TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Menghemat Politik Identitas

Memelihara Akhlak Berpolemik

Oleh: Prof KH Nasaruddin Umar
Jumat, 30 September 2022 | 08:31 WIB
Prof KH Nasaruddin Umar
Prof KH Nasaruddin Umar

CIPUTAT - Meskipun Pemilu masih lama, tetapi polemik politik di berbagai media sudah mulai ramai. 

Polemik adalah sesuatu yang wajar dalam sebuah negara demokrasi, tetapi sebagai bangsa yang beradab, yang menyepakati “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai salahsatu sila dari Pancasila, seharusnya juga kita mengindahkan tata krama di dalam berpolemik. Polemik yang destruktif bisa melemahkan persatuan dan kesatuan umat dan warga bangsa.

Polemik tentu saja berbeda dengan diskusi, dialog, dan musyawarah yang dianggap positif di dalam Islam. Polemik yang tidak dikehendaki ialah yang saling menjatuhkan dan melemah­kan satu sama lain dan berakibat “kalah jadi abu menang jadi arang”.

Menarik untuk kita perhatikan apa yang diperingatkan di dalam Al-Qur’an: “Mereka membantahmu tentang ke­benaran sesudah nyata, seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu). (Q.S. Al-Anfal/8:6).

Dlam ayat lain dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mer­eka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka minta­lah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. Gafir/40:56).

Dalam hadis Nabi juga ditegaskan: “Tidaklah sesat suatu kaum setelah diberi petunjuk oleh Allah kecuali mendatangi perdebatan”.

Maksud ayat dan hadis di atas jelas bahwa kita sebaiknya menghindari polemik yang tidak produktif. Contoh polemik yang tidak produktif ialah kebiasaan seseorang untuk selalu mengkritisi, memojokkan, melemahkan, dan menyalahkan setiap gagasan yang muncul dari orang lain.

Sungguhpun itu nyata-nyata sudah benar, tetapi kebenaran itu bukan muncul dari dirinya, maka ia berusaha mencarikan celah untuk melemahkannya. Seolah-olah tidak boleh kebenaran itu muncul dari orang lain.

Mengkritisi sah-sah saja, tetapi kalau sudah menjadi semacam kebiasaan atau sudah menjadi karakter, setiap gagasan kreatif muncul dari orang lain pasti salah atau men­gandung banyak kelemahan, maka ini yang tidak terpuji.

Di dalam kehidupan berpartai dan kajian-kajian keilmuan, sering kali dijumpai orang-orang yang tidak bisa mengen­dalikan diri. Ia selalu menampilkan syahwat berpolemik sehingga orang lain selalu salah. Dirinya sendiri yang selalu merasa benar.

Sekalipun nyata-nyata salah dan pendapatnya men­derita kelemahan logika, kasih tetap saja memaksakan kehendaknya untuk mendapatkan pengakuan kebenaran dari orang lain, minimal dikatakan sama-sama mempunyai kelemahan.

Cukup satu saja orang seperti ini di dalam sebuah komunitas sudah sangat merepotkan, apalagi jika sudah banyak. Orang-orang seperti ini cenderung menyedot energi, waktu terbuang mubazir, dan seringkali menimbul­kan percekcokan dan perpecahan.

Polemik tentu saja berbeda dengan diskusi, dialog, dan musyawarah yang dianggap positif di dalam Islam. Menarik untuk disimak hadis Nabi:

"Orang yang paling dibenci Allah ialah pengadudomba, perusak hubungan antara sesama dan org yang mencuri cacat orang lain yang tidak bersalah” (H.R. Ahmad).

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo