20 Tahun RUU PPRT Mandek, Nasib PRT Masih Digantung DPR

JAKARTA - Hampir 20 tahun lebih Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mandek. Di periode ini, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) masih menggodoknya.
Pekan kemarin (Selasa, 16/7), Baleg mengundang beberapa pihak yang terkait dengan RUU PPRT untuk hadir dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk memberikan masukan.
Yang diundang salah satunya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Koalisi Serikat Pekerja - Partai Buruh (KSP-PB). Wakil Presiden Partai Buruh Bidang Perempuan, Jumisih menyuarakan secara tegas pentingnya pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT).
Di dalam RDP itu, ia mengusulkan beragam poin penting yang perlu diatur dalam aturan tersebut. Antara lain asas kekeluargaan bisa dipegang teguh PRT dan pemberi kerja untuk menghasilkan hubungan kerja yang harmonis.
RUU PPRT penting mengakui PRT sebagai pekerja, bukan pembantu atau asisten. Hal ini melahirkan tanggungjawab negara untuk mewujudkan keadilan.
Lingkup pekerjaan domestik yang dapat diampu PRT meliputi sembilan jenis. Yakni memasak, mencuci atau menyetrika pakaian, membersihkan rumah, halaman atau kebun tempat tinggal pemberi kerja, merawat anak, menjaga orang sakit, orang berkebutuhan khusus, pengemudi, menjaga rumah atau memelihara hewan peliharaan.
Menurut Jumisih jenis pekerjaan yang dikerjakan PRT bisa disepakati dalam perjanjian tertulis dengan pemberi kerja.
“Poin perjanjian kerja menjadi catatan yang harus digaris bawahi karena perjanjian kerja memberikan perlindungan bukan hanya kepada PRT tapi juga pemberi kerja,” katanya.
Sekretaris Jenderal KSPI, Ramidi mendukung penuh adanya perjanjian kerja di dalam RUU PPRT. “PRT bukan pembantu. Mereka adalah pekerja,” katanya.
Menanggapi usulan itu, Wakil Ketua Baleg Ahmad Doli Kurnia kurang sependapat jika di dalam RUU PPRT ada perjanjian kerja seperti hubungan industrial. “Hubungannya lebih pada hubungan kekeluargaan,” katanya.
Untuk mengetahui lebih jauh pandangan Ahmad Doli Kurnia terkait RUU PPRT khusus perlu perjanjian kerja. Berikut wawancaranya.
Ada desakan dari kalangan buruh mengenai RUU PRT untuk segera disahkan. Apa respons Anda?
Kami sepakat bahwa Undang Undang PRT ini penting, makanya kita masukkan dalam prolegnas prioritas tahun 2025.
Yang kedua, kita juga sudah mulai pembahasan dan melakukan penyusunan rancangan Undang Undang PRT dengan berbagai pihak terkait.
Berarti, Baleg sebenarnya sudah punya bahan untuk menyusun RUU PRT?
Iya. Sebetulnya kita sudah punya bahan, sudah punya masukan dari stakeholder yang kita anggap memberikan banyak perspektif lah terhadap rancangan undang undang ini. Nah, rencananya kita mau bahas di masa sidang berikutnya.
Ada desakan dan usulan agar di dalam RUU PRT ada perjanjian kerja. Bagaimana respons Anda?
Soal posisi pekerja rumah tangga, kita tidak bisa menempatkan posisi pekerja rumah tangga ini sama dengan konsep hubungan industrial, gitu.
Karena di Indonesia dan kebanyakan negara Asia atau daerah Timur, pekerja rumah tangga ini masih dianggap bagian dari keluarga. Nah, jadi hubungannya lebih pada hubungan, konsep hubungan kekeluargaan.
Menurut Anda, apakah sulit jika ada kontrak seperti hubungan industrial?
Nggak bisa dipaksa juga untuk masuk seperti konsep hubungan industrial. Yang kemudian misalnya ada perjanjian, terus kemudian ada misalnya jam kerja, terus kemudian lembur.
Karena hubungannya kekeluargaan, kadang ada kompensasi-kompensasi.
Mereka mau pulang kapan aja boleh, terus kadang-kadang juga dikasih Umrah lah, apa macam-macam gitu. Jadi dia bagian dari keluarga.
Nah, ini yang nanti saya kira harus dicari rumusannya. Supaya memang ini bisa selesai.
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu