TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Tantangan Global Umat Masa Depan (10)

Milenial: ``Agama Adalah Nuklir`` (2)

Oleh: Prof DR KH Nasaruddin Umar
Selasa, 07 Juni 2022 | 12:13 WIB
Prof DR KH Nasaruddin Umar
Prof DR KH Nasaruddin Umar

JAKARTA - Jika agama tidak dibina secara proporsional dan profes­sional maka tidak mustahil agama akan tampil sebagai faktor sentrifugal, kekuatan pemecah-belah yang amat dahsyat.

Potensi dahsyat agama sebagai faktor sentrifugal melampaui ikatan-ikatan primordial seperti etnik, kesu­kuan, dan kekerabatan.

Konflik antar etnik dan kesukuan dengan mudah bisa diatasi. Akan tetapi jika yang terjadi konflik agama atau berdasarkan keyakinan, akibatnya bisa sangat dahsyat.

Sejarah membuktikan konflik yang betul-betul sampai kepada “tetes darah yang terakhir” ialah konflik agama.

Ini disebabkan karena ada pepatah yang menggambarkan: ’Isy kariman au mut syahidan” (Hidup mulia atau mati syahid).

Jika simbol jihad dan syahid sudah berbicara, maka kehidupan dan kematian menjadi tidak lagi bernilai.

Bangsa Indonesia menghimpun semua agama besar dunia, seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dll.

Agama-agama tersebut masing-masing mempunyai pemeluk setia dan fanatik.

Jika keyakinan tersinggung apalagi tersenggol, maka tidak ada lagi istilah minoritas atau mayoritas.

Bagi penganut agama yang setia, menganggap hidup ini untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Jika Tuhan atau apa yang diyakini sebagai kekuatan spiritual dihina atau dinista, maka kebangkitan jihad akan berbicara.

Banyak contoh dalam lintasan sejarah Indonesia, gesekan kecil yang sesungguhnya bukan konflik agama bisa tiba-tiba membesar jika menggunakan “baju agama”.

Karena itu, jika terjadi konflik atau pertengkaran dua kubu yang berbeda agama hendaknya jangan langsung diartikan sebagai konflik antar umat beragama tanpa di­lakukan tabayyun atau klarifikasi kebenaran isu itu.

Kasus yang masih segar di dalam ingatan kita yang pernah terjadi di Ambon dan Poso, yang menelan banyak korban, sesungguhnya bukan berawal dari konflik agama, tetapi lebih kepada persoalan kriminal biasa.

Hanya para pihak yang berkonflik kebetulan berbeda agama, lalu eskalasi kasusnya menjadi besar karena diprovokasi se­bagai konflik agama.

Kejadian seperti ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga beberapa kasus besar terjadi di luar negeri, awalnya konflik pribadi atau etnik lalu begitu cepat membesar karena berubah isu menjadi konflik agama.

Karena itu, kita harus hati-hati menyelesaikan satu kasus yang bersinggungan dengan agama, karena akibatnya bisa betul-betul fatal dan berkepanjangan.

Untuk memelihara agama selalu menampikan faktor sen­tripetalnya, maka semua pihak, termasuk pihak keamanan, diimbau untuk tidak begitu gampang terpancing manakala berhadapan dengan kasus-kasus etnik yang berbau agama.

Jika hal itu muncul, maka sebaiknya segera melibatkan Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB) yang sudah terbentuk dari tingkat pusat sampai ke daerah tingkat II (Kabupaten dan Kota).

FKUB ini sudah menunjuk­kan bukti-bukti keberhasilan dalam menyelesaikan atau meredam konflik yang bernuansa agama.

Garis komando umat beragama pada setiap agama sebaiknya harus jelas agar jika muncul masalah maka kelompok FKUB yang beranggotakan tokoh-tokoh agama ideal di setiap daerah.

Hanya saja, persoalan FKUB yang sedemikian strategis ini status kepemimpinannya belum jelas, khususnya belum ketahuan siapa yang bertanggung jawab untuk mengelu­arkan pendanaan, mulai dari pembangunan kantor sampai dana operasionalnya.

Apakah melalui Pemda, baik tingkat 1 atau di tingkat 2, karena keberadaan FKUB memang di daerah.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Agama sudah banyak membantu tetapi masih jauh dari cukup untuk sebuah lembaga yang seharusnya ideal untuk perawatan NKRI.

Upaya untuk mengeliminir aspek sentrifugal agama bagi bangsa Indonesia sudah punya banyak perbendaharaan pengalaman yang sangat teruji.

Kehadiran Pancasila seba­gai falsafah hidup di dalam berbangsa adalah merupakan rahmat Tuhan yang sangat mahal nilainya.

Meskipun kita sebagai negara yang mendiami ribuan pulau, etnik, dan ratusan bahasa, serta puluhan agama dan kepercayaan, dengan wilayah yang amat luas, serta jumlah penduduk yang sangat padat, tetapi bangsa ini tetap tangguh karena kesadaran berbangsa dan bertanah airnya yang amat tinggi.

Sudah seharusnya kita semua memupuk sendi-sendi kekua­tan bangsa ini guna melanggengkan bangsa dan negara tercinta ini. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo