TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Tokoh Sentral Aswaja

Oleh: Dr. Mu’min Roup, MA.
Sabtu, 13 Januari 2024 | 11:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Nama Abu Manshur al-Maturidi, selalu disandingkan dengan tokoh utama dalam aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, yakni Abu al-Hasan al-Asy’ari. Rekam jejak keduanya kurang banyak dibahas kalangan sejarawan maupun intelektual muslim di Indonesia. Khususnya Abu Manshur yang dikenal sebagai imam besar yang zahid dan bersahaja. Dalam karya monumentalnya, At-Tauhid, disebutkan bahwa ia memiliki garis keturunan dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshari, seorang sahabat Nabi yang rumahnya menjadi tempat kediaman beliau setelah hijrah dari Mekah menuju Madinah.

Istilah “Al-Maturidi” merujuk dari nama desa kelahirannya, Matrid di wilayah Samarkand, yang sekarang menjadi bagian dari negeri Uzbekistan. Ia lahir sekitar tahun 238 Hijriyah, di zaman kemajuan wilayah Asia Tengah sebagai pusat peradaban Islam. Selain Islam, beberapa agama lain juga mengalami kemajuan di wilayah itu sejak beberapa abad silam, di antaranya agama Zoroaster (Majusi). Hal itu dimungkinkan lantaran Asia Tengah cukup strategis sebagai jalur perdagangan dan pertemuan budaya dari daratan Cina hingga kawasan Timur Tengah.

Pemikiran Abu Manshur juga berpengaruh kuat pada corak pemikiran Imam Abu Hanifah, yang kemudian menulis karya berdasarkan sanad darinya, yakni al-Fiqhul Akbar. Kitab ini dianggap valid hingga saat ini, dan beberapa tahun setelah penulisannya cukup tangguh mematahkan argumen sekte Muktazilah yang lebih mengedepankan akal melebihi nash-nash Alquran dan hadits Nabi.

Dalam kitab At-Tauhid, nampak jelas sikap moderatnya dalam menyikapi peran akal pikiran dan dalil-dalil naqli. Abu Manshur memberikan batasan yang jelas dalam seluruh karyanya tentang penggunaan nalar akal. Ada kalanya akal harus tunduk terhadap nash sahih dalam Alquran dan hadits. Selain itu, ia pun banyak mengutip pemikiran filsafat Aristoteles, khususnya tentang peranan ilmu logika dalam proses penulisan karya-karyanya. Hal tersebut jelas menunjukkan keluasan ilmunya yang tak terbatas, bukan hanya meneliti nalar pemikiran pada mazhab-mazhab Islam, melainkan juga kecerdasan pemikiran para filosof Yunani.

Ia pun dikenal sebagai biangnya ushul fiqh bagi para penganut mazhab Hanafi, juga seorang ahli ilmu tafsir dan aqidah. Sanad keilmuannya banyak merujuk pada Abu Bakar Ahmad al-Juzjani, Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh, hingga Nushair bin Yahya al-Balkhi. Konon, salah seorang gurunya, Abu Nashr Ahmad al-‘Iyadh tak pernah mau bicara di majlisnya sebelum kedatangan sang murid Abu Manshur di hadapannya.

Doktrin Abu Manshur

Abu Manshur al-Maturidi tumbuh dewasa di masa kekhalifahan Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 Hijriyah (847-861 Masehi). Karir pendidikannya lebih dikonsentrasikan pada bidang teologi ketimbang ilmu-ilmu fiqih. Pada masa itu, memang sangat marak pemikiran teologi Islam yang berkembang, lalu tampillah Abu Manshur ke tengah mereka untuk meluruskan dan merumuskan anggapan-anggapan yang keliru di tengah masyarakat. Salah satu gurunya di bidang teologi adalah Nasyr bin Yahya bin Al-Balakhi yang wafat pada tahun 268 Hijriyah.

Di antara doktrin-doktrin teologi yang dimiliki Abu Manshur, di antaranya mengenai akal dan wahyu. Menurutnya, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat ditelaah melalui akal dan rasio seperti yang diperintahkan Alquran agar manusia mengoptimalkan fungsi akalnya. Adapun mengenai kebebasan perbuatan manusia, bagi Abu Manshur tak lepas dari kehendak dan takdir Allah. Namun, manusia wajib berikhtiar untuk melakukan yang terbaik, karena efeknya demi untuk kebaikan dirinya.

Di sini Abu Manshur memadukan antara kebebasan manusia untuk berikhtiar dan berbuat, namun sejatinya perbuatan manusia adalah ketentuan yang sudah digariskan Sang Pencipta juga.

Adapun perihal sifat-sifat Tuhan. Abu Manshur berpendapat bahwa sifat Allah adalah mulzamah, yakni sifat yang mengada bersama dengan dzay-Nya. Lalu, mampukah indera manusia melihat dan menyaksikan Tuhan secara langsung? Menurut Abu Manshur, manusia hanya akan mampu “melihat” Tuhan di alam akhirat, bukan dalam bentuknya (bila kaifa). Karena bagaimanapun, alam akhirat tak bisa disamakan dengan pandangan kasatmata di alam duniawi.

Kalam Tuhan

Abu Manshur membedakan antara ucapan Tuhan yang tersusun di dalam huruf maupun dalam bentuk suara. Kalam nafsi adalah sifat qadim, sedangkan kalam dalam bentuk suara maupun huruf termasuk kalam hadits yang termaktub. Untuk itu, para rasul diutus ke muka bumi tak lain sebagai sumber informasi maupun berita penting yang disampaikan Allah kepada umat manusia.

Adapun tentang perbuatan dosa, terutama dosa-dosa besar. Abu Manshur mengacu langsung dari Alquran, bahwa setiap dosa besar (selain syirik) tidak membuat pelakunya dikatakan “kafir” maupun “murtad”. Jikapun pelakunya wafat sebelum bertaubat, ia tidak dimasukkan ke neraka secara kekal.

Baginya, amal perbuatan adalah penyempurna iman, karena itu amal tidak menambah dan mengurangi esensi iman seseorang. Orang dapat dikatakan “beriman” cukup dengan hanya pengakuan di dalam hati, tashdiq maupun iqrar.

Usaha dan perjuangan Abu Manshur Al-Maturidi telah berhasil mengokohkan keimanan dan membuktikan secara rasional tentang adanya Tuhan, kenabian, mukjizat, hingga hari akhir. Bahkan, sanggup memberi alasan (hujjah) yang rasional dari argumentasi kelompok dan golongan yang semula megingkarinya.

Pos Berikutnya:
Me Time
Dahlan Iskan
Komentar:
Eka Hospital
Perkim
Bapenda
ePaper Edisi 20 Mei 2024
Berita Populer
05
Pesawat Latih Jatuh di BSD Memakan 3 Korban Jiwa

TangselCity | 22 jam yang lalu

07
Jelasin Kenapa Uang Kuliah Mahasiswa Mahal

Nasional | 2 hari yang lalu

10
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo