Wamen Silmy: Si Raja Minyak MRC Ada Di Malaysia

JAKARTA - Keberadaan MRC, si Raja Minyak yang jadi tersangka korupsi tata kelola minyak dan produk kilang Pertamina, mulai terkuak. Saat ini, MRC berada di wilayah Malaysia. Kabar ini diungkap langsung Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Silmy Karim.
“Sejauh ini, dari informasi yang kami peroleh, MRC masih berada di Malaysia,” ujar Silmy usai rapat bersama Komisi III DPR.
Pernyataan Silmy sekaligus menepis informasi sebelumnya yang menyebut MRC di Singapura. “Kita tidak ada informasi berkaitan dengan Singapura. Yang kita punya hanya di Malaysia,” tegasnya.
Informasi lain datang dari Plt Dirjen Imigrasi Yuldi Yusman. Dia mengungkapkan, MRC telah meninggalkan Indonesia sejak 6 Februari 2025, jauh sebelum Kejagung mengajukan permohonan pencekalan ke luar negeri.
Memang meninggalkan wilayah Indonesia sebelum adanya permohonan pencegahan oleh Kejaksaan Agung,” ujar Yuldi, Sabtu (19/7/2025).
Menurut data yang dimiliki Direktorat Imigrasi, MRC tercatat terbang dari Bandara Soekarno Hatta menuju Malaysia. Sejak saat itu, tidak ada catatan kembali ke Tanah Air.
“Diduga masih berada di luar negeri berdasarkan Data Perlintasan Orang di dalam kesisteman aplikasi APK V4.0.4,” jelas Yuldi.
Yuldi menuturkan, MRC sempat terdeteksi masuk ke Negeri Singa pada Agustus 2024 dengan status visitor, bukan pemegang Permanent Resident. “Sempat masuk ke Singapura tahun lalu, tapi statusnya pengunjung,” katanya.
Namun, keberadaan terakhir yang paling valid adalah di Malaysia. Imigrasi telah menjalin koordinasi dengan otoritas setempat, termasuk polisi Malaysia, untuk mendeteksi keberadaannya.
“Apabila ada perkembangan baru akan kami sampaikan,” tutur Yuldi.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna menjelaskan pihaknya sudah mendeteksi keberadaan MRC. Namun, sampai saat ini penyidik masih berupaya memanggil MRC sebagai tersangka secara patut.
Rencana penyidik akan melakukan pemanggilan sebagai tersangka terhadap yang bersangkutan pekan ini,” kata Anang di Jakarta, Sabtu (19/7/2025).
Meski belum mengungkap kapan waktu pemanggilannya, Anang berharap MRC kooperatif. Jika mangkir dari pemeriksaan, penyidik baru bisa menempuh langkah hukum lanjutan. Seperti memasukkannya ke dalam daftar pencarian orang atau DPO maupun Red Notice.
Jadi kita tunggu pemanggilan terhadap yang bersangkutan sebagai tersangka dalam pekan ini,” tandasnya.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai kehati-hatian Kejagung menangani kasus yang melibatkan MRC sudah tepat. Dia menekankan, upaya hukum perlu dilakukan sesuai prosedur.
“Karena jika gegabah, nanti malah Kejagung kalah jika digugat Praperadilan. Jadi, kita tunggu saja aksinya Kejagung,” ulas Boyamin, semalam.
Dia mengatakan untuk saat ini Kejagung hanya perlu melayangkan surat pemanggilan terhadap MRC secara patut dalam kapasitasnya sebagai tersangka. Apalagi, Kejagung telah mengetahui posisinya. Setelah itu, baru bisa diterbitkan surat DPO maupun Red Notice jika MRC tidak memenuhi panggilan.
Sekadar informasi, Red Notice bisa diterbitkan segera setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan mangkir dari pemanggilan oleh aparat penegak hukum, tanpa batas jumlah mangkir tertentu.
Red Notice bukan perintah penangkapan, tapi permintaan kepada seluruh negara anggota Interpol untuk melacak dan menahan sementara buronan. Indonesia tetap perlu kerja sama bilateral atau perjanjian ekstradisi untuk membawa pulang tersangka.
Nanti jika tidak meminta Red Notice setelah panggilan kedua, maka kami akan gugat praperadilan karena Kejagung ingkar janji,” tegas Boyamin.
Diketahui, Kejaksaan Agung telah mencekal MRC sejak 10 Juli 2025, pada hari yang sama usai dirinya ditetapkan sebagai tersangka. MRC bersama 17 orang lainnya diduga melakikan megakorupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di lingkungan PT Pertamina tahun 2018–2023.
Dalam kasus ini, Kejagung tak cuma menetapkan MRC sebagai tersangka. Anaknya, MKAR, telah lebih dulu dijadikan tersangka dan ditahan. Penyidik menyebut, keduanya memiliki peran masing-masing dalam kasus ini.
MRC merupakan beneficial owner dari PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal Merak yang mengintervensi Pertamina. Sementara sang anak, diduga memperoleh keuntungan dari pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Dalam kasus korupsi tersebut, Kejagung menyebut negara dirugikan hingga Rp 285 triliun.
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu