TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Harga BBM Non Subsidi Naik

Aturan Konsumsi Bensin Subsidi Kudu Diperketat

Oleh: Farhan
Senin, 16 Oktober 2023 | 11:25 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi yang dilakukan PT Pertamina (Persero) per 1 Oktober lalu, perlu diimbangi dengan mekanisme pembatasan konsumsi BBM subsidi hanya untuk yang berhak.

Pasalnya, selisih harga yang cukup besar, dikhawatirkan membuat masyarakat mampu malah beralih mengkonsumsi BBM subsidi.

Hal ini disampaikan Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Ra­dhi. Menurutnya, kenaikan harga BBM non subsidi memang men­jadi keniscayaan bagi Pertamina. Pasalnya, penetapan harga BBM nonsubsidi ditentukan berdasar­kan mekanisme pasar.

“Variabel utama penetapan harga BBM non-subsidi, adalah harga minyak dunia yang saat ini membumbung tinggi hingga mencapai 95,31 dolar Amerika Serikat (AS), setara Rp 1,5 juta per barrel,” ujar Fahmy kepa­da Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group) kemarin.

Kendati harga minyak dunia mendekati 100 dolar AS per bar­rel, kata dia, Pemerintah bersiku­kuh tidak menaikkan harga BBM subsidi, Pertalite dan Solar.

Selain itu, kenaikan harga BBM non-subsidi tersebut juga tidak secara signifikan memicu kenaikan inflasi, yang menu­runkan daya beli masyarakat.

Baca juga : Survei Herbalife: 77 Persen Konsumen Asia Pasifik Sadar Kesehatan

“Alasannya, proporsi kon­sumen BBM non-subsidi relatif kecil. Hanya sekitar 11,5 persen dari total pengguna BBM, yang umumnya konsumen kelas me­nengah ke atas,” katanya.

Hanya saja, imbuh Fahmy, kenaikan harga tersebut mem­perbesar disparitas harga BBM non-subsidi dengan harga BBM subsidi.

Menurut dia, disparitas harga itu akan memicu gelombang migrasi kosumen Pertamax ke Pertalite.

Alhasil, migrasi tersebut ber­potensi menjebolkan kuota Per­talite, yang akan memperberat beban APBN (Anggaran Penda­patan dan Belanja Negara) dalam pemberian subsidi BBM.

Fahmy mengusulkan, untuk mencegah migrasi dari Pertamax ke Pertalite, Pemerintah bisa me­naikkan harga Pertalite untuk mem­perkecil disparitas antara harga Pertamax dengan harga Pertalite.

“Dengan disparitas harga yang tidak terlalu menganga, kosumen Pertamax akan ber­pikir ulang untuk migrasi ke Pertalite,” katanya.

Namun, dia mengakui bakal ada risiko lain yang menanti. Yaitu ke­naikan inflasi, yang akhirnya menu­runkan daya beli masyarakat.

Dengan risiko tersebut, menu­rutnya, Presiden Jokowi diper­kirakan tidak akan pernah me­naikkan harga BBM Subsidi di tahun politik.

“Alternatifnya, Pemerintah harus melakukkan pembatasan penggunaan BBM subsidi, dengan mekanisme yang bisa diterapkan,” imbaunya.

Fahmy mengatakan, meka­nisme pembatasan itu dapat dilakukan dengan menetapkan Peraturan Presiden (Perpres). Bahwa, konsumen BBM Subsidi adalah kosumen pemilik sepeda motor dan kendaraan angkutan penumpang dan barang.

Sebagai gambaran, dilan­sir dari website Mypertamina.id, per Rabu (11/10), harga BBM Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) untuk Pertamax Turbo Rp 16.600, Pertamax seharga Rp 14.000 dan Dexlite Rp 17.200.

Kemudian, harga Perta­max Green 95 menjadi Rp 16.000 per liter dari sebelumnya Rp 15.000 per liter.

Begitu juga, Pertamax 92 naik dari Rp 13.300 per liter menjadi Rp 14.000 per liter. Serta harga Pertamax Dex kini Rp 17.900 dari sebelumnya Rp 16.900 per liter.

Terpisah, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menjelaskan, penyesuaian harga BBM Pertamina mengacu pada rata-rata MOPS (Means of Platts Singapore) pada periode 25 Agustus 2023 hingga 24 September 2023.

Selain itu, penyesuaian berkala dan penetapan harga BBM non­subsidi ini juga mengacu pada regulasi Pemerintah. Yakni Kepu­tusan Menteri ESDM Nomor 245.K/MG.01/MEM.M/2022, tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Jenis BBM dan Minyak Solar.

Irto memastikan, harga produk Pertamina masih termasuk kom­petitif bila dibandingkan perusa­haan lain untuk produk dengan kualitas setara.

“Penyesuaian harga ini juga telah memenuhi ketentuan batas atas pada periode Oktober 2023, yang ditetapkan untuk setiap jenis BBM,” jelas Irto, kepada Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group), kemarin.

Irto mencontohkan, BBM jenis gasoil Dexlite (CN 51) mengalami penyesuaian naik harga menjadi Rp 17.200 dan Pertamina Dex (CN 53) disesuaikan menjadi Rp 17.900.

Begitu juga untuk harga BBM jenis gasoline mengalami penye­suaian, yaitu Rp 16.600 untuk Pertamax Turbo (RON 98), Rp 16.000 untuk Pertamax Green E5 (RON 95) dan Rp 14.000 untuk Pertamax (RON 92).

Menurutnya, harga BBM baru ini berlaku untuk provinsi dengan besaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen, seperti di wilayah DKI Jakarta.

Di tengah memanasnya konflik perang antara Palestina dan Israel, juga turut membuat harga minyak dunia sempat naik.

Meski demikian, dia menegaskan tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi untuk Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite dan Jenis BBM Tertentu (JBT) Biosolar.

“Kalau BBM subsidi, kewenangannya dari regulator,” te­gasnya.

Adapun, harga BBM Penu­gasan (JBKP) Pertalite tetap di angka Rp 10.000 per liter dan BBM Subsidi (JBT) Solar tetap Rp 6.800 per liter, sesuai yang ditetapkan Pemerintah.

Sebelumnya, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Erika Retno­wati mengatakan, kenaikan harga minyak mentah dunia berdampak pada kenaikan harga BBM non subsidi akhir-akhir ini.

Sejauh ini, Pemerintah juga belum menetapkan aturan mengenai pembatasan BBM jenis Pertalite. Karenanya, Pemerintah akan membahas kembali revisi Peraturan Presiden (Per­pres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistri­busian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Dalam revisi Perpres 191 ini, pihaknya akan mengatur pembatasan BBM bersubsidi Pertalite. Artinya, hanya konsumen yang berhak yang bisa mengonsumsi BBM bersubsidi.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo