TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Rachmat Gobel: Ekonomi Boleh Aman, Tapi Ketahanan Pangan Jangan Dilupakan

Laporan: AY
Selasa, 19 Juli 2022 | 09:15 WIB
Rachmat Gobel Wakil Ketua DPR RI. Foto : Istimewa
Rachmat Gobel Wakil Ketua DPR RI. Foto : Istimewa

JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mendukung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tentang ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi global, akibat pandemi Covid19 dan konflik Rusia-Ukraina.

“Tapi dalam jangka menengah dan panjang, kita harus waspada terhadap masalah pangan kita. Juga efisiensi anggaran, serta efektivitas dan penguatan koordinasi antar lembaga dan kementerian,” kata Gobel, Senin (18/7).

Pada pekan lalu, Menkeu memberikan keterangan tentang kondisi ekonomi Indonesia, dengan fakta-fakta yang optimistik. Hal itu menjawab kegelisahan publik akibat krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik di Sri Lanka.

Pemberitaan sebelumnya juga menunjukkan adanya negara-negara yang berpotensi terkena resesi.

Pandemi Covid-19 yang disusul konflik Rusia-Ukraina serta iklim kemarau basah, juga mengakibatkan melejitnya harga-harga pangan dan energi. Bahkan, harga sayuran pun ikut melejit.

“Secara fiskal, Indonesia cukup aman karena tertolong oleh berkah naiknya harga batubara dan harga CPO. Hal ini mengkompensasi kenaikan harga BBM," jelas Gobel.

"Secara moneter, Indonesia juga cukup aman karena inflasi masih cukup terkendali. Hal-hal inilah yang membedakan Indonesia dari negara-negara lain, apalagi Sri Lanka,” imbuhnya.

Hal itu juga menunjukkan keberhasilan kinerja pemerintahan Presiden Jokowi. Serta sinergi yang baik antara pemerintah dengan parlemen.

Namun, Gobel mengingatkan, saat ini masyarakat tetap terbebani oleh kenaikan harga BBM dan harga komoditas pangan.

“Dalam situasi ini, kita juga bersyukur, ketersediaan beras dan harga beras masih tercukupi oleh petani kita. Harganya pun masih terkendali. Inilah yang menjadi pengaman sesungguhnya,” imbuhnya.

Tapi faktanya, harga cabe, tomat, sayur-mayur, daging, telur, minyak goreng, dan susu sudah melejit. Karena panen yang terganggu oleh kemarau yang basah, serta karena kondisi global.

"Climate change ini akan terus mengganggu di masa depan. Jadi, perlu inovasi dalam bercocok tanam serta gotong-royong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daging, telur, cabe, tomat, dan sayur-sayuran lainnya,” papar Gobel.

Tentang pangan ini, Gobel mengajak pemerintah dan seluruh masyarakat untuk menguatkan sejumlah komoditi, yang masih bisa dipenuhi dari dalam negeri jika diupayakan secara sungguh-sungguh. Misalnya daging, susu, dan kacang kedelai.

"Untuk kacang kedelai, Indonesia pernah mandiri di masa lalu. Namun, karena salah kebijakan dan tidak adanya perlindungan, Indonesia kini tergantung pada impor," jelas Gobel.

Data 2021 menyebutkan, produksi dalam negeri kedelai hanya 213.548 ton. Sedangkan impornya, mencapai 2.489.690 ton. Jadi, 95 persen impor.

"Padahal, pada 2016, petani kita masih mampu menyediakan 1.391.300 ton. Tapi kemudian, menurun terus,” cetus Gobel.Kondisi ketergantungan terhadap impor juga terjadi pada daging dan susu/mentega/telur.

“Pada 2017 impor susu, mentega, dan telur mencapai 990 juta dollar AS. Tapi pada 2021, naik menjadi 1,394 miliar dolar AS. Sedangkan impor daging pada 2017, ada di angka 590 juta dolar AS. Namun pada 2021, menjadi 965 juta dolar AS,” beber Gobel.

Untuk produk-produk pangan ini, sebetulnya Indonesia masih bisa mengusahakan untuk memenuhinya dari dalam negeri.

“Yang dibutuhkan adalah kesungguhan, perlindungan, dan koordinasi. Jadi bebannya  bukan hanya ke Kementerian Pertanian saja, tapi juga melibatkan kementerian dan lembaga lain,” terang Gobel.

Menurutnya, kondisi terparah ada pada impor gandum. Pada 2017, nilainya 2,927 miliar dolar AS. Namun pada 2021, sudah melonjak ke 4,074 miliar dolar AS.

Khusus untuk gandum, Gobel mengatakan, tanah Indonesia memang tidak cocok untuk tanaman gandum.

Namun, kita tetap harus melakukan diversifikasi. Kita punya tepung sagu, tepung singkong, tepung jagung, tepung talas, dan lain-lain.

"Jadi, yang diperlukan adalah gerakan nasional mengurangi ketergantungan pangan yang berbahan gandum,” tutur Gobel.

Sebagai contoh, di Kabupaten Meranti, Riau, ada mi dari bahan sagu.

“Rasanya enak. Jadi, saatnya kita beralih seperti Vietnam, yang membuat mi dari beras. Serta Jepang, yang membuat mi dari soba,” ujar Gobel.

Demikian juga untuk kue-kue. Sudah saatnya mengandalkan tepung yang berbahan lokal. Hal seperti ini, menurutnya, harus menjadi gerakan nasional.

 “Saya sangat peduli soal pangan. Karena pangan itu soal ketahanan nasional. Banyak pemerintahan jatuh dan suatu negara roboh, karena tak mampu menyediakan pangan untuk rakyatnya. Kini kita merasakannya setelah ada gejolak politik global," terang Gobel.

Dia bilang, Indonesia beruntung, karena bisa menjaga beras. Meski sempat akan diganggu oleh petualang yang ingin cari duit cepat, dengan rencana impor satu juta ton beras.

"Alhamdulillah, pemerintah dan parlemen berhasil menggagalkannya. Terbukti, kita tak butuh impor. Jika itu terjadi, maka petani akan kapok menanam padi. Seperti petani kapok menanam kedelai. Karena tak ada perlindungan dari negara,” tandasnya.

Gobel mengapresiasi APBN Indonesia, yang terus meningkat dengan pesat. Sehingga  kemampuan fiskal kita sangat kuat. Karena kita membutuhkan efisiensi, agar dana itu termanfaatkan secara optimal.

Di sisi lain, pemerintah juga harus menguatkan koordinasi antar kementerian dan lembaga. Sehingga, suatu program tidak dibebankan ke satu kementerian atau lembaga saja.

“Di sini butuh figur-figur pemimpin yang kuat. Jangan semua menggantung pada Presiden. Kita sangat beruntung memiliki Pak Jokowi yang memiliki kepemimpinan yang kuat. Tapi,  para pembantunya harus bisa menjadi penopang yang baik,” pungkasnya. (HES/AY/rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo