TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Menangkap Kembali Esensi Moderasi Beragama

Oleh: Baiturrahman
Minggu, 24 Maret 2024 | 08:03 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Terus terang, saya mulai mempertanyakan kembali konsep Moderasi Beragama yang dicanangkan pemerintah beberapa tahun lalu. Beberapa pertanyaan yang muncul; apakah moderasi beragama sama artinya dengan menggunakan legitimasi untuk mengatakan “saya benar dan kamu salah, saya moderat dan kamu bukan?” Apakah Moderasi Beragama juga artinya kita berhak membubarkan jamaah atau pengajian yang kita anggap tidak moderat?

Pada tahun 2019, pemerintah melalui Kementerian Agama memunculkan gagasan Moderasi Beragama sebagai jalan tengah keberagamaan di tengah masifnya pemikiran dan sikap keberagamaan yang eksklusif di masyarakat. Jika mengacu pada buku Moderasi Beragama Kemenag, ada dua prinsip yang dipegang; pertama, adil, yaitu menjaga keseimbangan antara dua hal, misalnya, akal dan wahyu, jasmani dan rohani, teks agama dan ijtihad tokoh agama; kedua, keseimbangan sebagai sikap, cara pandang, komitmen untuk berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan persamaan.

Menurut Kemenag, sikap adil dan berimbang, akan lebih mudah diimplementasikan jika seseorang memiliki tiga karakter utama; kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity), keberanian (courage). Kata moderasi sendiri dalam KBBI artinya “penghindaran keekstreman”. Dengan kata lain, Moderasi Beragama artinya menghindari sikap ekstrem dalam beragama, baik ke kanan maupun ke kiri, atau tidak konservatif dan juga tidak liberal (Kemanag: 2019).

Dalam Islam, sikap moderat dalam beragama itu merujuk pada beberapa ayat yang menekankan pentingnya cara pandang beragama yang “tengah”. Misalnya, salah satu ayat yang selalu menjadi landasan adalah al-Baqarah ayat 143 yang artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Problem Moderasi

Namun demikian, tak berarti program Moderasi Beragama ini sesuai harapan pemerintah. Terutama, ketika program ini diimplementasikan di lapangan. Ada semacam polarisasi baru yang muncul di permukaan untuk membedakan mereka yang “moderat dan tidak moderat” atau “radikal, liberal, dan moderat”. Tentu saja, polarisasi ini memarginalkan mereka yang dianggap sebagai kelompok radikal dan liberal. Sehingga melahirkan stereotip bahwa orang moderat dianggap sebagai muslim yang baik (good muslim). Sedangkan mereka yang punya pemikiran radikal ataupun liberal dianggap sebagai muslim yang buruk (bad muslim).

Polarisasi ini mengakibatkan segala aktivitas baik dalam bentuk seminar, pengajian ataupun kuliah yang terindikasi pemerintah memiliki kecenderungan radikal ataupun liberal, kerap mendapatkan resistensi oleh suara mayoritas. Pembubaran Jamaah pengajian oleh sebagian kelompok yang merasa merepresentasikan kelompok moderat misalnya, adalah fenomena yang sering terjadi di masyarakat kita hari ini (terakhir pembubaran pengajian Ustad Syafiq Riza Basalamah). Padahal jelas, Moderasi Beragama adalah sikap beragama yang seimbang antara pengalaman agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (Kemenag: 2019). Sikap represi ini, tentu saja jauh dari kesan toleran dan moderat sesuai yang diharapkan; adil dan berkemanusiaan. Apalagi dengan menggunakan kekerasan.

Sejumlah akademisi Universitas Gajah Mada (UGM) sebetulnya sudah mengkhawatirkan akan terjadinya semacam “ideologisasi” ataupun “sekuritisasi agama” di ruang publik. Donald Qomaidiansyah, salah satu kontributornya, misalnya, menemukan titik tegang antara Moderasi Beragama dan Kebebasan Beragama yang sudah lebih dulu hadir sebagai kebijakan pemerintah Indonesia (UUD 1945 Pasal 29). Ketegangan tersebut terletak pada Forum Internum dalam DUHAM Pasal 18 yang tidak bisa diganggu. Sebab, dalam pasal tersebut, kebebasan beragama, aliran politik, keyakinan, gender, merupakan bagian dari hak yang harus dijamin sepenuhnya. Sedangkan Moderasi Beragama menuntut seseorang untuk beragama. Sehingga, menutup kemungkinan ruang bagi mereka yang tidak beragama ataupun yang memiliki kepercayaan lokal yang tidak diakui oleh negara.  Meskipun perlu diakui ada titik temu di antara kedua konsep tersebut.

Moderasi Beragama juga nampaknya tak banyak memberikan pengaruh signifikan terhadap Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (KBB), terutama pada masalah pendirian rumah ibadah. Tahun 2023, YLBHI mencatat masih sulitnya sebagian kelompok masyarakat mendirikan rumah ibadah. Misalnya, penolakan pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kabupaten Malang, Jawa Timur (Maret 2023); penutupan tempat ibadat Gereja Kristen Protestan Simalugan (GKPS) di Purwakarta, Jawa Barat (April 2023); penutupan (sementara) Gereja Kristen Jawa di Banjarsari, Solo, Jawa  Tengah (Juni 2023); penolakan pembangunan vihara di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat (Agustus 2023); dan penolakan pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kabupaten Bireun, Aceh Darussalam (September 2023).

Hal tersebut membuktikan bahwa masih ada di antara kita yang merasa paling toleran tetapi masih dalam levelitas yang dangkal. Merasa paling toleran, tapi masih enggan menjawab “boleh” jika ada rumah ibadah agama lain berdampingan dengan rumahnya.

Munculnya polarisasi baru ini seharusnya perlu disikapi dengan bijak sebagai bagian dari perbedaan pandangan dalam cara beragama masing-masing. Hal tersebut berkaitan erat dengan dalil-dalil yang kerap diambil sebagai rujukan, baik dalam beribadah maupun dalam bermuamalah. Sama halnya dengan cara para ulama-ulama kita terdahulu menentukan suatu hukum. Para empat Imam Mazhab kita (Imam Syafii, Hambali, Abu Hanifah, Maliki) misalnya, nyaris punya perbedaan pandangan dan pendekatan masing-masing dalam setiap perkara hukum Islam. Karena itu, cara-cara pemaksaan, persekusi dan kekerasan antar jamaah seharusnya tidak diperlukan, sebab preferensi setiap jamaah pun berbeda-beda tempat dan kondisinya.

Lalu, di mana posisi negara? Posisi negara tentu saja menjamin dan memfasilitasi hak-hak setiap warga negara untuk mengekspresikan kelompok, etnis, aliran politik, pemikiran, dan agama masing-masing sebagaimana diamanahkan UUD. Dalam konteks ini, fungsi negara adalah memberikan ruang berekspresi untuk terciptanya demokrasi yang berkeadilan dan bermartabat. Kalaupun misalnya terjadi gesekan antar kelompok, seharusnya dapat diselesaikan dengan cara-cara kewarganegaraan dan saling menjaga martabat masing-masing.

Strategi Kebudayaan

Selama ini, yang terlihat di lapangan, Moderasi Beragama seolah dijadikan alat untuk melegitimasi kelompok tertentu dan memaksa kelompok lainnya untuk menjadi moderat. Padahal, jika kita melihat embrio gagasan ini sebetulnya lahir sebagai strategi kebudayaan. Lukman Hakim Saifuddin, yang saat itu menjadi Menteri Agama mengatakan bahwa Moderasi Beragama merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi kebudayaan untuk memajukan sumber daya manusia Indonesia.

Oleh karena itu, evaluasi dan peninjauan secara kritis terhadap kebijakan ini sangat penting untuk masa depan depan keberagamaan kita di Tanah Air. Sebagai strategi kebudayaan, program Moderasi Beragama seharusnya ditempatkan kembali sebagai penguatan dasar paham keagamaan, bukan malah menjadi alat politik untuk membubarkan jamaah ataupun pengajian. Penguatan dasar keagamaan itu dilakukan dengan peningkatan literasi keagamaan yang mengakar, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan khususnya lembaga pendidikan, sehingga manciptakan sinergisitas yang membangun, mencerdaskan sekaligus mencerahkan, serta memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Komentar:
Berita Lainnya
Ilustrasi
Sarjana Joki, Profesor Joki
Sabtu, 27 April 2024
Foto : Ist
Kerja Keras Jaga Ekonomi Rakyat
Sabtu, 27 April 2024
Dahlan Iskan
Jaga Hati
Kamis, 25 April 2024
Dahlan Iskan
Politik Hati
Rabu, 24 April 2024
Dahlan Iskan
Ngantuk Terkulai
Selasa, 23 April 2024
Dahlan Iskan
Emas Bodoh
Senin, 22 April 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo