjadi semakin tau tentang potret pendidikan di Indonesia hari ini. Terdapat banyak kasus, di mana seorang pelajar terhambat proses pendidikannya karena masalah administrasi yang belum diselesaikannya.

Administrasi seolah menjadi pintu gerbang yang harus dilalui oleh masyarakat yang ingin merasakan bangku sekolah. Proses administrasi yang sulit, serta birokrasi sekolah yang berbelit menjadi permasalahan paling serius yang sampai sekarang belum juga terselesaikan. 
Melalui dialog sederhana antara guru, staff sekolahan dan Kepala Sekolah, Roem menggambarkan wajah sekolah yang telah berganti menjadi layaknya perusahaan.

“Ngurus sekolah sama dengan ngurus perusahaan. Perusahaan besar malah. Coba saja lihat sekolah kita ini. Tiap hari kita ngurusin ratusan murid dan puluhan karyawan. Malah sebenarnya kita jauh lebih sulit. Apalagi sekolah swasta seperti kita ini yang segalanya tergantung pada perhitungan yang benar-benar terinci dan tepat. Itu kalau kita memang mau bertahan hidup!,” ujar Kepala Sekolah. 

Lebih lanjut, Kepala Sekolah tersebut menjelaskan bahwa “Sekolah ngurus segala macam seperti mereka, dari yang namanya administrasi, manajemen, proyeksi-proyeksi, rencana induk pengembangan, anggaran belanja, efisiensi, moral kerja, kredibilitas, promosi, relasi, bahkan juga tiap tahun harus pandai-pandai menghitung kecenderungan arus penawaran dan permintaan. Pokoknya, semuanya lah! Kalau tidak pakai prinsip manajemen modern dan paham apa itu misalnya prinsip economic of scale, apa kita juga nggak bubar, bangkrut!?” (Roem, 2013). Demikian penggalan dialog tersebut.

Roem seolah menuntun kita untuk melihat sekolah dari perspektif yang berbeda. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang terlanjur dianggap sebagai sarana terbaik bagi pewarisan nilai-nilai akhirnya hanya menjadi sekadar alat untuk mendulang profit. Komersialisasi pendidikan yang melampaui batas adalah wujud nyata bahwa masyarakat kita masih belum paham sepenuhnya tentang hakikat pendidikan yang sebenarnya.

Sekolah seharusnya menjadi rahim yang melahirkan insan-insan berkualitas. Oleh karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan pendidikan yang tepat sasaran dan memudahkan akses setiap warga negara yang ingin mengeyam pendidikan di bangku sekolah. Sebab kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi (Baro’ah, 2020).

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo